Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 September 2017

Merkel dan Masa Depan Eropa (SITI R SUSANTO)

Pemilu Jerman yang diselenggarakan pada Minggu (24/9) menjadi sangat penting bukan hanya bagi Jerman, melainkan juga bagi Uni Eropa. Sebagai negara yang paling berpengaruh dalam UE selama dua dekade terakhir, sangat beralasan jika perkembangan politik Jerman menjadi salah satu barometer melihat masa depan UE.

Dengan kemenangan Merkel sebagai kanselir Jerman untuk ke-4 kalinya-yang sekaligus dibayangi naiknya popularitas partai ultranasionalis AfD (Alternative für Deutschland)-bagaimana pengaruh kemenangan tersebut terhadap kesolidan UE setelah keluarnya Inggris (Brexit)?

Pemilu dramatis

Pemilu Jerman tahun ini sangat menyedot perhatian publik nasional maupun internasional. Meski pemilu Perancis pada Mei 2017 dinilai banyak pihak sangat fenomenal dalam lingkup UE, pemilu Jerman Minggu lalu bisa dikatakan lebih dramatis karena dua alasan.

Pertama, Jerman merupakan negara yang menentukan dinamika politik UE saat ini. Selama hampir dua dekade, Jerman menjadi pihak yang paling berperan dalam mewujudkan integrasi UE (Steinmeier, 2016). Sejak pemerintahan Kohl hingga Merkel, Jerman terlibat maksimal dalam mempersatukan negara-negara Eropa, termasuk dalam menjadikan dan mempertahankan kestabilan euro sebagai mata uang tunggal di 19 dari 28 negara anggota UE. Namun, bukan berarti posisi Jerman tersebut tanpa ujian.

Salah satu ujian terbesarnya adalah keputusan Inggris keluar dari UE pasca- referendum Juni 2016, yang menguatkansentiment euro-scepticism di kalangan masyarakat dan negara anggota UE. Hal ini ditambah lagi dengan semakin menguatnya popularitas partai-partai nasionalis radikal, baik di Jerman, Perancis, Belanda, maupun Belgia, yang menghendaki pemerintah mereka keluar dari UE.

Kedua, pemilu ini digelar di tengah Jerman menghadapi gejolak besar atas isu pengungsi dari Suriah. Gejolak ini datang baik dari kalangan warga Jerman maupun dari sesama anggota UE. Sejak Merkel mengumumkan kebijakan "Wilkommenspolitik" pada Agustus 2015, yaitu dengan menerima kedatangan jutaan pengungsi Suriah yang bergerak masif menuju Eropa sebagai negara tujuan utama, masyarakat Jerman dan UE terpecah menjadi dua, pro dan kontra.

Dalam jajak pendapat Juli 2017, 66 persen warga Jerman pesimistis atas ide Merkel menerima pengungsi (Deutsche Welle, 30/7/2016). Bahkan sebagian warganya terdorong untuk berafiliasi pada Pegida (Gerakan Patriotik Rakyat Eropa melawan Islamisasi di Barat) dan partai AfD, yang menentang secara terbuka kebijakan Merkel tersebut. Alhasil, AfD mengalami kenaikan signifikan dalam pemilu kali ini dengan memperoleh peringkat ketiga kursi parlemen setelah Partai Kristen Demokrat (CDU) pimpinan Angela Merkel dan Partai Sosialis Demokrat (SPD) pimpinan Martin Schulz. Hal ini adalah yang pertama kali partai nasionalis radikal berhasil masuk sebagai anggota parlemen Jerman.

Sama halnya dengan dinamika di dalam negeri Jerman, beberapa anggota UE, seperti Hongaria, Ceko, dan Polandia, menentang keras kebijakan Merkel itu. Sementara negara anggota lain terlihat menerima kebijakan itu setengah hati. Brexit adalah contoh lain terkait implikasi isu pengungsi ini. Tercatat pula, di akhir 2016, Jerman pernah "dikucilkan" oleh negara anggota UE akibat keputusan Merkel terkait pengungsi (Janning et al, 2016).

Kuncinya di dalam negeri

Dengan terpilihnya kembali perempuan yang dijuluki "Mutti Multikulti" (Ibu Multikulturalisme) sebagai kanselir Jerman, dapat diprediksi jika kesolidan dan kekuatan UE akan tetap terjaga. Meski demikian, tantangan yang dihadapi Merkel masih sangat berat. Kunci mengatasinya adalah kemampuan Merkel dalam menjaga kestabilan di dalam negeri. Dinamika politik domestik Jerman sangat memengaruhi dinamika di UE.

Dengan kata lain, Merkel harus memperhatikan, pertama, kestabilan ekonomi Jerman. Kestabilan dan pertumbuhan ekonomi Jerman selama ini menjadi faktor utama keberhasilan kepemimpinan negara tersebut di UE. Bahkan, secara meyakinkan pertumbuhan ekonomi Jerman semakin meningkat, dan tahun 2016 mencapai posisi tertinggi di antara negara G-7 (Financial Times, 14/8). 

Sebagai economic powerhouse di UE, Jerman memimpin penyelesaian beberapa masalah besar bersama Eropa, seperti konflik di Ukraina, krisis moneter Yunani, serta krisis pengungsi Suriah, dengan mengandalkan produktivitas ekonomi di dalam negeri, termasuk dari kontribusi pajak. Hanya saja, Merkel harus terus mewaspadai ketidakpuasan sebagian rakyat atas kebijakan ekonomi pemerintah yang dinilai timpang.

Kenaikan popularitas partai nasionalis radikal, AfD, yang menguasai banyak suara di wilayah bekas Jerman Timur menjadi tantangan terbesar dalam masa pemerintahan empat tahun ke depan. Selama Merkel mampu memberikan kesejahteraan yang seimbang bagi masyarakat di seluruh wilayah Jerman, tak akan muncul gejolak domestik signifikan. Alhasil, kepemimpinan Jerman di UE akan terus bertahan.

Kedua, Merkel harus bisa menyiasati kebosanan warga Jerman atas kepemimpinannya dalam periode ke-4 ini. Sejarah telah mencatat bahwa kekalahan mentor Merkel, Helmut Kohl, dari Schroeder pada pemilu tahun 1998, bukan disebabkan performa ekonomi Jerman yang menurun, tetapi lebih diakibatkan oleh kebosanan rakyat setelah dipimpin Kohl selama empat periode. Maka, ada dua pilihan yang bisa dilakukan Merkel untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, yaitu membuat terobosan populis sehingga membangkitkan kembali semangat dan kepercayaan rakyat kepadanya atau menyiapkan suksesi dalam partainya secara sistematis.

Terkait suksesi partai, ramai terdengar bahwa mantan Menteri Keluarga, Lansia, Perempuan, dan Remaja yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Ursula von der Leyen, tengah dipersiapkan sebagai pengganti Merkel ke depan.

Merkel dan kepemimpinan UE

Di tengah berbagai masalah kawasan, menguatnya euro-scepticism, dan tren popularitas partai radikal kanan di Eropa, kepemimpinan sosok Merkel masih mendesak diperlukan. Ia dibutuhkan tidak hanya untuk menjaga keberlanjutan UE sebagai entitas politik besar, tetapi sekaligus menjaga ikon nilai-nilai universal kemanusiaan dan demokrasi Eropa agar tetap lestari.

Sebelumnya, harapan akan terjadinya penguatan politik UE secara kolektif juga ditujukan kepada Emmanuel Macron sebagai presiden terpilih Perancis. Namun, hal itu tidak menjadi kenyataan ketika masa "bulan madu" Macron dengan rakyat Perancis hanya berlangsung singkat. Selang empat bulan setelah pelantikan, Macron dihujani kritik dan demonstrasi atas kebijakan domestik, salah satunya adalah tentang reformasi perburuhan.

Merkel sepertinya harus berjuang lebih keras menjaga integrasi Eropa. Sebagai politikus kawakan yang kaya latar belakang, pengalaman, serta mengalami masa-masa penting sejarah Eropa saat dan pasca-Perang Dingin-sehingga membedakannya dengan politikus lain di Eropa- Merkel memiliki modal sangat besar dalam membawa gerbong besar Jerman dan UE menuju masa keemasan.

SITI SUSANTO

Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Merkel dan Masa Depan Eropa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger