Seusai makan malam dengan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman, awal Agustus, saya bercakap-cakap dengan Budi hingga larut malam di sebuah lounge hotel di Pangkal Pinang. "As a banker, I could create millions of US dollar easily," ujarnya dalam percakapan itu. "Tetapi," lanjutnya, "Saya memilih menjadi staf ahli yang ditawarkan Bu Rini." Mengapa? "Karena saya ingin berbuat sesuatu untuk bangsa ini: merealisasikan secara konkret penguasaan saham mayoritas di Freeport."
Pengalaman pribadi inilah yang membuat saya tercenung. Penunjukan Budi -yang malah menantang main tenis meja dalam membalas ucapan selamat dari saya-ini sesuai dengan maksudnya dalam percakapan di atas. Berita koran berbahasa Inggris itu memang memuat keterangan Rini bahwa ia tokoh tepat untuk tugas itu. "Budi's expertise was paramount to leverage the holding company's financial capacity to prepare the funding for the control of PTFI and expansion of state miners."
Di sini, tawaran Rini menjadikan Budi sebagai staf ahlinya adalah refleksi kemampuan talent scouting (pengintip bakat) Rini dalam melihat potensi dan kemampuan bankir ini. Sebuah langkah dalam business game "mencengangkan" dari Rini. Sebab, begitu PT Freeport Indonesia (FI) secara resmi menyatakan bersedia mendivestasikan 51 persen sahamnya ke pihak Indonesia, secara teknikal-profesional Rini telah memiliki seseorang yang berkompeten untuk itu. Penunjukan Budi sebagai dirut Inalum adalah langkah catur Rini dalam business game ini. Sebagai induk BUMN pertambangan, secara resmi PT Inalum, pada tataran konseptual, akan punya daya pengungkit finansial (financial leverage) jauh lebih besar dalam menghimpun dana. Dan di bawah tokoh berpengalaman di sektor finansial seperti Budi, walau sudah pasti harus berjuang berdarah-darah, secara teknikal-profesional ambisi ini punya potensi terealisasi.
Kinerja agensi dan tokoh dalam negara
Tentu saja di belakang proses kesepakatan divestasi 51 persen saham PT FI ini terdapat kekuatan-kekuatan kelembagaan dan tokoh yang berkinerja atas nama negara. Di sini, sebagaimana dilaporkan majalah Tempo (10/9), kita melihat artikulasi kuat gabungan agensi-agensi negara-kementerian-kementerian mulai dari ESDM, Keuangan, BUMN, Hukum dan HAM, Kantor Menko Kemaritiman, Kantor Menko Perekonomian, Sekretaris Negara, sampai Badan Koordinasi Penanaman Modal-dalam mencapai tujuan yang menguntungkan bangsa. Dan di belakang deretan agensi ini, secara langsung atau tidak, terdapat empat tokoh utama: Menteri ESDM Ignasius Jonan, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Di bawah keempatnya, terdapat para deputi masing-masing kementerian. Mungkin, karena menganggap pada akhirnya seluruh proses teknikal korporasi akan ditangani Kementerian BUMN, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno ditampilkan majalah Temposebagai "juru bicara". Melalui wawancara dengan Fajar, publik tahu lebih detail proses dan hasil perundingan Indonesia dengan Presiden dan CEO Freeport-McMoran Copper & Gold Inc Richard Adkerson.
Dengan mengambil risiko dianggap melebih-lebihkan, saya ingin menyatakan bahwa kesepakatan itu bersifat historis dalam "menghadirkan negara" secara -menggunakan frasa Betawi-keureung(nyata dan terasa) di hadapan aktor korporasi global. Mengapa? Sebab, gagasan "kehadiran negara" ini pada dasarnya telah dirintis pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahap kedua (2009-2014). Melalui UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, pemerintah ingin menegaskan wajah negara di hadapan korporasi pertambangan asing dengan melarang ekspor produk mentah mulai 2014. Dan dalam UU itu telah pula termaktub ketentuan divestasi 51 persen saham perusahaan pertambangan asing dan mengubah kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan Khusus. Dengan demikian, pemerintah sebelumnya telah membangun fondasi bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla melangkah lebih lanjut dalam politik-ekonomi pertambangan dan mineral.
Namun, sebagaimana diketahui, ketentuan yang secara teoretisnonnegotiable ini tak terlaksana dengan sempurna. Yang tampil di atas panggung politik ekonomi justru "negosiasi". Frasa terakhir ini menyiratkan "kesetaraan" posisi antara korporasi global dan negara pada masa itu. Ini terjadi karena aksi negara terkendala secara struktural. Kewajiban korporasi pertambangan membangun instalasi pemurnian produk (smelter), misalnya, berhadapan dengan ketakmampuan negara menyediakan infrastruktur energi seperti listrik. Pada saat yang sama, perekonomian nasional, seperti terjadi pada 2013, titi mangsa proses negosiasi dimulai, tak mampu menyangga potensi gejolak eksternal. Defisit neraca transaksi berjalan 9,8 miliar dollar AS akibat konsumsi impor yang terlalu tinggi mengancam daya tahan devisa. Ini dibayangi ancaman depresiasi rupiah akibat rencana bank sentral AS mengendurkan kebijakanquantitative easing pada September 2013 yang memperbesar ancaman arus modal keluar.
Faktor-faktor inilah yang menjadi settingfrasa "negosiasi" yang memaksa negara mempertahankan iklim investasi yang "kondusif". Maka, di tengah bayang-bayang ancaman pengangguran masif kaum pekerja andai PT FI tak melakukan ekspor, negara "mengalah". Dengan syarat-syarat dan jangka waktu tertentu, mengizinkan korporasi pertambangan asing melanjutkan ekspor produk mentah mereka. Walau dengan cara-cara tertentu, sikap negara "mengalah" ini tak berlaku di masa Presiden Jokowi. Dengan tekad kuat, Presiden Jokowi "berikhtiar menuntaskan polemik ini sebelum masa jabatannya berakhir. Menurut Presiden Jokowi, sudah saatnya Indonesia memiliki saham mayoritas di Freeport. Pada hemat saya, tekad ini lebih didorong sikap "nasionalisme ekonomi" daripada kalkulasi teknikal-ekonomi yang kesehatannya masih bersifat enigmatik.
Benar bahwa neraca perdagangan Indonesia, hingga Agustus 2017, mengalami surplus 1,7 miliar dollar AS (Kompas, 20/9); benar bahwa cadangan devisa mencapai angka historis 127,8 miliar dollar AS; dan benar juga tak ada ancaman depresiasi rupiah meski The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya.
Akan tetapi, pada saat yang sama, perekonomian nasional dewasa ini, seperti dinyatakan di atas, bersifat enigmatik: pertumbuhan ekonomi yang relatif terjaga dibarengi merosotnya daya konsumsi di sektor riil dan, pada tingkat tertentu, deindustrialisasi. Dalam sambutannya pada acara Economic Talkshow: Ekonomi Baru di Era Digital, Rabu (20/9), Presiden Jokowi melihat enigma ini merefleksikan peralihan pola konsumsi rumah tangga karena intervensi teknologi komunikasi -yang membuat aktivitas situs komoditas konvensional (lokasi fisik pasar) menurun. Teknologi komunikasi ini mentransformasikan pasar menjadispaceless (tak tersekat-sekat) dan, sebagai akibatnya, mereduksi tingkat mobilitas fisik di situs-situs komoditas konvensional. Bersamaan dengan itu, peralihan preferensi konsumen dari komoditas sektor riil ke "produk-produk imajinatif" pun terjadi.
Sifat enigmatik perekonomian nasional ini justru berlangsung di tengah keharusan melaksanakan kebijakan fiskal ekspansif demi program pembangunan infrastruktur. Ini meniscayakan pemasukan pajak pada tingkat maksimal. Namun, bahkan hingga beberapa bulan menjelang akhir tahun, target pajak masih kekurangan Rp 692,7 triliun (Kompas, 19/9). Di tengah lesunya konsumsi domestik dalam sifat enigmatik perekonomian nasional, agresivitas kebijakan perpajakan ini, pada tingkat tertentu, berpotensi mengurangi ekspansi korporasi swasta. Ini menjadi problematik bagi usaha pertumbuhan ekonomi. Sementara rendahnya pemasukan pajak mengurangi belanja pemerintah, tak ekspansifnya kinerja sektor swasta diimbangi turunnya konsumsi domestik. Secara teoretis, di samping kinerja ekspor, belanja pemerintah, ekspansi swasta dan konsumsi domestik adalah faktor-faktor penunjang pertumbuhan ekonomi.
Namun, semua ini bukan kendala bagi Presiden Jokowi untuk bersikap lebih tegas memompa keberanian agensi-agensi dan tokoh-tokoh yang berkinerja dalam negara merealisasikan visi "nasionalisme ekonomi"-nya. Kesediaan divestasi mayoritas saham PT FI kepada pihak Indonesia, dengan demikian, merefleksikan watak penetratifnya negara dewasa ini. Di sini, kalkulasi teknikal ekonomi lebih distrukturkan visi "nasionalisme ekonomi" Presiden Jokowi.
Negara dalam struktur global "mercatocracy"
Semua ini mendorong ketercenungan teoretikal saya. Jauh hari sebelumnya, melalui The Retreat of the State-nya Susan Strange (1996), telah diperkenalkan frasa authority beyond the state. Frasa ini menggambarkan bahwa kombinasi perkembangan perdagangan, modal, dan teknologi di tangan segelintir orang telah menciptakan penguasa baru yang ekspansinya melampaui daya tampung batas-batas atau wilayah negara-bangsa. Pada tafsiran saya, daya ekspansi authority beyond the state ini telah membuat anggota resmi komunitas dunia (negara-negara bangsa), kehilangan pengaruh dalam membentuk dan mengontrol apa yang disebut Norman K Swazo dalam Crisis Theory and World Order: Heideggerian Reflections(2002) planetary politics. Konsep ini melukiskan bahwa meski tatanan dunia (planet) adalah hasil proyeksi subyektivisme masingmasing anggota, dan karena itu bersifat plural, pada akhirnya ditentukan the Overman atauthe acme of subjectivity (kehendak tertinggi).
Soalnya, siapakah the Overman atau the acme of subjectivity itu? Dalam konteks sistem ekonomi global, jawabannya:mercatocracy. Melalui Private Power and Global Authority: Transnational Merchant Law in the Global Political Economy(2003), A Claire Cutler menjelaskanmercatocracy terdiri dari para pedagang transnasional, pengacara swasta internasional dan kaum profesional beserta asosiasiasosiasi mereka, serta pejabat pemerintah dan perwakilan organisasi internasional. Selain berkinerja pada tingkat global,mercatocracy juga menanamkan pengaruh pada tingkat lokal dalam mengembangkan hukum dagang pada tingkat internasional dan menyelaraskan masing-masing tata hukum nasional kepadanya.
Kinerja ini memperdalam proses transnasionalisasi dan mengaburkan perbedaan aktivitas dan hukum aktor-aktor pemerintah dan swasta. Karenamercatocracy secara material berkaitan dengan modal transnasional, kekaburan perbedaan itu jadi pintu masuk kaum swasta internasional atau global ke dalam wilayah ekonomi negara-negara bangsa.
Di sini, kita bukan saja melihat benang merah konsep authority beyond the state-nya Strange dengan the Overmanatau the acme subjectivity sertamercatocracy Swazo dan Cutler, melainkan juga bisa mengidentifikasikan mereka: aktor-aktor modal ekonomi global yang, demi kepentingan ekonomis, membentuk sistem aktivitas sejagat tanpa tapal batas negarabangsa. Dalam konteks inilah induk PT FI, Freeport-McMoRant Copper & Gold (MCG)-korporasi pertambangan terbesar dunia asal AS-harus kita lihat. Berusia lebih tua dari negara Indonesia (didirikan tahun 1912) dan skala raksasa usahanya (bertotal aset 46,577 miliar dollar AS), berekspansi ke seantero dunia, MCG adalah bagian mercatrocracy.
Dilihat dari konteks ini, posisi negara (Indonesia), ketika bernegosiasi dengan MCG, secara struktural berhadapan dengan jaringan global mercatrocracyyang artikulasi kekuatannya, meminjam frasa Strange, bersifat beyond the state. Meski demikian, seperti yang kita lihat, negara di bawah Presiden Jokowi berhasil memperoleh saham mayoritas dari salah satu aktor raksasa dalam mercatrocracyitu. Sampai di sini, visi "nasionalisme-ekonomi" Presiden Jokowi memberi preseden bahwa negara pada dasarnya punya daya persuasi politik dalam berhadapan dengan aktor raksasa dalam jaringan global mercatocracy. Andai semua berjalan sesuai rencana, sebagai induk BUMN pertambangan Indonesia, PT Inalum akan menjadi "tangan negara" dalam perekonomian global. Tugas Budi Gunadi memang sangat berat. Akan tetapi, bukankah, selain di lapangan tenis meja, tantangan itu yang dicarinya?
FACHRY ALI
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar