Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 September 2017

Film dan Rekonstruksi Masa Lalu (SURIADI MAPPANGARA)

Ajakan menonton film G30S yang dilarang sejak tahun 1998 menuai polemik. Tidak sedikit yang menyambut ajakan tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang menolak dengan sejumlah argumentasi. Salah satu alasan yang dikemukakan untuk menolak ajakan itu adalah film tersebut dianggap sangat subyektif.

Film yang disutradarai Arifin C Noer itu dapat dikatakan film yang mendapat legitimasi pemerintah. Di zaman Orde Baru, film ini bahkan menjadi tontonan wajib bagi para siswa.

Sejak Reformasi 1998, film ini sudah tidak ditayangkan lagi di televisi, bahkan ada wacana untuk membuat film baru. Kekhawatiran pun muncul dengan berbagai alasan.

Rekonstruksi masa lalu

Merekonstruksi masa lalu, yang kemudian dituangkan dalam bentuk film, tentu memiliki ukuran kesulitan yang sangat panjang. Seorang sutradara tidak dapat berimajinasi "seenak perut" layaknya membuat film fiksi. Ia akan dibatasi waktu dan fakta sejarah.

Sebagai peristiwa yang belum terlalu lama berlalu, rekonstruksi itu tentu tidaklah sesulit dibandingkan merekonstruksi peristiwa ratusan tahun lalu meskipun hal itu juga dapat dilakukan selama sumber mendukung.

Persoalan utama dalam merekonstruksi masa lalu adalah sifat subyektif yang mungkin hinggap pada mereka yang melakukan. Meskipun harus pula disadari, persoalan subyektif bukanlah milik sejarah semata.

Demikianlah anggapan sebagian orang yang melihat film G30S yang disutradarai Arifin C Noer. Sebagian orang melontarkan kritik dan mempertanyakan obyektivitas film itu. Terlepas dari beberapa kekurangan yang terdapat dalam film itu, setidaknya film itu telah menjawab persoalan yang dihadapi generasi kala itu. Sebagai manusia, sikap subyektif tidak dapat dinafikan. Akan tetapi, sebagai film sejarah, seperangkat kaidah metode sejarah tentu saja tidak boleh diabaikan penanggung jawab pembuatan film itu.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang kesejarahan, merekonstruksi masa lalu bukanlah pekerjaan mudah. Begitu banyak kendala dihadapi. Bukan saja dokumen yang digunakan sebagai tapak untuk membangun masa lalu itu tidak lengkap dan berserakan, tetapi dokumen itu sendiri juga kadang tidak utuh dan kadang pula dibuat "asal bapak senang".

Dapat dibayangkan kesulitan yang dialami ketika merekonstruksi peristiwa masa lalu, terlebih kejadian yang terjadi ratusan tahun lalu. Merekonstruksi peristiwa yang terjadi kini pun tidak kurang rumitnya meskipun pelakunya masih dapat dimintai informasinya.

Roh sejarah

Sejarah tidaklah berarti merekonstruksi masa lalu. Itu hanya salah satu pengertian dari kata sejarah. Lantas di mana letaknya roh sejarah yang sesungguhnya?

Sejarah barulah bermakna dan memiliki roh jika peristiwa itu memiliki faedah di kekinian dan untuk kepentingan masa depan yang lebih baik. Ada hikmah dan pembelajaran sebagai hasil rekonstruksi masa lalu. Di sinilah arti pentingnya sejarah.

Menurut sejarawan Islam, Ibn Khaldun, ada banyak sebab mengapa merekonstruksi masa lampau itu memiliki jiwa yang subyektif. Sumber yang tidak lengkap, berat sebelah, penulis yang dipengaruhi sikap senang dan tidak senang, serta idiologi yang dianut, dapat menjadi penyebab. Namun, ini tidak membuat rekonstruksi menjadi salah.

Seperangkat kaidah yang diharuskan dalam merekonstruksi masa lalu dipandang sebagai filter untuk menjamin bahwa rekonstruksi bukanlah sesuatu yang dilakukan secara sambil lalu. Demikianlah yang dibuat Arifin C Noer sebagai sutradara film G30S itu.

Setiap generasi memiliki sejarahnya masing-masing, memiliki persoalannya, dan berusaha mencari solusi sebagai jawabannya. Seperti halnya pembuatan film yang disutradarai Arifin C Noor dibuat untuk menjawab banyak persoalan ketika itu.

Wacana membuat film baru tentang pemberontakan PKI tentu tidak boleh membuat kita menjadi panik. Hal itu tidak jauh berbeda ketika buku baru sejarah Indonesia yang ditulis oleh banyak orang terbit hampir 5 tahun sekali. Ada anggapan seolah-olah pembuatan film baru itu akan membelokkan fakta yang sesungguhnya.

Peristiwa itu sudah terekam di banyak tempat, bahkan sudah demikian menguat pada ingatan kolektif banyak orang. Seperti halnya ketika Pemerintah Jepang lewat buku-buku sejarah mencoba menutupi kekejaman pasukan tentaranya di China pada Perang Dunia II, mereka gagal karena fakta-fakta sejarah itu tidak terbantahkan.

Pembuatan film G30S yang baru diharapkan akan memunculkan tema-tema menarik dengan fokus perhatiannya yang berbeda dari sebelumnya.

Kita berharap bisa menemukan sisi-sisi lain dari peristiwa itu yang selama ini terlewati dan tidak tersentuh. Pembuatan film itu tentu tidak akan keluar dari fakta sejarah yang ada.

Jadi, kehadiran film baru itu tidak saja akan menambah daftar panjang film menarik yang dapat ditonton, tetapi juga akan menimbulkan benih-benih ke arah upaya tercapainya islah.

SURIADI MAPPANGARA

KEPALA LABORATORIUM SEJARAH DAN BUDAYA, UNIVERSITAS HASANUDDIN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Film dan Rekonstruksi Masa Lalu".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger