Tentu saja, impian seperti itu boleh-boleh saja dan sah-sah saja. Bukankah mereka yang kini tersebar sekurang-kurangnya di tiga negara-Irak, Suriah, dan Turki-ada juga di Iran adalah korban dari Perjanjian Sykes- Picot 1917, yang membagi dua bekas wilayah Kekhalifahan Ottoman, yakni untuk Inggris dan Perancis.
Secara kenyataan lapangan-di wilayah Kurdistan, Irak utara-mereka telah membentuk sebuah masyarakat yang memenuhi banyak kriteria sebuah negara. Mereka secara ekonomi mencukupi, dengan adanya industri energi yang berkembang baik. Mereka memiliki institusi-institusi yang berfungsi, termasuk adanya pemilu untuk memilih anggota parlemen, dan adanya media yang relatif bebas. Yang tidak kalah penting, mereka secara mandiri dapat mempertahankan diri-bahkan mampu mengalahkan-serangan kelompok bersenjata yang menyebut diri Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Oleh karena itu, hari Senin lalu, orang-orang Kurdi yang tinggal di Kurdistan menyelenggarakan referendum sebagai langkah awal untuk mewujudkan impian mereka. Karuan saja, referendum itu segera ditentang Pemerintah Baghdad yang-kalau Kurdistan yang sekarang berstatus sebagai daerah otonomi benar-benar merdeka-tidak hanya akan kehilangan wilayah, tetapi juga kehilangan wilayah sumber minyak.
Tidak hanya Irak yang menentang referendum itu. Iran dan Turki pun bersikap sama. Bahkan, Turki menyatakan akan memblokade pipa minyak yang digunakan untuk mengalirkan minyak dari Irak ke luar jika Kurdistan benar-benar merdeka. Ankara khawatir bahwa kemerdekaan Kurdistan akan menginspirasi orang-orang Kurdi di Turki (juga di Iran) untuk memisahkan diri.
Sebaliknya, ada negara-negara yang berpikiran pragmatis menyikapi referendum yang dilakukan warga Turki di Kurdistan. Mereka yang berpikiran pragmatis antara lain Mesir, Arab Saudi, Jordania, dan Uni Emirat Arab. Bagi mereka, lahirnya negara Kurdistan bisa menjadi benteng dalam melawan Iran dan juga NIIS. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa pisahnya Kurdistan dari Irak justru akan memperlemah perlawanan Irak dalam menghadapi sepak terjang NIIS yang kini semakin terdesak.
Apa pun, langkah warga Kurdistan menggelar referendum untuk mewujudkan impian mereka adalah kemenangan nilai-nilai demokrasi, hak menentukan nasib sendiri, serta hak kaum perempuan dan minoritas. Namun bahwa referendum akan melahirkan gelombang perlawanan dan memengaruhi peta politik di Timur Tengah tidak dapat dihindarkan. Hanya saja, semoga tidak melahirkan konflik baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar