Melalui kaidah ini, BI secara implisit mengarahkan tambahan likuiditas perbankan dari pelonggaran giro wajib minimum (GWM) mengalir ke surat berharga. Ketentuan rasio pinjaman terhadap pendanaan (loan to funding ratio/LFR) pun diperbarui menjadi rasio intermediasi makroprudensial (RIM) yang memperhitungkan pembelian komponen surat berharga.
Sebagai komplemennya, BI mengintroduksi penyangga likuiditas makroprudensial (PLM). Besaran PLM sebagai GWM sekunder ditetapkan sebesar 4 persen fixed dari dana pihak ketiga (DPK) disertai dengan fleksibilitas sebesar 2 persen dapat direpokan kepada BI dalam kondisi tertentu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank.
Benang merah yang bisa ditarik dari beberapa kebijakan di atas adalah stimulus bagi fungsi intermediasi keuangan dan pengelolaan likuiditas perbankan. Dalam pandangan BI, perpindahan dana bisa terjadi sempurna antara kredit yang disalurkan perbankan dan pembiayaan melalui pembelian surat berharga.
BI sejatinya juga berasumsi bahwa DPK memiliki kesetaraan fungsi dengan surat berharga. Artinya, derajat likuiditas surat berharga yang dipegang bank dianggap setara dengan DPK. Konsekuensinya, mobilitas pendanaan juga akan tercapai antara DPK dan penjualan surat berharga terbitan perbankan.
Skenario BI di atas agaknya bersifat normatif dan masih bisa diperdebatkan. Kredit dan surat berharga, obligasi misalnya, memiliki karakteristik yang berbeda. Masing-masing memiliki pangsa pasar tersendiri dengan perolehan imbal hasil yang berbeda pula. Nuansa segmentatif membuat keduanya tidak mudah bersubstitusi.
Tesis eksistensi sifat asimetri di atas sepertinya mendekati kenyataan. Tren penurunan suku bunga kredit dan ketersediaan pasokan belum menjadi daya tarik bagi debitor datang ke bank untuk bertransaksi kredit. Analoginya, pelonggaran RIM juga tidak serta-merta akan membuat korporasi menerbitkan obligasi.
Kalaupun banyak korporasi menerbitkan obligasi, masalahnya tak berhenti sampai di sini. Obligasi menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi daripada kredit. Oleh karena itu, bank tidak bisa membatalkan kontrak kredit untuk membeli obligasi. Konkretnya, dugaan awal bahwa akan terjadi pergeseran pembiayaan tidak berlaku.
Efektivitas relaksasi
Problema di atas berpotensi juga terjadi pada sisi hulu. Bank mengalokasikan simpanan masyarakat yang bersifat jangka pendek untuk memenuhi permintaan kredit dengan spektrum jangka pendek pula. Sementara, ciri obligasi korporasi tipikal menyedot dana dalam jumlah yang material dan berjangka panjang.
Kebutuhan bank atas pendanaan jangka panjang hanya bisa diperoleh dari pasar modal. Konsekuensinya, kebijakan RIM bisa jadi akan menggeser sumber pendanaan perbankan dari masyarakat menuju pasar modal. Sayangnya, masyarakat masih awam tentang pasar modal sehingga tidak bisa segera memindahkan dananya.
Dari sudut pandang sebaliknya, RIM menghendaki akses bank di pasar modal guna memperoleh sumber dana jangka panjang. Ironisnya, hasrat bank masuk ke pasar modal sangat minim. Tengok saja, dari 37 emiten baru yang masuk Bursa Efek Indonesia sepanjang tahun lalu, tidak ada satu pun yang berasal dari sektor perbankan.
Tanpa perluasan akses ke pasar modal, dana jangka pendek bisa jadi akan digunakan untuk portofolio jangka panjang. Akibatnya, alokasi dana menjadi tidak efisien. Efek bumerang pun terjadi. RIM yang semula ditujukan untuk menyalurkan likuiditas malah membuat bank mengalami ketidaksesuaian maturitas (maturity mismatch) dana.
Mengantisipasi risiko maturitas, perbankan kemungkinan besar akan menyiasati DPK dengan menjual sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). Sementara, kelebihan likuiditas perbankan akan disalurkan pada surat berharga komersial (commercial paper) dan surat utang jangka menengah (medium term note).
Pembelian surat berharga di atas berpotensi menjadi lahan spekulasi. Sadar atau tidak, relaksasi GWM dan perluasan konsep pembiayaan bisa ditafsirkan sebagai peluang untuk menggapai imbal hasil terbaik. Alhasil, perilaku perbankan yang berani ambil risiko (risk taking) demi imbal hasil yang lebih tinggi akan semakin kuat.
Tendensi ini pula yang mendorong RIM bisa menembus interval toleransi 80-92 persen. Namun, kenaikan RIM (relatif terhadap LFR) mengalami reduksi makna. Pembelian surat berharga di pasar sekunder ada di ranah finansial, sedangkan kredit lebih dekat dengan aktivitas produksi. Intinya, sektor finansial tidak berjalan seiring dengan sektor riil.
Akibatnya, ide dasar PLM untuk menekanmoral hazard tidak banyak berpengaruh. Lagi pula, sifat kontrasiklikalitas yang melekat pada dana cadangan PLM berpotensi menjadi dana menganggur (idle fund). Sementara kredit perbankan sudah banyak tersedot untuk membiayai infrastruktur sehingga bank tetap kesulitan untuk ekspansi.
Di saat permintaan kredit yang masih lemah, arus dana yang keluar dari bank untuk membeli sekuritas cenderung lebih tinggi dibandingkan DPK. Pada saat bersamaan, dana yang masuk dari hasil repo ke BI terlalu rendah sehingga menimbulkan risiko likuiditas yang kemudian memantik risiko sistemik.
Alhasil, relaksasi yang masih "setengah hati" ini perlu dilengkapi dengan stimulus lain yang komplementer terhadap RIM dan PLM. Tanpa stimulus susulan, bank keterusan menikmati imbal hasil dari investasi portofolio lagi malas untuk menyalurkan kredit. Jika sudah seperti ini, kualitas pertumbuhan ekonomi patut dipertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar