Serial ungkapan fakta di harian ini tentang bencana kesehatan di Agats memaksa sejumlah elite berpikir dan mengintrospeksi diri. Apa yang salah dengan Papua?
Dana alokasi khusus untuk Papua mencapai Rp 5,5 triliun. Ditambah dengan alokasi dana infrastruktur Rp 2,4 triliun, dana itu hampir mencapai Rp 8 triliun. Jika masih ditambah dengan dana desa, alokasi anggaran untuk Papua bisa lebih besar lagi. Dengan alokasi dana sebesar itu, publik tersentak ketika membaca berita bahwa sudah 71 anak di Agats meninggal dunia karena gizi buruk dan campak. Banyak orang kaget dan mungkin juga geram melihat realitas itu.
Evaluasi penting sebagai alat untuk meninjau kebijakan selama ini. Namun, jika kita mau menelusuri berita sejenis dari tanah Papua, kita akan mendapati kisah-kisah serupa. Tahun 2005, harian Kompasjuga mengungkap tragedi gizi buruk di Yahukimo, Papua. Untuk menanggapi peristiwa Yahukimo tahun 2005 yang menewaskan 55 orang, harian ini menulis Tajuk Rencana berjudul "Kelaparan di Papua". Dalam alinea pertama TajukKompas, 13 April 2005, ditulis, "Pernyataan yang harus kita terima sangatlah menyesakkan. Para pejabat boleh berdalih, berita kelaparan yang mematikan 55 warga itu terlalu dibesar-besarkan." Laporan harian ini tahun 2005 disangkal oleh elite Jakarta dan dianggap terlalu membesar-besarkan.
Kita bersyukur sikap pejabat di Jakarta berubah pada 2018. Jika pada 2005 masih ada penyangkalan, bencana kesehatan di Agats pada Januari 2018 diterima sebagai realitas. Bantuan dimobilisasi. Operasi kemanusiaan TNI/Polri digelar untuk membantu saudara-saudara kita di Agats, Asmat, Papua. Kebijakan ditinjau. Kita apresiasi sikap mental seperti itu.
Dana Otonomi Khusus Papua mengalir besar. Namun, kita sependapat bagaimana memastikan pemanfaatan dana itu sesuai dengan alokasinya. Apakah anggaran untuk kesehatan dan pendidikan sudah dialokasikan sesuai dengan yang ditetapkan? Di sini peran pendampingan dibutuhkan untuk memastikan pengalokasian tersebut.
Masalah di Agats memang kompleks. Medan berat. Tak ada jalan darat selain sungai. Ketergantungan pada hujan dan air pasang amat tinggi. Infrastruktur terbatas. Kehidupan warga jauh dari hidup sehat. Mencari sinyal untuk komunikasi telepon adalah seni tersendiri. Pola hidup masyarakat, yang menurut Uskup Agats Aloysius Murwito masih seminomaden, menjadi faktor tersendiri. Air bersih yang mengandalkan tampungan air hujan sangat bergantung pada cuaca. Makanan pokok sagu mulai beralih ke beras, terlepas dari kualitas beras yang ada. Itu, antara lain, sejumlah tantangan yang dihadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar