Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 September 2017

Penuntasan Konflik 1965 (KIKI SYAHNAKRI)

Akhir pekan lalu ruang publik kita kembali diramaikan oleh berita tentang konflik 1965. Dipicu penyelenggaraan seminar yang dimotori Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 atauYPKP 65 di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, kelompok anti-PKI pun melakukan serangkaian reaksi, antara lain dengan mengepung gedung itu.

Pada pertengahan tahun 2015 YPKP 65 dengan bantuan pemerintah pernah juga melaksanakan kegiatan simposium di Hotel Aryaduta. Kalau simposium kala itu dikemas dalam tema rekonsiliasi, maka seminar di Gedung YLBHI kali ini bertema pelurusan sejarah. Panitia dari dua kegiatan itu (mayoritas aktivis LSM yang bergerak di bidang HAM) mengatakan bahwa tujuannya adalah penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965.

Jika itu yang dituju, diyakini tidak akan pernah tercapai, bahkan sebaliknya, akan memperpanjang konflik, memicu konflik baru.. Mana mungkin bisa dituntaskan kalau yang dikatakan penuntasan HAM dan pelurusan sejarah itu pada kenyataannya menjadi ajang salah satu pihak membersihkan diri, memonopoli kebenaran, dan pada saat yang sama menyalahkan, bahkan menonjok pihak lain.

Justru yang akan muncul adalah reaksi keras dari pihak lawannya karena pihak ini juga meyakini kebenaran sejarah versinya. Banyak di antara mereka merupakan pelaku sejarah yang mengalami kejadian pra-1965 dan pasca-30 September 1965, bukan sekadar mengetahuinya dari dongeng atau membaca buku seperti aktivis yang kebanyakan lahir setelah 1965.

Konflik 1965 tak bisa diselesaikan hanya dengan menggunakan pendekatan HAM, tetapi harus didekati dari banyak arah/ aspek secara komprehensif dengan penuh kearifan. Buat kita, pendekatan yang paling tepat adalah menggunakan "Pancasila". Artinya, pada saat kita ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, pada saat yang sama harus pula mempertimbangkan aspek persatuan Indonesia serta keefektifan upaya perwujudan keadilan sosial.

Sesungguhnya anak/cucu anggota PKI yang tergabung dalam YPKP 65 pimpinan Bejo Untung yang getol menuntut pelurusan sejarah tersebut jumlahnya hanya segelintir orang. Padahal, anak/cucu anggota PKI jumlahnya sangat besar, mungkin ratusan ribu atau jutaan. Kini banyak di antara mereka yang sudah jadi pejabat, anggota DPR, TNI/Polri, pengusaha sukses, eksekutif di sejumlah perusahaan, termasuk BUMN, tanpa ada yang mempermasalahkan. Artinya, kini bukan pelurusan sejarah yang kita perlukan karena rekonsiliasi sudah terjadi secara alamiah, yang dibutuhkan adalah "islah nasional" untuk menguatkan persatuan Indonesia.

Kewaspadaan

Everlasting vigilance is a price of liberty (kewaspadaan tanpa akhir adalah harga dari sebuah kebebasan), kata Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat. Jefferson menyadari bahwa kebebasan individual yang menjadi syarat liberalisme itu harus dibarengi dengan kewaspadaan. Apabila tidak, rakyat Amerika akan terjebak dalam konflik berkepanjangan yang membahayakan keutuhan bangsa.

Reformasi telah menggiring bangsa Indonesia kepada iklim keterbukaan dan kebebasan yang sangat lebar, bahkan nyaris tanpa batas. Karena itu, kewaspadaan seperti dikatakan Thomas Jefferson mutlak harus pula kita lakukan. Waspada berarti harus mampu membaca lingkungan strategis dengan cermat serta mampu melihat jauh ke depan.

Kini bangsa Indonesia perlu lebih fokus melihat ke depan, melakukan pembangunan nasional menuju cita-cita kemerdekaan: menjadi bangsa yang "merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur". Untuk menuju ke arah itu, kita butuh "integrasi nasional" sebagai pijakan yang bersifat syarat mutlak. Namun, apabila kita membiarkan konflik 1965 terus berkembang, bangsa Indonesia tidak akan pernah keluar dari kubangan konflik ideologi. Membuat pembangunan nasional tak berjalan baik bahkan sangat berpotensi menggiring bangsa kita ke dalam perpecahan.

Pertanyaannya, apakah pertikaian yang bertahun-tahun tidak pernah tuntas itu murni persoalan internal bangsa Indonesia, atau ada pihak lain yang membuatnya agar bangsa Indonesia tetap berada dalam situasi konflik sehingga mudah dihegemoni. Dalam konteks inilah diperlukan kesadaran dan kewaspadaan dari seluruh komponen bangsa.

Seyogianya kita memahami dengan baik apa yang dikatakan Panglima TNI sebagaiproxy war atau model Perang Generasi-IV karena lewat cara inilah kini hegemoni asing terhadap Indonesia dilakukan. Perang dengan senjata utamanya bukan kekuatan militer, melainkan informasi, ekonomi, budaya, dan ideologi ini diarahkan untuk membuat negara sasaran hancur dari dalam dengan membuat pembusukan politik atau membangkitkan konflik internal. Tujuan utamanya penguasaan sumber daya/ekonomi.

Dialog

Kita sungguh memerlukan penuntasan masalah konflik 1965 secepatnya demi masa depan bangsa. Para purnawirawan pun sangat menyadarinya ingin masalah ini segera selesai agar tidak menjadi beban anak cucu kita di kemudian hari.

Penuntasan hanya mungkin dapat dicapai dengan "islah nasional" lewat dialog. Jalannya pasti terjal dan memerlukan waktu, tetapi inilah jalan terbaik menuju penuntasan. Dialog akan berhasil manakala kedua belah pihak mau duduk bersama dengan motivasi dan niat yang sama seraya menanggalkan dendam lama. Motivasi yang harus dibangun adalah menuntaskan masalah demi kepentingan nasional, bukan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan asing.

Dialog ini harus difasilitasi pemerintah karena pemerintahlah yang paling berkepentingan dan memiliki kewajiban. Untuk itu, para pejabat pemerintah tidak boleh lagi terbawa dalam arus kepentingan politik golongan dengan memberi komentar yang nadanya membela atau menyalahkan salah satu pihak, tetapi harus berupaya keras mendinginkan situasi. Semoga penuntasan konflik 1965 akan segera terwujud.

KIKI SYAHNAKRI

KETUA UMUM PERSATUAN PURNAWIRAWAN TNI ANGKATAN DARAT (PPAD)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Penuntasan Konflik 1965".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger