Namun, dari beberapa capaian itu, tentu masih banyak persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama masalah pembiayaan dan pelayanan kesehatan.

Defisit pembiayaan program JKN menjadi persoalan serius yang dapat mengancam eksistensi program ini. Dengan total pendapatan Rp 71,33 triliun (sudah termasuk bantuan pemerintah sebesar Rp 3,6 triliun) dan jumlah beban sebesar Rp 82,48 triliun (per 30 November 2017), maka dipastikan BPJS Kesehatan kembali mengalami defisit di 2017.

Permasalahan pelayanan kesehatan di rumah sakit (RS) juga terus menjadi persoalan pelik bagi BPJS Kesehatan. Layanan program JKN belum optimal bagi peserta. Masih banyak terjadi antrean peserta karena keterbatasan peralatan kesehatan dan tenaga kesehatan, stok beberapa jenis obat kerap kosong, dan kapasitas tempat tidur yang terbatas merupakan beberapa contoh persoalan sehari-hari yang dialami peserta (Kompas, 29/1/2018). Masalah keluhan peserta ini juga diakui direksi sebagai salah satu dari sepuluh risiko teratas bagi BPJS Kesehatan (Buku Laporan Pengelolaan Program JKN, 30 November 2017).

Segala persoalan itu sudah terjadi sejak 2014. Persoalan ini terkait masalah regulasi, dukungan pemerintah pusat dan daerah, kinerja direksi BPJS Kesehatan serta dukungan masyarakat. Regulasi yang dibuat belum mampu menjawab persoalan yang ada, sementara direksi BPJS Kesehatan belum secara optimal mengembangkan sistem pelayanan kesehatan serta sistem kendali mutu pelayanan agar efisien dan efektif, seperti diamanatkan Pasal 24 Ayat (3) UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Masyarakat mengharapkan di tahun kelima ini pemerintah dan BPJS Kesehatan sudah mampu secara signifikan meminimalkan segala permasalahan tersebut. Kehadiran Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN diharapkan dapat mempercepat realisasi harapan masyarakat tersebut.

Inpres optimalisasi JKN

Kehadiran Inpres No 8/2017 adalah dalam rangka menjamin keberlangsungan program JKN dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada peserta JKN. Inpres ini ditujukan kepada tujuh menteri terkait JKN, Jaksa Agung, direksi BPJS Kesehatan, para gubernur, serta bupati dan wali kota. Membaca seluruh isi inpres ini memang ada harapan besar permasalahan defisit pembiayaan dan pelayanan kesehatan serta persoalan lainnya dapat teratasi.

Dengan keterlibatan dan koordinasi yang baik antara pihak kejaksaan, pengawas ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, serta dukungan aktif dari Kementerian BUMN dan gubernur/bupati/wali kota dalam penegakan kepatuhan dan penegakan hukum terhadap badan usaha swasta dan BUMN/D, maka kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) swasta/BUMN/D dapat ditingkatkan. Faktanya, target kepesertaan PPU swasta/BUMN/D per 31 November 2017 gagal dicapai oleh direksi BPJS Kesehatan.

Direksi hanya mampu mencapai 67,88 persen dari target kepesertaan yang ditetapkan di RKAT 31 November 2017. Akibatnya, penerimaan iuran dari PPU swasta/BUMN/D hanya Rp 19,62 triliun atau 76,11 persen dari target Rp 25,77 triliun (per 30 November 2017), atau apabila dibandingkan target per 31 Desember 2017 baru tercapai 68,33 persen dari total target penerimaan Rp 28,71 triliun.

Penerimaan iuran dari PPU swasta/BUMN/D akan meningkat lagi di 2018 mengingat adanya kenaikan upah minimum 2018 sebesar 8,25 persen. Potensi penerimaan iuran ini pun masih bisa ditingkatkan lagi apabila pemerintah dalam revisi Perpres No 19/2016 merevisi Pasal 16D dengan menetapkan batas atas gaji atau upah per bulan sebagai dasar perhitungan besaran iuran menjadi Rp 12 juta.

Mengingat program JKN sudah ditetapkan sebagai Program Strategis Nasional, sesuai UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka seluruh kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) wajib mendukung program ini. Dengan pengawasan yang mumpuni dari Kementerian Dalam Negeri diharapkan seluruh kepala daerah mengintegrasikan program Jamkesda-nya ke BPJS Kesehatan, memastikan seluruh penduduknya terdaftar di program JKN, membayar iuran tepat waktu sehingga tak ada lagi tunggakan iuran (tunggakan iuran pemda per 30/11/2017 untuk iuran PPU daerah Rp 466,52 miliar dan iuran peserta Jamkesda sebesar Rp 415,72 miliar). Selain itu, mengalokasikan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan sehingga bisa menambah ruang perawatan dan meningkatkan kualitas alat kesehatan serta ketersediaan dokter/paramedis. Mendagri harus berani memberikan sanksi tegas kepada kepala daerah yang tak mendukung program JKN dengan mengacu Pasal 68 UU No 23/2014.

Kerja sama BPJS Kesehatan dan kepala daerah serta Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan berbasis  teknologi informasi (IT),  dengan membangun desk customer care di seluruh RS, sehingga bisa mengoneksikan seluruh RS di daerahnya, akan sangat membantu pasien JKN mengakses ruang perawatan dengan cepat dan sekaligus membantu ketika pasien mengalami masalah di RS.

Sinergi Kementerian Kominfo dengan BPJS Kesehatan dalam memberikan sosialisasi dan edukasi publik tentang program JKN sangat penting untuk memastikan seluruh peserta memahami hak dan kewajibannya (amanat Pasal 15 dan 16 UU SJSN). Dengan pengetahuan cukup yang dimiliki peserta, maka persoalan fraud yang terjadi dapat diminimalkan dan tentunya hal ini juga akan mendukung penurunan pembayaran klaim INA CBGs ke RS.

Terkait regulasi, Menteri Kesehatan dan direksi BPJS Kesehatan mendapatkan instruksi untuk melakukan kajian dan evaluasi terhadap regulasi JKN saat ini. Hal ini untuk memastikan pelaksanaan program JKN ke depan akan lebih baik lagi. Oleh karena itu, sudah seharusnya proses pengkajian dan evaluasi dilakukan secara obyektif dan hati-hati dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Revisi Perpres No 19/2016 tentang Jaminan Kesehatan yang saat ini sedang diproses pemerintah harus melalui uji publik sehingga dapat diterima masyarakat. Jangan sampai terulang lagi kasus revisi Pasal 16F Ayat (1a) Perpres No 19/2016  sehingga lahir Perpres No 28/2016 pada bulan berikutnya karena masyarakat dan DPR menolak kenaikan iuran kelas III bagi peserta mandiri menjadi Rp 30.000 per bulan.

Demikian juga dengan ketentuan baru BPJS Kesehatan tentang sistem pembayaran tertutup (close payment), sistem baru pembayaran iuran PPU badan usaha/BUMN/D yang mulai berlaku 1 Februari 2018 seharusnya dibicarakan dulu dengan kalangan pengusaha dan ada proses sosialisasi. Saya khawatir banyak pengusaha belum mengetahuinya sehingga pemberlakuan sistem baru ini dapat mengganggu arus kas perusahaan dan pada akhirnya tunggakan iuran PPU menjadi meningkat.

 Rakyat sangat berharap di tahun kelima ini benar-benar ada peningkatan pelayanan kesehatan secara signifikan dan teratasinya masalah defisit pembiayaan benar-benar terwujud.