Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 07 Oktober 2017

Beras Medium dan HET (SAPUAN GAFAR)

Kebingungan masyarakat tentang beras yang masuk kategori kelas medium dan masalah kebijakan harga eceran tertinggi banyak disorot media massa kita akhir-akhir ini.

Orang awam bertanya-tanya beras medium itu seperti apa? Demikian juga tentang harga eceran tertinggi (HET) beras, menurut pengalaman sejak tahun 1950-an, pemerintah belum pernah mematok harga beras, kecuali untuk beras milik pemerintah sendiri.

Tulisan ini berusaha menelusuri istilah, ketentuan, dan pemahaman masyarakat tentang beras medium dan HET beras karena dari sanalah diharapkan dapat ditemukan latar belakang dan tujuannya. Istilah beras medium sendiri dikenal mulai pertengahan tahun 1970-an. Peristiwanya bermula pada tahun 1976. Pada saat itu Kabulog Bustanil Arifin kesal karena merasa sudah melakukan operasi pasar ratusan ribu ton, tetapi beras yang dijual oleh Bulog tidak tercatat pada statistik harga BPS untuk perhitungan laju inflasi.

Pada saat itu beras yang dijual oleh Bulog, selain beras eks dalam negeri, sebagian besar berasal eks impor dari Thailand, Myanmar, Australia, dan Amerika Serikat dalam jumlah cukup besar. Bahkan, sampai ke perdesaan, akibat kegagalan panen karena serangan hama wereng saat itu. Setelah ditelusuri, ternyata pencatatan harga oleh BPS itu menggunakan sistem yang apabila ada beras yang sudah tidak beredar di pasar, nama beras tersebut masih tetap digunakan dalam pencatatan harga, tetapi perubahannya menggunakan tren beras lain yang mirip.

Akhirnya setelah pembicaraan dengan BPS, disepakati dilakukan survei peredaran beras di kota-kota besar yang jadi tempat pencatatan harga untuk perhitungan inflasi. Untuk DKI Jakarta, dipilih enam jenis beras yang banyak beredar. Ternyata dari beras yang dicatat harganya berbeda satu dengan lainnya, ada yang harganya tinggi dan ada yang rendah.

Dengan alasan akan "merepotkan" jika menyebut satu per satu dari enam jenis beras tersebut, saat itu Bulog menamakan "beras medium", untuk beras yang banyak beredar di pasaran. Jadi, yang disebut harga beras medium sebenarnya merupakan rata-rata tertimbang dari bermacam-macam jenis beras yang beredar dan dapat berubah setiap waktu.

Ternyata istilah itu masih dipakai sampai sekarang, tetapi dengan pemahaman dan penggunaan yang berbeda. Tidak dapat dibayangkan akan terjadinya kekisruhan di pasar karena istilah beras medium yang semula hanya digunakan sebagai pencatatan untuk harga beras yang tidak mengenal batasan kadar air, derajat sosoh, butir patah, dan menir, kemudian akan dijadikan standar yang ketat.

Ambil contoh tentang kadar air. Untuk beras yang beredar di pasar pada umumnya kadar air di atas 14 persen, lalu apakah yang menjual beras seperti itu dapat diperkarakan oleh polisi dengan tuduhan telah menipu konsumen?

Usaha melakukan standardisasi dalam perdagangan beras memang bagus, tetapi itu lebih diperlukan jika kita ingin melakukan perdagangan internasional secara bebas. Standardisasi barang umumnya untuk menghambat barang yang sama masuk ke negara yang bersangkutan dengan persyaratan tertentu. Pertanyaannya, apakah kita sudah mau melangkah ke sana? Standar beras yang dikeluarkan melalui peraturan menteri pertanian dan peraturan menteri perdagangan baru-baru ini sangat mudah dilayani negara pengekspor beras.

Perlu juga dipertimbangkan bahwa yang terlibat dalam perberasan ini ada jutaan orang, mulai dari petani, pedagang pengumpul, pengolah gabah, pedagang grosir dan pengecer, hingga konsumen beras. Kita harus berterima kasih kepada mereka yang setia menjalankan logistik beras sekitar 3 juta ton per bulan tiada henti sehingga setiap hari tersedia nasi di meja kita untuk makan siang, sore, dan pagi dan tak boleh telat walau hanya sehari. Bayangkan apabila gara-gara masalah kadar air saja kemudian logistik beras terhenti.

Masalah HET beras

Penelusuran tentang HET juga menarik. Konsep HET merupakan warisan pemerintahan lama, pada saat pendapatan per kapita kita masih sekitar 100 dollar AS, di mana saat itu ikan asin pun masih masuk dalam sembilan bahan pokok.

HET waktu itu merupakan instrumen untuk mengatur harga jual beras milik pemerintah yang dikelola oleh Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP) dalam rangka injeksi beras ke pasar melalui pedagang yang mendapat lisensi seperti yang dijelaskan dalam buku 25 Tahun Bergulat dengan Butir-Butir Beras (Bulog, 1970).

Selanjutnya, dalam pemerintahan berikutnya, HET adalah istilah yang digunakan untuk komoditas penting di luar beras, seperti terigu dan gula yang seluruh stoknya dikusai oleh pemerintah. Walaupun namanya harga eceran tertinggi, HET hanya digunakan sebagai dasar evaluasi harga saja dalam rangka menentukan kebijakan apa yang perlu dilakukan, untuk impor, atau menambah alokasi penyaluran.

Sementara untuk komoditas beras yang dikelola Bulog dalam rangka perlindungan konsumen, dikenal istilahceiling price atau harga batas tertinggi. Dalam penerapannya, Bulog pada tahun 1970-1971 menganut satu macam harga untuk ceiling price, yaitu Rp 50 dengan harga jual Bulog Rp 40 per kilogram untuk semua jenis beras dan berlaku untuk seluruh Indonesia.

Kemudian tahun 1972/1973 menggunakan floating ceiling pricekarena Bulog tidak mempunyai stok yang cukup untuk operasi pasar karena Indonesia dilanda kekeringan parah. Kemudian tahun 1973-1975 menggunakan pembedaan harga jual Jawa dan luar Jawa. Oleh karena harga yang terjadi di pasar bervariasi, mulai 1976 Bulog membedakan harga jual antarjenis beras dan antartempat.

Pertanyaan mendasar dalam kebijakan HET, apakah pemerintah dapat mengatur harga jual beras milik masyarakat? Apabila kita belajar dari kasus perumahan, yang bisa diatur harga jualnya adalah rumah yang disubsidi pemerintah. Kemudian untuk penjualan gas, yang bisa diatur harga jualnya adalah harga gas tabung tiga kilogram yang disubsidi pemerintah. Demikian juga untuk listrik dan BBM yang diatur adalah yang mendapat subsidi.

Apabila kita belajar dari pemerintahan Presiden Soekarno, yang dapat diatur HET-nya adalah beras pemerintah yang dikelola BPUP yang disalurkan melalui pedagang dan mendapat lisensi dari pemerintah seperti diungkapkan di atas.

Selanjutnya apabila kebijakan HET menggunakan alasan untuk melindungi konsumen, ini juga sudah kehilangan maknanya dengan adanya kebijakan pemerintah yang menyalurkan beras untuk rakyat miskin (raskin) yang kemudian akan digantikan dengan kupon. Kemudian, apabila alasannya menggunakan argumen untuk menjaga inflasi dengan cara harga dibuat stabil sesuai HET sepanjang tahun, maka sudah jarang negara yang menggunakan sistem ini.

Urgensi operasi pasar

Pemerintah saat ini melakukan eksperimen kebijakan perberasan yang sangat berisiko menjelang Rencana Hajatan Nasional 2019, padahal sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah yang ditunggu-tunggu, yakni menyejahterakan petani dan regenerasi petani. Mereka harus merasa diayomi atau dilindungi, dan diayemi atau disejahterakan. Sekarang ini semua daya dicurahkan untuk program swasembada beras, tetapi nasib petani padi terlupakan, seperti sorotan Kompasdalam Tajuk Rencana, 6 September 2017.

Oleh karena itu, perlu kearifan dalam penerapan standardisasi beras di pasar dan implementasi kebijakan HET. Penerapan kebijakan tersebut diharapkan tidak menciptakan kekacauan bagi para pelaku pasar dan konsumen, sebagaimana diingatkan oleh mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong (Kompas, 27/8/2015). Apabila kebijakan tersebut memang harus dilaksanakan, seyogianya dibarengi pendekatan ramah pasar.

Menurut pengamatan saat ini, harga beras sudah di atas HET sehingga sudah waktunya melakukan operasi pasar besar-besaran untuk menurunkan harga.

Semoga kekhawatiran ini tidak terjadi.

SAPUAN GAFAR

Kepala Biro Harga dan Analisa Pasar Bulog 1976-1982

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Beras Medium dan HET".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger