Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 September 2017

Reforma Agraria Berbasis KSM (BAMBANG ISMAWAN)

Syarat "wajib" tersulit untuk terwujudnya sebuah desa maju dan mandiri, selain akses layanan sarana dan prasarana dasar 100 persen bagi seluruh penduduk desa, adalah tingkat pendapatan per kapita masyarakat desa yang cukup tinggi. Sebut saja minimal tiga kali lipat garis kemiskinan per bulan.

Pasalnya, sekitar tiga perempat dari jumlah petani kita hanya berlahan kecil dan gurem.  Belum terhitung petani penggarap yang tak memiliki  lahan dan perambah hutan yang tak terdata oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Rerata kepemilikan lahan pertanian jauh di bawah skala yang layak. Apalagi di Pulau Jawa, hasil pengamatan lapangan di beberapa puluh desa menunjukkan rerata skala usaha tani tradisional atau informal hanya di kisaran 2.000 meter persegi saja.

Boleh saja hasil sensus pertanian menyatakan bahwa rerata penguasaan lahan pertanian secara nasional meningkat dari 0,35  hektar (2003) menjadi 0,89 hektar (2013) dan sangat mungkin lebih tinggi lagi saat ini. Namun, apalah artinya jika hal itu merupakan hasil dari terdepaknya sekitar 5 juta petani gurem dari barisan petani pemilik lahan dan masuknya pemilik lahan baru berskala sedang ke atas (di atas 3 hektar) sebanyak 400.000 yang mengindikasikan masuknya pemodal, spekulan lahan, tuan-tuan tanah baru, dan petani "berdasi"  ke desa-desa.

Di negara-negara lain, rerata penguasaan lahan per rumah tangga petani naik setelah reformasi lahan, sedangkan di Indonesia akibat mekanisme pasar. Lahan pertanian jadi komoditas. Sejak 1966 hingga dekade 2010, tak ada reforma agraria ataupun proteksi lahan pertanian.  Padahal, di negara Barat paling liberal pun, reforma agraria jauh-jauh hari telah dilaksanakan.  Contohnya, di Swedia tahun 1757, AS dengan Homestead Act 1862  hingga Burke Act 1906, dan Inggris pada abad ke-18 hingga setelah Perang Dunia I.

Kebijakan investasi dengan memberikan konsesi berupa hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak guna usaha (HGU) yang amat luas kepada korporasi besar perkebunan, hutan tanaman industri, dan pertambangan sejak 1970 menimbulkan tekanan hebat yang memarjinalkan pertanian tradisional.

Lebih runyam lagi, sistem pewarisan yang turun temurun, dari generasi ke generasi, membuat persil-persil lahan pertanian kian mengecil hingga bilangan ratusan meter persegi saja.

Redistribusi lahan negara

Program pemerintah untuk meredistribusikan lahan (hutan) negara seluas 21,7 juta hektar perlu didukung karena secara makro akan memperbaiki rerata skala usaha tani dan struktur penguasaan lahan pertanian.

Namun, masalahnya lebih dari separuh desa-desa kita tidak berbatasan langsung dengan kawasan hutan atau lahan milik negara. Terlebih di Pulau Jawa terbatas pada desa-desa di daerah pegunungan yang berbatasan dengan hutan-hutan lindung yang dikelola Perhutani dan taman-taman nasional yang berfungsi sebagai perlindungan kawasan tangkapan air ataupun spesies langka dan plasma nutfah.

Sebagian petani terpaksa merambah hutan-hutan lindung, bahkan taman-taman nasional, yang kemudian dilegalkan sebagai hutan sosial, untuk budidaya tanaman hortikultura dan tanaman tahunan, khususnya kopi dan cokelat seperti di daerah Pegunungan Dieng bagian utara dan lahan persawahan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Perambahan hutan lindung ini marak setelah krisis 1998.

Areal yang masuk kawasan hutan lindung dengan lereng lebih dari 40 persen tentu sangat riskan jika disertifikatkan dan lebih baik diberi status pinjam lahan dalam jangka 35 tahun dengan regulasi ketat untuk mencegah erosi, longsor, dan banjir.

Pola reforma agraria untuk desa-desa berpenduduk relatif padat dan tidak berbatasan langsung dengan kawasan hutan negara jauh lebih sulit, yaitu dengan redistribusi lahan milik pribadi, termasuk milik tuan tanah yang mungkin tidak tinggal di desa (absentee landlord).

Dalam pola ini diberlakukan batasan kepemilikan lahan, baik batas maksimal maupun minimal.  Kelebihan kepemilikan lahan pertanian dari batas maksimal dibeli oleh pemerintah untuk diredistribusikan atau dipinjamkan kepada petani gurem dan buruh tani dengan tarif yang telah disubsidi atau gratis sama sekali.

Reforma berbasis KSM

Pola reforma agraria melalui redistribusi lahan milik pribadi (para tuan tanah) memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk dilaksanakan. Pasalnya, ketersediaan lahan dan anggaran negara terbatas, sedangkan kebutuhan dana cukup besar dengan banyaknya jumlah desa, petani gurem, dan buruh tani.

Karena itu, model reforma agraria berbasis kelompok swadaya masyarakat (KSM) sangat perlu dipertimbangkan sebagai alternatif.  KSM merupakan kelompok berbasis masyarakat akar rumput atau koperasi berbasis komunitas yang dibentuk untuk memfasilitasi anggotanya.

Kita coba melongok Desa Kembanglangit di Kabupaten Batang yang terletak di kawasan Pegunungan Dieng bagian utara.  Sekelompok warga desa yang sebelumnya buruh tani dan pemuda pengangguran berhasil dibina melalui pendampingan hingga mampu mengubah lahan seluas 3 hektar milik Perhutani yang dipinjamkan kepada KSM tersebut menjadi sebuah kawasan wisata yang ramai pengunjung. Dengan omzet lebih dari Rp 1 miliar per tahun, lahan mampu memberikan penghasilan bagi 50 anggota sekaligus karyawan dengan gaji minimal beberapa kali lipat garis kemiskinan.

Sukses KSM ini dapat dipandang sebagai satu best practice dari model  reforma agraria berbasis KSM. Bandingkan saja jika lahan seluas 3 hektar tersebut dibagikan langsung kepada petani, paling banyak hanya 6 petani yang kebagian. Namun, dengan memanfaatkan lahan secara kolektif untuk kegiatan ekonomi nonusaha tani, lahan seluas 3 hektar memberikan manfaat nyata paling tidak pada 50 anggotanya.  Belum terhitung pemasok dan munculnya usaha-usaha ekonomi lain di sekitarnya sebagai dampak positif.

Model reforma agraria berbasis KSM ini sangat layak dan jauh lebih realistis diterapkan di sebagian besar desa-desa di Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan daerah-daerah berpenduduk padat lainnya.  Dalam model ini, pemerintah membeli lahan dari tuan-tuan tanah dan meminjamkan selama 35 tahun kepada KSM-KSM yang beranggotakan petani gurem dan buruh tani, khususnya untuk mengembangkan kegiatan nonusaha tani perdesaan, seperti wisata perdesaan, agroindustri, industri kreatif, agrobisnis, dan bahkan pasar desa.

Untuk memperkuat kedudukan hukum, beberapa KSM dapat saja membentuk koperasi formal yang memudahkan pemerintah dalam memberikan hak-hak atas lahan dan pembinaan kepada institusi berbasis warga marjinal perdesaan tersebut.

Pendekatan reforma agraria berbasis KSM ini dapat menjadi solusi realistis untuk menstimulasi kegiatan ekonomi nonusaha tani perdesaan, bersama-sama dengan redistribusi lahan milik negara untuk meningkatkan skala usaha tani, akan mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat desa ke tingkat yang dapat mengakses standar kualitas hidup yang jauh lebih baik.

BAMBANG ISMAWAN

Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Reforma Agraria Berbasis KSM".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger