Mungkin kita tidak akan pernah tahu bahwa Jakarta dulu pernah luluh lantak akibat gempa jika Arthur Wichmann tidak menyusun katalog sejarah gempa Indonesia pada tahun 1918. Gempa dahsyat Jakarta—kala itu masih bernama Batavia—terjadi pada malam hari, tanggal 5 Januari 1699. Batavia mengalami bencana gempa bumi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan tak pernah dibayangkan.
Willard A Hanna dalambukunya, Hikayat Jakarta, menggambarkan lebih detail dampak gempa yang terjadi. Dikisahkan bahwa citra Batavia yang dijuluki "Ratu Timur" menjadi pudar setelah diguncang peristiwa gempa dahsyat tersebut. Guncangan gempa yang terjadi digambarkan amat mengerikan karena disertai letusan gunung api dan hujan abu tebal. Dampak gempa disebutkan menimbulkan kerusakan parah di seluruh penjuru kota, bahkan menyebabkan kacaunya persediaan air bersih di Batavia akibat porak-porandanya sistem aliran air di seluruh kota.
Batavia ternyata tidak sekali itu diguncang gempa berskala besar. Dalam catatan Wichmann berikutnya disebutkan bahwa pada tanggal 22 Januari 1780 Batavia kembali diguncang gempa kuat yang merusak. Beberapa sumber menyebutkan gempa ini merobohkan Observatorium Mohr, yaitu observatorium pertama di Batavia yang dibangun pada 1765.
Sayangnya, kedua catatan peristiwa bencana di Jakarta tersebut kini sudah dilupakan banyak orang. Bahkan, dalam literatur kajian bahaya gempa bumi kita, kejadian tersebut jarang disebut.
Lebih dari dua abad lamanya di Jakarta tidak terjadi gempa kuat yang merusak. Artinya, hampir empat generasi pemukim di Jakarta tidak pernah mengalami peristiwa gempa dahsyat seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Hal ini tampaknya mampu membangun sebuah anggapan bahwa wilayah Jakarta merupakan kawasan aman gempa bumi. Apalagi, hingga kini belum ada bukti yang sahih mengenai keberadaan sumber gempa di wilayah Jakarta.
Anggapan Jakarta aman gempa ternyata salah. Pada tanggal 23 Januari 2018, gempa berkekuatan M 6,1 mengguncang Jakarta. Semua orang dibuat kaget dan tersadar, ternyata Jakarta juga tidak aman gempa. Dan, satu hal penting untuk dicatat, pusat gempa tersebut ternyata bersumber di Samudra Hindia, sebuah tempat yang jaraknya lebih dari 150 kilometer dari Jakarta.
Kuatnya guncangan gempa membuat semua warga panik. Mereka gagap karena tidak tahu harus berbuat apa. Kini terbukti, ternyata warga Jakarta tidak siap menghadapi gempa. Mereka banyak yang belum tahu langkah tepat saat di dalam rumah ataupun gedung bertingkat. Apakah harus memaksakan diri lari keluar atau cukup mencari tempat aman di dalam rumah? Apakah tetap bertahan di lantai gedung tempat mereka tinggal atau harus turun gedung lewat tangga?
Bingung dan panik justru dapat membahayakan keselamatan saat krisis. Sekali ini dapat dimaklumi karena selama ini warga Jakarta selalu berhadapan dengan banjir ketimbang gempa, tetapi ke depan warga Jakarta harus siap menghadapi gempa.
Gempa di selatan Banten lalu sebenarnya memberikan pesan penting kepada warga Jakarta dan sekitarnya bahwa sumber gempa dari jauh pun dapat jadi ancaman bagi Jakarta. Gempa kemarin hanya berkekuatan M 6,1, sementara hasil kajian terbaru Pusat Studi Gempa Nasional menunjukkan bahwa zona subduksi selatan Jawa Barat dan Banten mampu memicu gempa dengan kekuatan M 8,7. Jika itu terjadi, wilayah Jakarta akan terdampak guncangan dengan intensitas VI-VII MMI (Modified Mercally Intensity), yang artinya Jakarta berpotensi mengalami kerusakan.
Warga Jakarta harus memahami kesiagaan meskipun di Jakarta tidak terdapat sumber gempa karena Jakarta dapat diguncang gempa kuat dari sumber gempa sesar aktif di Jawa Barat dan Banten. Juga ancaman sumber gempa zona subduksi lempeng di Samudra Hindia.
Kini saatnya warga Jakarta dan sekitarnya harus memulai edukasi mitigasi bencana agar lebih memahami bahaya gempa bumi dan cara menghadapinya. Kegiatan sosialisasi yang melibatkan para ahli dapat dilakukan di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, perkantoran, dan di masyarakat. Aspek keamanan bangunan juga harus diperhatikan. Perlu ada audit bangunan dan gedung bertingkat serta perlunya dilakukan penguatan jika ditemukan bangunan yang tidak memenuhi standar aman gempa bumi.
Ke depan, warga Jakarta sepatutnya menerima kenyataan akan adanya potensi bahaya gempa. Kondisi alam yang kurang "bersahabat" ini tentu harus diterima sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, semua itu adalah risiko yang harus dihadapi sebagai penduduk yang tinggal dan menumpang di batas pertemuan lempeng tektonik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar