Produksi dan distribusi pengungkapan kasus paracetamol, caffeine, dancarisoprodol (PCC) ini memiliki jaringan yang tidak mudah untuk dideteksi. Mereka melakukan "operasi bisnis" secara senyap dan membuat berbagai kamuflase untuk mengecoh petugas.
Pelacakan kasus ini menunjukkan, bahan baku ada di Cimahi, sarana produksi di Purwokerto, dan sentra distribusinya di Surabaya. Produksi dan distribusi dilakukan secara klandestin, tetapi tragisnya PCC bisa masuk pada sarana pelayanan formal apotek, seperti di Kendari dan Medan. Jika pemberitaan ini benar, apotek dapat kehilangan kredibilitas dan kepercayaan dari masyarakat luas.
Lebih jauh dari itu, masyarakat akan mempertanyakan fungsi, peran, dan tanggung jawab apoteker di apotek. Di sarana pelayanan farmasi yang selama ini dipercaya masyarakat aman ternyata bisa kecolongan juga.
"Carisoprodol", apa itu?
Carisoprodol C
Carisoprodol di Amerika Serikat tergolong controlled substance (berlaku efektif sejak 11 Januari 2012) dan diatur oleh Controlled Substance Act of 1970. Obat ini mempunyai reaksi yang tergolong cepat, sekitar 30 menit setelah diminum dan akan mempunyai efek selama 2-6 jam.
Carisoprodol mengalami metabolisme pada lever yang diubah menjadi meprobamat. Ini yang diketahui sebagai penyebab ketergantungan dan karena itu sering disalahgunakan. Efek samping obat ini memang sangat berisiko bagi kesehatan dan keselamatan manusia, antara lain depresi dan gelisah berat, insomnia kronik, kehilangan memori jangka pendek dan panjang, pengurangan kecerdasan (IQ), dan ketakutan berlebihan.
Namun, efek samping dan berapa lama hal itu akan berlangsung tergantung pada obat apa penggunaan carisoprodoldikombinasikan. Penggunaan bersama alkohol dapat menyebabkan efekcarisoprodol menjadi lebih kuat.
Semula di Indonesia beredar PCC dengan nama dagang Somadril Compositum yang diproduksi sebuah perusahaan multinasional (MNC). Izin edar tablet Somadril Compositum dikeluarkan Direktorat Jenderal POM pada 1987 dan pencantuman penandaan dengan huruf embos PCC disetujui tahun 2007.
Beragam produk
Selain Somadril Compositum, Badan POM telah menyetujui izin edar tujuh produk lain yang mengandungcarisoprodol, yaitu New Skelan Capsul, Carsipain Tablet, Carminofein Tablet, Ethacarphen Tablet, Cazerol Capsul, Bimacarphen Tablet, dan Karnomed Tablet.
Karena kasus penyalahgunaan yang meluas, pada tahun 2013 Badan POM mencabut izin edar semua produk yang mengandung carisoprodol dan memerintahkan untuk menarik semua peredaran produk tersebut dari pasar (product recalling). Penarikan ini semestinya diikuti dengan pemusnahan yang mencakup produk jadi, produk ruah, maupun bahan bakunya dengan berita acara yang disahkan Badan POM.
Penarikan produk carisoprodol juga telah dilakukan di banyak negara, seperti Norwegia (2008) dan Swedia (2007). Uni Eropa merekomendasikan untuk men-suspend dari pasar sebagai obat nyeri punggung.
Indikasi penyalahgunaan carisoprodol ini sebenarnya telah cukup lama terungkap dengan penemuan penyelundupan bahan baku di Pelabuhan Sunda Kelapa pada Januari 2014 sebanyak 195 tong atau hampir 5 ton. Jika 1 tablet hanya mengandung 200 mg carisoprodol, dapat kita hitung 5 ton bahan baku akan dapat dicetak menjadi berapa ratus juta tablet.
Temuan Balai Besar POM di Makassar 29.000 tablet yang berembos PCC di salah satu pedagang besar farmasi sungguh mengkhawatirkan karena sudah berada di jalur distribusi formal farmasi. Selangkah lagi akan memasuki apotek dan dapat mengancam keselamatan masyarakat luas. Jika fenomena ini sebagai gunung es, maka fakta distribusi dan peredaran ilegal tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan kasus yang ditemukan.
Penertiban jalur obat
Sampai hari ini tidak pernah ditemukan produsen resmi farmasi yang memproduksi obat ilegal atau obat palsu. Pemalsuan obat selalu dilakukan secara klandestin, pada sarana ilegal yang tidak memiliki izin industri farmasi secara sah. Namun, belakangan ini telah ditemukan pedagang besar farmasi dan apotek yang terlibat dalam bisnis obat palsu. Fenomena ini sangat perlu diwaspadai karena mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat luas.
Badan POM harus dapat memonitor dan mengawasi pedagang besar farmasi dan apotek bahkan sampai di toko obat di seluruh pelosok negeri. Selain membangun jejaring pengawasan dan bersinergi dengan mitra strategis, Badan POM dituntut dapat mengembangkan teknologi informasi yang canggih yang dapat memantau dan mengawasi peredaran seluruh obat di Indonesia.
Peningkatan pengawasan ini tidak harus menambah ribuan personalia, tetapi lebih dituntut untuk mengembangkan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi. Demikian juga keberadaan apoteker di apotek perlu direvitalisasi tugas dan tanggung jawabnya. Apoteker di apotek semestinya menjadi garda terdepan dalam pelayanan obat untuk menjamin keselamatan dan keamanan masyarakat.
Keberadaan apoteker di apotek saat ini tidak lebih hanya sebagai simbol formalitas tanpa kewenangan profesional yang bertanggung jawab.
Peran apoteker
Sebuah penelitian di Jakarta menemukan lebih dari 60 persen apoteker hanya hadir satu hari di apotek dalam satu minggu. Selebihnya ada yang hadir satu kali dalam dua minggu dan seterusnya. Padahal, apoteker perlu hadir setiap hari untuk memberikan layanan farmasi.
Ketidakhadiran apoteker berdampak negatif terhadap pelayanan farmasi di apotek. Sekarang ini terjadi fenomena umum di apotek: siapa saja dan kapan saja dapat membeli obat apa saja di apotek (kecuali narkotika dan psikotropika). Ini artinya, di pintu gerbang paling depan dalam pelayanan farmasi tidak ada penjaganya. Semua boleh bertransaksi tanpa aturan.
Anda bisa membeli obat antibiotik, antidiabetes, antihipertensi, dan obat jantung tanpa resep dokter. Apoteker yang seharusnya menjadi determinan dalam pelayanan obat di apotek termarjinalkan dengan peran yang sangat minim. Pemerintah mungkin tidak menyadari telah melakukan pembiaran dan organisasi profesi juga diam dalamstatus quo ini.
Seharusnya "No Pharmacist No Service". Pemerintah semestinya hadir dan menegaskan tanpa kompromi: kalau tidak ada apoteker, apotek tidak boleh melayani obat etikal.
SAMPURNO
Direktur Jenderal POM 1998-2001, Kepala Badan POM 2001-2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar