DIDIE SW

credit="Didie SW

Shephelah. Ada yang menyebut Syefala. Kata shephelah dalam bahasa Yahudi berarti 'rendah', 'rendah hati', tetapi juga berarti 'memalukan', 'patah hati'. Daerah Shephelah dikenal indah. Di sana terdapat perkebunan anggur, hamparan ladang gandum, hutan ara, dan tarbatin. Karena itu, menurut cerita, sejak dahulu daerah itu selalu diperebutkan.

Apalagi, Shephelah yang masuk wilayah Yudea ini memiliki posisi yang strategis, yakni menghubungkan Pegunungan Yudea di sebelah timur dengan dataran pesisir Laut Tengah di sebelah barat. Ada jalan kuno yang lewat di daerah ini. Jalan itu menghubungkan daerah pesisir Laut Tengah dengan kota-kota di daerah dataran tinggi, seperti Hebron, Bethlehem, dan Jerusalem. Shephelah adalah sebuah wilayah yang berbukit-bukit dan berlembah. Salah satu lembah yang paling dikenal bernama Elah. Lembah Elah ini terletak sekitar 24 kilometer sebelah barat Jerusalem.

Menurut catatan sejarah, di Lembah Elah ini terjadi pertempuran paling sengit dalam sejarah Perang Salib, yakni Perang Salib Ketiga (1187-1192). Tokoh yang sangat terkenal dalam perang ini adalah Salahuddin al-Ayyubi (Saladin), yakni Sultan Mesir, Suriah, Arab, dan Mesopotamia; dan pemimpin pasukan Salib, Raja Inggris, Richard "Si Hati Singa" (James Reston, Jr: 2008). Jauh pada masa sebelumnya, di lembah ini terjadi pertempuran antara pasukan Kerajaan Israel (Yudea) di bawah kepemimpinan Raja Saul dan pasukan Filistin. Pertempuran inilah yang memunculkan dua tokoh yang sangat terkenal hingga saat ini, yakni antara Goliat (dari pihak Filistin) dan Daud (Israel).

Orang-orang Israel dan Filistin, yang dari waktu ke waktu memperebutkan daerah strategis dan subur itu, sama-sama pendatang. Orang-orang Israel masuk ke wilayah yang menurut mereka disebut sebagai terra promissionis, Tanah Terjanji, dari Mesir di bawah kepemimpinan Musa lalu Joshua. Mereka meyakini terra promissionis dijanjikan oleh Yahwe Tuhan Allahnya kepada kakek moyang mereka, yakni Abraham, lalu ke Iskak dan Yakub. Janji Yahwe itu diperbarui dengan Musa. Itulah yang kemudian disebut Eretz Israel, Tanah Israel.

Sementara orang-orang Filistin tiba di Levant (wilayah yang di zaman kini mencakup Israel, Gaza, Lebanon, dan Suriah) pada sekitar abad ke-12 SM. Mereka tiba di daerah itu ketika kota-kota dan peradaban di Timur Tengah dan Yunani mulai surut (Owen Jarus: 2016). Kisah tentang orang-orang Filistin, yang disebut "Orang-orang Laut" dan diyakini berasal dari Aegea (disebut berasal dari Caphtor, yang barangkali Pulau Kreta, meski tak ada bukti-bukti arkeologis keberadaan mereka di pulau itu), terungkap dalam teks-teks Mesir dan Assyria.

* * *

Inskripsi dan relief pada pertengahan abad ke-12 SM pada zaman Ramses II dan Ramses III, penguasa Mesir, menjelaskan di mana orang- orang Filistin berada: di pantai Palestina bagian selatan. Di Kamar Jenazah Rames III di Kuil Medinat Habu di Luxor, ada inskripsi yang menyebutkan para lawan Ramses III (1186-1155 SM), yakni Peleset. Ramses II juga disebut "Firaun Eksodus" karena pada zaman dialah eksodus orang-orang Israel dari Mesir ke terra promissionis di bawah pimpinan Musa terjadi (James Henry Breasted: 2001.ed.).

Orang-orang Filistin itu yang disebut prst, yakni "Orang-orang Laut", menginvasi Mesir sekitar 1190 SM. Perang antara pasukan Ramses III dan "Orang-orang Laut" (1181-1175 SM) terjadi di tanah Djahi, yakni Palestina. Namun, "Orang-orang Laut" itu didesak bergerak ke utara dan menduduki wilayah pantai bagian selatan Tanah Kanaan atau terra promissionis, mulai dari Joppa (sekarang Tel Aviv-Yafo) hingga Gaza. Ada wilayah lima kota (Pentapolis) yang dikuasai Filistin: Gaza, Ashkelon/Ascalon, Ashdod, Gath, dan Ekron. Wilayah itu disebut sebagai Philistia atau Tanah Orang-orang Philistin. Sementara orang-orang Yunani menyebut wilayah itu sebagai Palestina (Encyclop?dia Britannica).

Inskripsi Assyria abad ke-8 dan 7 SM menyebut wilayah pantai bagian selatan itu Palashtu, Pilistu, Pilishti, Palashtu, Pilishtu, Pilisti, Pilistin. Sedangkan dalam bahasa Yunani, Persia, dan Romawi ditulis Palaistine, Palaestina, Palestina. Dalam bahasa Inggris menjadi Palestine, berasal dari bahasa Perancis lama, Philistin, berakar dari bahasa Latin Klasik, yakni Philistinus (Palaestina), berasal dari bahasa Yunani Klasik akhir, Philistinoi. Dalam bahasa Arab, menjadi Filastin (Journal of Holy Land and Palestine Studies/Vo 15, Issue 2, 2016).

* * *

Meskipun asal muasal kata "Palestina" (Palestine) menjadi bahan perdebatan bertahun-tahun dan masih belum diketahui secara pasti, diyakini kata itu berasal dari bahasa Mesir dan Yahudi,peleshet. Kata peleshet berarti 'berpindah'. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan penduduk yang tinggal di Mesir bagian timur laut—Filistin (Philistine). Mereka adalah orang-orang Aegea, yang ada hubungannya dengan orang-orang Yunani dan tidak ada hubungannya secara etnik, linguistik, atau historis dengan Arab (Howard Kramer: 2014).

Sejarawan Yunani, Herodotus, sekitar abad ke-5 SM, yang pertama menggunakan istilah Palaistin. Pada abad ke-2 Masehi, pasukan Romawi menumpas pemberontakan Shimon Bar Kokhba (132). Mereka merebut serta menduduki Jerusalem dan wilayah Yudea. Wilayah Yudea kemudian diberi nama Palaestina dengan tujuan untuk menghapus identitas Yahudi dengan tanah Israel dan mengingatkan musuh orang-orang Yahudi, yakni bangsa Filistin.

Ketika Kesultanan Ottoman berkuasa atas wilayah itu, 1517-1917, istilah Palestina (Palestine) digunakan sebagai istilah umum untuk menjelaskan tanah sebelah selatan Suriah. Banyak orang Ottoman dan Arab yang hidup di Palestina pada periode itu menyebut wilayah tersebut sebagai Suriah Selatan dan bukannya Palestina. Setelah PD I, nama Palestina digunakan untuk menyebut wilayah yang masuk ke dalam kekuasaan Mandat Inggris, awal mula munculnya masalah Palestina sekarang ini.