Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 September 2017

TAJUK RENCANA: Akhir Kisah Klan Shinawatra (Kompas)

Satu bulan tertunda, mantan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra akhirnya dijatuhi hukuman lima tahun penjara secara in absentia.

Pembacaan keputusan Mahkamah Agung dijadwalkan pada 25 Agustus lalu. Namun, Yingluck malah secara dramatis meninggalkan Thailand. Kemarin, PM Thailand Prayuth Chan-ocha memastikan Yingluck berada di Dubai, Uni Emirat Arab, menyusul kakaknya, Thaksin Shinawatra, yang lebih dulu mengasingkan diri ke sana.

Hukuman lima tahun penjara dijatuhkan karena Yingluck didakwa lalai mengawasi pengelolaan skema subsidi beras yang merugikan negara hingga miliaran dollar AS. Vonis ini menyusul keputusan parlemen dua tahun lalu, yang memakzulkan Yingluck dan melarangnya terlibat politik selama lima tahun.

Yingluck masuk ke pusaran krisis politik Thailand saat terpilih sebagai PM pada 2011. Dia mendapat dukungan kalangan petani serta nelayan di perdesaan utara dan timur laut Thailand, basis massa yang sama yang mendukung Thaksin menjadi PM, satu dekade sebelumnya.

Sejak itu pula, politik Thailand terpecah. Di satu pihak ada massa pendukung klan Shinawatra, yang diuntungkan dengan berbagai program subsidi pemerintah. Di pihak lain ada koalisi militer, loyalis kerajaan, elite politik Bangkok, dan warga kelas menengah. Era Thaksin berakhir dengan kudeta militer pada 2006, disusul dakwaan korupsi yang membuatnya melarikan diri ke Dubai. Era Yingluck pun berakhir nyaris serupa.

Keputusan ini membawa konsekuensi. Meski punya hak banding dalam 30 hari, itu berarti Yingluck harus pulang dan menghadapi hukumannya. Peluang ini sangat kecil kecuali terjadi perubahan politik secara drastis di Thailand. Hal ini praktis menutup karier politiknya.

Tanpa Yingluck, Partai Puea Thai tak lagi memiliki pemimpin yang populis dan punya karisma. Partai ini perlu waktu untuk berkonsolidasi mencari pemimpin baru yang cukup mendapat dukungan. Jika pemilihan umum jadi dilakukan tahun depan, Puea Thai harus bersiap menjadi oposisi dan membangun kekuatan dari bawah.

Yang terakhir, keputusan ini memperlihatkan kokohnya dominasi militer dalam percaturan politik Thailand. Meskipun menganut sistem monarki konstitusional, pemerintahan hasil pemilu yang demokratis harus memperhitungkan faktor militer. Dan, kehadiran militer tampaknya juga masih dibutuhkan rakyat, yang seolah tak memusingkan kudeta militer yang kerap terjadi.

Kita berharap pemerintah militer memenuhi janjinya menggelar pemilu tahun depan agar demokrasi ditegakkan, rakyat Thailand kembali mendapat haknya memilih pemimpin, dan pemerintah mendapat mandat rakyat. Kondisi politik Thailand juga diharapkan lebih stabil karena stabilitas Thailand berpengaruh pada kawasan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Akhir Kisah Klan Shinawatra".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger