Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 September 2017

TAJUK RENCANA: Pascasarjana ibarat Buka Lapak (Kompas)

Beberapa pelanggaran akademik, ibarat buka lapak, bukanlah gambaran umum praksis pendidikan pascasarjana di Indonesia.

Kasus di Universitas Negeri Jakarta dan di Universitas Negeri Manado barulah dua kasus yang terbuka kepada publik. Motivasi dan praksisnya mirip perilaku koruptif. Sangat disayangkan, perilaku melapukkan yang terbuka kepada publik itu menyangkut dua lembaga pendidikan, yang karena statusnya itu urgensi pembenahan mendesak dilakukan.

Dua kasus di atas dan beberapa perguruan tinggi (PT) lain menjadi pintu masuk sekaligus pelecut. Memberikan sanksi bagi yang terbukti salah dan mempertanggungjawabkannya secara hukum. Pada saat sama dilakukan pembenahan penyelenggaraan program S-2 (magister) dan S-3 (doktor) yang saat ini giat diselenggarakan.

Dosen bergelar S-2 dan S-3 syarat legal dan ideal lembaga pendidikan tinggi, begitu juga tenaga pengajar bergelar guru besar (profesor). Akreditasi yang gencar dilakukan Kemristek dan Dikti mensyaratkan sejumlah perangkat lunak PT atau program studi tertentu, selain perangkat keras gedung dan infrastruktur lainnya.

Rasio ideal jumlah tenaga pengajar bergelar pasca dengan jumlah mahasiswa jadi nilai tambah proses akreditasi. Masuk akal, untuk mengejar status B apalagi A, PT berusaha mengangkat tenaga pengajar S-2, S-3, dan profesor dari luar, atau melakukaninbreeding, mendidik, dalam lembaga sendiri.

 
KOMPAS NEWSPAPERBeberapa pelanggaran akademik, ibarat buka lapak, bukanlah gambaran umum praksis pendidikan pascasarjana di Indonesia.

Selain inbreeding, program kuliah jarak jauh dilakukan PT bekerja sama dengan perguruan tinggi di luar. PTN di Jawa menyelenggarakan sistem serupa untuk PT di luar Jawa. Termasuk program cangkokan sekadar kiat memperoleh calon pengajar bergelar S-2 dan S-3. Ada peraturan legal agar program ini jalan sesuai seharusnya. Namun, nafsu pragmatisme dan monetisasi lebih dominan.

Kondisi ini tidak lebih dari ibarat buka lapak menggelar dagangan. Program S-2 dan S-3 sebagai komoditas, penjualnya penyelenggara program, konsumennya-sadar atau tidak-peserta program. Adu cepat dengan kebutuhan konsumen, demi uang dan status, beberapa lembaga menabrak aturan, mulai dari pemadatan jam kuliah, mala administrasi, hingga plagiarisme.

Kalau kondisi ini jalan terus, "buka lapak" berkembang menjadi penyakit sampar. Lembaga pendidikan yang seharusnya dijauhkan dari kecurangan larut dalam kondisi permisif dan pragmatisme. Akibatnya, tak hanya sekarang, tetapi terutama nanti, mutu generasi penerus bangsa. Kita dukung penyelesaian kasus pelanggaran akademik, sekaligus menjadikannya sebagai kapstok peninjauan kembali praksis pendidikan pascasarjana secara menyeluruh. Publik akan memonitornya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Pascasarjana ibarat Buka Lapak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger