Banyak pihak yang menyebutkan bahwa motivasi pemutaran kembali dan acaranonton bareng (nobar) filmPengkhianatan G30S/PKI lebih beraroma politik demi kepentingan Pemilu Presiden 2019. Hal itu karena banyak kejanggalan di dalam alur pembabakan, materi pengisahan, dan pola dramatisasi dalam film yang diproduksi tahun 1983 yang tak menunjukkan otensitas sebagai film sejarah. Bahkan, cenderung menjadi alat pengingkaran sejarah yang obyektif dan ilmiah.
Tepat sekiranya jika Mendikbud Muhadjir Effendy dengan tegas melarang siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama menonton film berdurasi hampir 2,5 jam itu. Film Pengkhianatan G30S/PKI dalam perspektif filosofi pendidikan sangat tak layak dijadikan tontonan bagi siswa karena memiliki banyak adegan kekerasan. Narasi yang tersajikan dalam berbagai dialog, baik tokoh protagonis maupun antagonis, banyak yang tak sesuai kaidah bahasa komunikasi yang sejalan dengan perkembangan psikologis anak didik.
Film adalah media rekreasi, sosialisasi, dan edukasi. Film yang diklaim sebagai peranti pendidikan (edukasi) harus memenuhi prinsip-prinsip dasar. Pertama, bebas dari unsur propaganda ideologi dan politik. Film yang memiliki tujuan mendidik masyarakat, khususnya generasi muda, tidak boleh ditumpangi kepentingan subyektif kekuatan politik tertentu.
Kedua, berlandaskan kekuatan literasi. Film edukasi naskahnya harus disusun dengan mengacu pada referensi dan literasi yang sahih dalam cakupan akademis. Ketiga, mengeliminasi unsur kekerasan (violence) dalam penyajian jalan ceritanya. Unsur kekerasan bagaimanapun juga bertentangan dengan tujuan dasar pendidikan untuk menghormati nilai kemanusiaan.
Banyak film yang didengungdengungkan sebagai film edukasi ternyata menyimpang dari norma dasar dan etika pendidikan. Film edukasi harus benar-benar mendorong peningkatan kualitas pengetahuan bagi siswa dan masyarakat. Tidak boleh menyuguhkan data palsu dalam naskah dan lakon yang dimainkan. Film edukasi harus terbebas dari aspek kontroversi dengan sungguhsungguh memperhatikan apa yang disebut standar keakuratan ilmiah.
Yang termasuk film edukasi jelas adalah film sejarah. Namun, film sejarah yang bersumber dari arsip yang teruji kebenaran ilmiahnya. Film sejarah yang paling representatif adalah film dokumenter yang dirangkai dari kepingan-kepingan arsip audio visual yang diproduksi di masa lalu. Film dokumenter mengenai sejarah yang diracik dalam narasi dan dialog yang mendekati kebenaran sumber sejarah.
Film sejarah yang bermutu adalah yang mengungkapkan data yang terkonfirmasi kebenarannya. Film yang benar-benar diproduksi untuk kepentingan meluruskan kebenaran sejarah yang masih simpang siur. Bukannya film yang menjadi alat propaganda politik dengan membelokkan kebenaran sejarah yang otentik.
Penting diketahui film sejarah tidak berwujud film fiksi atau sekadar film yang mengambil setting masa lalu dengan pola dramatisasi kekinian. Konteks demikian bisa dipastikan bahwa film seperti Pengkhianatan G30S/PKIbukanlah film dengan nalar edukatif. Bukan film sejarah yang mengandung kebenaran otentik. Justru banyak kebenaran otentik yang sengaja disembunyikan dalam lakon film tersebut.
Membuat film dalam nalar edukatif idealnya harus bersih dari faktor politik. Politik adalah kepentingan dan kekuasaan, sedangkan pendidikan adalah membangun daya kritis anak didik dan masyarakat terhadap pengelaman masa lalu. Film yang mendidik adalah membangkitkan semangat untuk belajar tentang etik kebajikan sosial dan bukannya tersandera oleh stigmatisasi kebencian. Kita sangat berharap para akademisi dan pekerja sineas memiliki semangat berkarya melahirkan film edukasi yang bermutu tinggi yang mencerdaskan anak bangsa.
ARI KRISTIANAWATI
Guru Sejarah SMAN 1 Sragen
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Film dalam Nalar Edukasi"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar