Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 September 2017

Dilema Angela Merkel (A AGUS SRIYONO)

Seperti telah diperkirakan, Pemilu Federal di Jerman pada 24 September 2017 dimenangi Uni Demokratik Kristen (CDU)/Uni Sosial Kristen (CSU) dengan raihan 33 persen suara. Partai Sosial Demokrat (SPD) di urutan kedua dengan 20,5 persen suara.

Untuk pertama kali setelah 60 tahun, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang berorientasi ultrakanan menduduki parlemen dengan 12,6 persen suara. Sistem pemilu di Jerman mensyaratkan, antara lain, untuk meraih kursi di parlemen diperlukan minimal 5 persen suara nasional.

Dengan hasil tersebut, Angela Merkel dipastikan menjabat kanselir Jerman untuk keempat kali apabila CDU/CSU berhasil membentuk koalisi guna meraih dukungan mayoritas absolut di parlemen (Bundestag). Mengingat untuk mencapai mayoritas absolut dibutuhkan 300+ kursi, ke depan pemerintahan Merkel harus berkoalisi dengan beberapa partai politik lain. Dalam pemerintahan sebelumnya, CDU/CSU berkoalisi dengan SPD dan mengantongi 502 kursi dari 598 kursi di parlemen.

Meski CDU/CSU kali ini menang, dibandingkan Pemilu 2013 suara CDU/CSU turun sekitar 8 persen. Hal ini mengindikasikan popularitas Merkel meredup, sedangkan perolehan suara AfD meningkat signifikan dari 4,7 persen (2013) menjadi 13 persen tahun ini. Komposisi kursi parlemen pasca-Pemilu 2017 diproyeksikan CDU/CSU (246), SPD (153), AfD (94), Partai Kebebasan Demokrasi (FDP; 80), Partai Kiri (69), dan Partai Hijau (67).

Atas dasar hasil pemilu di atas, muncul pertanyaan: bagaimana format koalisi pemerintahan ke depan; langkah apa yang akan diambil pemerintah baru menghadapi Partai AfD yang ultranasionalis; serta masa depan hubungan Jerman dengan UE dan AS. Tampaknya, mencari mitra koalisi tidak mudah. Situasi dilematis akan dihadapi pemerintahan baru sehubungan dengan banjirnya pendatang serta konsolidasi dengan UE dan AS akan menjadi tantangan tersendiri.

Koalisi

Dalam tataran ideal, koalisi CDU/CSU dan SPD merupakan pilihan terbaik. Sejauh ini, koalisi dua partai ini mampu menciptakan stabilitas politik, sosial, dan ekonomi. Selama ini, pemerintahan Merkel berhasil menekan pengangguran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan menjaga soliditas UE. Namun, pernyataan Martin Schulz, Ketua SPD, yang menolak berkoalisi dengan CDU/CSU, memudarkan harapan Merkel melanjutkan program-program pemerintah sebelumnya. SPD memilih beroposisi sebagai langkah konsolidasi menuju Pemilu 2021.

Secara teoretis terdapat tiga opsi koalisi. Pertama, koalisi CDU/CSU degan SPD (399 kursi); kedua, CDU/CSU bermitra dengan FDP (berpandangan liberal) dan Partai Hijau (393 kursi); atau ketiga, koalisi CDU/CSU dengan FDP (326 kursi). Apabila opsi pertama tidak memungkinkan, sementara opsi ketiga terlalu riskan dari segi politik, opsi kedua menjadi pilihan terbaik dari yang tersedia. Koalisi CDU/CSU- FDP-Partai Hijau (dikenal sebagai Koalisi Jamaika karena warna bendera partai) memungkinkan terciptanya kekuatan yang stabil di parlemen.

Hanya perlu dicatat, koalisi CDU/CSU-FDP-Partai Hijau bisa terwujud jika Merkel bersedia berkompromi dengan FDP yang propasar bebas, probisnis, dan proprivatisasi. Dalam hal ini, benturan nilai-nilai dan moralitas Kristiani dengan liberalisme dan individualisme tampaknya akan sulit dihindari. Sementara dengan Partai Hijau, Merkel harus ada kesepakatan mengenai berbagai isu yang terkait dengan ekologi.

Isu pendatang

Berkembangnya kelompok ultrakanan akhir-akhir ini gejala umum di Eropa. Jargon yang diusung partai-partai ultrakanan umumnya anti-Islam, antipendatang, antikemapanan, dan anti-UE. Belakangan, jumlah partai ultrakanan di Eropa terus bertambah. Meningkatnya perolehan suara Partai Kebebasan di Austria dan Belanda serta Partai Front Nasional di Perancis dalam pemilu membuktikan hal ini.

Tampilnya AfD dalam panggung politik Jerman saat ini perlu ditanggapi hati-hati oleh pemerintah baru. Satu hal yang sudah pasti, partai-partai politik di Jerman sama sekali tidak ada hasrat untuk berkoalisi dengan AfD karena orientasi politik AfD dinilai bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi rakyat Jerman. Nilai dimaksud seperti penghargaan terhadap demokrasi, pluralisme, toleransi, dan politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Partai AfD yang didirikan pada 2013 mengusung gerakan anti-Islam dan antipendatang. Kebijakan Merkel pada 2015 yang menerima sekitar 1.000 migran ditentang AfD. Alasannya, nilai-nilai budaya yang dibawa kaum migran tak kompatibel dengan nilai-nilai bangsa Jerman. Sebagai contoh, kaum pendatang mewajibkan penggunaan burka ketika berenang di pantai, sedangkan rakyat Jerman biasa memakai bikini. Di samping itu, menurut Partai AfD, dari segi prosedur hukum masuknya kaum migran juga harus atas persetujuan Parlemen.

Milihat perbedaan yang mencolok antara kebijakan Merkel dan AfD, tampaknya perdebatan soal kaum pendatang akan berlangsung hangat. Menghadapi kemungkinan ini, semestinya Merkel bersedia mendengarkan suara AfD guna menyusun kebijakan yang rekonsiliatif demi kepentingan bangsa Jerman tanpa menggerus prinsip-prinsip yang disepakati dalam koalisi.

UE dan AS

Harus diakui, dengan hendak keluarnya Inggris dari UE, Jerman dan Perancis akan jadi pilar utama bagi kemajuan UE. Walaupun Jerman merupakan negara terkuat di UE-baik secara militer maupun ekonomi-negara ini tak mungkin menyelesaikan masalah UE sendirian. Satu hal yang pasti, Eropa tak mungkin stabil dan aman tanpa kerja sama yang baik antara Jerman-Perancis serta didukung negara-negara anggota UE.

Di bidang militer, peran Jerman mendatang perlu ditingkatkan di tengah memudarnya kepemimpinan AS di Eropa. Dalam hal ini, anggaran militer Jerman yang tahun ini meningkat 8 persen menjadi 12 triliun dollar AS merupakan salah satu modal bagi Jerman untuk lebih berperan di bidang keamanan.

Sementara itu, hubungan bilateral Jerman-AS perlu diperbaiki, khususnya setelah Presiden Donald Trump menilai seolah Jerman "menumpang" AS sebagai penjamin keamanannya. Memang harus diakui, selama ini Jerman cenderung berlindung di bawah payung keamanan AS dan membangun ekonominya di atas sistem ekonomi global yang dimotori AS. Kini saatnya Jerman perlu menunjukkan kemandiriannya, baik secara militer maupun ekonomi.

Di tengah dilema yang mungkin akan dihadapi pemerintahan baru di bawah Merkel, mereka yang berpandangan optimistis yakin Merkel mampu mengatasi berbagai persoalan. Hal ini karena Merkel memiliki pengalaman cukup panjang sebagai kepala pemerintahan, bahkan sejak jadi menteri pada usia 36 tahun.

A AGUS SRIYONO

DIPLOMAT; PEMERHATI MASALAH-MASALAH INTERNASIONAL

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Dilema Angela Merkel".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger