Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 06 Oktober 2017

Ketika Akal Sehat Hilang (SYAMSUL RIZAL)

Akhirnya, Rektor Universitas Negeri Jakarta Prof Djaali diberhentikan sementara oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Prof Djaali dinilai melanggar aturan kementerian terkait pengelolaan program pascasarjana (Kompas, 27/9).

Pelanggaran ini sebetulnya sudah tercium lama. Dosen Program Pascasarjana UNJ, Saifur Rohman, bahkan menilai keputusan Kemristek-Dikti sudah terlambat karena penyimpangan akademik berlangsung sejak 2013.

 Ada beberapa hal yang membuat kita, bangsa Indonesia, jadi sangat terpukul. Pertama, musibah ini terkait langsung dengan rektor. Rektor adalah orang pertama yang berdiri pada baris terdepan dan memberikan contoh bagaimana seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai akademik.

 Kedua, UNJ salah satu kampus terhebat di Nusantara. Nama-nama hebat pernah jadi rektor di UNJ (sebelumnya bernama IKIP Jakarta), yaitu Prof Deliar Noer, Prof Winarno Surachmad, Prof Conny R Semiawan, dan nama-nama besar lainnya.  

 Ketiga, core business UNJ pada dasarnya adalah bidang pendidikan: bidang yang melekat erat dengan kejujuran akademik. Dengan adanya musibah yang melanggar nilai-nilai akademik ini, benteng pertahanan terakhir pendidikan tinggi kita dalam bidang pendidikan telah roboh. Sudah sepantasnyalah kita menangis untuk kejadian ini.

Mengapa bisa terjadi?

 Yang menarik, bukan hanya pelanggaran akademik secara administratif yang dilakukan UNJ, tetapi juga begitu banyaknya mahasiswa doktor yang dibimbing sang rektor. Berdasarkan temuan tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA), rektor UNJ dalam kurun waktu Januari-September 2016 sudah meluluskan 118 mahasiswa S-3. Ini betul-betul angka yang sangat fantastis!

 Bagaimana mungkin seorang profesor bisa mendapatkan topik penelitian dengan 118 varian? Bagaimana saat konsultasi, apakah profesor ini bisa ingat topik penelitian setiap mahasiswa? Kalau saya dalam posisi seperti ini, jangankan topik penelitian, nama mahasiswa pun tak mungkin saya hafal semuanya. 

Selanjutnya, di tengah tugasnya sebagai rektor, kapan beliau sempat mengajarkan eksperimen yang harus dilakukan oleh mahasiswa S-3 itu? Kapan sempat membaca draf disertasi mahasiswa S-3 itu? Akibat dari banyaknya mahasiswa bimbingan ini, celah untuk melakukan plagiat pada pembuatan disertasi S-3 akan terbuka lebar.

 Kita tak habis pikir, dan tentu saja bertanya: mengapa ini bisa terjadi pada seorang rektor pada kampus papan atas di republik ini? Sangat absurd,sekaligus memalukan dan memilukan.

 Apakah sesama rekan kerja tak ada yang mengingatkan? Apakah senat universitas yang berisi para dekan, profesor, dan para dosen senior tidak ada yang mengingatkan? Apakah anggota senat yang anggotanya ramai merasa takut dengan rektor yang jumlahnya hanya seorang saja?

Inilah tipikal manusia Indonesia: sebagian besar ingin cari aman saja. Sebagian anggota senat, saya yakin sekali, pasti ada yang mengingatkannya. Saya yakin juga kalau rektor tidak mau diingatkan, dan merasa benci kepada para pengkritiknya, maka posisi para pengkritiknya akan berada dalam keadaan bahaya dan terancam.

Kalau ini terjadi, anggota senat yang vokal tentu saja tidak akan mau mengambil risiko lebih jauh. Anggota senat yang vokal ini, dengan demikian, akan terbelah menjadi tiga bagian. Pertama, akan menjauh dari kekuasaan dan tidak mau mengkritik lagi. Kedua, bergabung dengan kekuasaan sambil ikut menikmati rezeki atau jabatan yang dibagi oleh sang rektor. Ketiga, tetap melakukan kritik dengan risiko dikucilkan oleh kekuasaan.

Kalau sudah seperti ini, tentu saja posisi rektor dan posisi universitas dalam keadaan bahaya. Mengapa? Karena dua hal. Pertama, tidak semua aset sumber daya manusia (SDM) yang andal dapat digunakan oleh rektor. Kedua, aset SDM yang dapat digunakan adalah aset yang oportunistis, yang selalu menjaga jangan sampai rektor tersinggung, sakit hati, marah, dan seterusnya.

Salah memilih rektor

 Karena kasus memalukan ini melibatkan rektor, maka universitas jadi tersandera. Ini hendaknya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia bahwa memilih rektor tidak boleh dilakukan secara serampangan. Pemilihan rektor harus dilakukan secara hati-hati. Jika tidak, hal itu akan menghancurkan universitas sampai ke tulang sumsum. Rektor yang tak mau dikritik, arogan, dan merasa paling benar, secara intrinsik sudah tidak sesuai dengan karakter yang menjunjung tinggi nilai-nilai akademik.

Namun, yang menjadi masalah, orang-orang dengan karakter seperti ini bisa terjaring dan terpilih menjadi rektor. Sebab, pada dasarnya (tentu saja tidak semua) tokoh yang bisa memenangi pemilihan menjadi rektor adalah tokoh mau fight. Tokoh ini biasanya rela, tidak malu, dan mau berkampanye secara orang per orang. Mereka rela menemui pemilik suara secara langsung: di laboratorium, restoran, dan di tempat-tempat lain.

 Mengapa ini bisa terjadi? Sebab, pemilik suara (yang memilih rektor) tidak ramai, tidak seperti halnya pemilihan wali kota, bupati, gubernur, ataupun pada pemilihan presiden.

 Pemilik suara tentu saja tak berani menolak kalau diajak bertemu sang calon rektor yang meminta dukungan. Sebab, kalau calon rektor ini bisa memenangi pemilihan rektor, pemilik suara bisa dalam posisi yang berbahaya dan terancam. Bayangkan kalau ada empat calon rektor yang berimbang, maka pemilik suara harus menemui empat calon rektor tersebut. Dan, kalau mau aman, para pemilik suara harus bersikap munafik dengan cara mendukung semua calon.

 Dalam suasana seperti ini, calon rektor yang santun, tahu malu, baik hati, dan tidak mau fight hampir dapat dipastikan akan kalah. Akibatnya, akademisi sejati tidak akan mungkin memimpin universitas.

 Kalau demikian halnya, kita patut bertanya: apakah tujuan pemilihan rektor? Kalau untuk mencari putra atau putri terbaik di sebuah universitas, tampaknya kita telah salah memilih cara.  

 Dari uraian di atas saya berpendapat, memaksakan demokrasi di universitas dalam pemilihan rektor dalam beberapa hal justru kontraproduktif. Di Malaysia, yang ilmuannya sangat produktif itu, rektor universitasnya ditunjuk pemerintah. Dengan penunjukan itu, atmosfer akademik di universitas sudah pasti terjaga dengan baik.

 Tampaknya kita perlu berpikir keras untuk mencari cara yang tepat dalam memilih rektor. Jangan sampai universitas menjadi roboh hanya karena salah dalam memilih rektor.

SYAMSUL RIZAL

PROFESOR DI UNIVERSITAS SYIAH KUALA; ALUMNUS ITB (S-1) DAN UNIVERSITAET HAMBURG (S-3)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Ketika Akal Sehat Hilang".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger