Pada 1946, setelah kemerdekaan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diputuskan masih berlaku secara nasional melalui UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan diperkuat melalui UU No 73 Tahun 1958. Wajar setelah 100 tahun berlaku, UU ini perlu direvisi dan dikontekstualkan dengan dinamika dan tantangan sosial budaya terkini. Persoalannya, apakah Rancangan KUHP (RKUHP) yang saat ini siap disahkan di DPR benar-benar telah diperhitungkan konsekuensinya secara sistem hukum, sosial-psikologis, dan pembangunan manusia secara jangka panjang?

Hukum adalah kumpulan norma atau harapan sosial atas perilaku manusia yang disepakati semua pihak sebagai subyek hukum sehingga tak ada satu subyek hukum pun dirugikan kecuali pelanggarnya. Karena yang diatur tingkah laku manusia, maka bidang psikologi menjadi sangat relevan. Inti dari penerapan norma hukum (positif) adalah penerapan "pembalasan" melalui inflict of pain (penimbulan rasa sakit) untuk mencegah dilakukannya tindakan yang tak diinginkan melalui denda, hukuman fisik, termasuk hilangnya kebebasan. Ancaman dan berlakunya "pembalasan" ini diasumsikan "berhasil", tindakan inflict of pain mengakibatkan perasaan jera atau takut, sehingga tindakan tak dilakukan/diulang.

Bidang kajian psikologi sudah lama mempertanyakan "efektivitas" penjeraan dalam kaidah hukum kriminal. Berbagai kajian menunjukkan bahwa penerapan pembalasan ini tidak pernah mampu menghentikan tindakan yang tidak diinginkan—bahkan kadang memperburuk situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya adverse affects atau konsekuensi yang tidak diinginkan. Karena yang menderita adverse affects ini justru masyarakat umum, maka psikolog menyebut penerapan hukuman seperti itu sebagai crime of punishment (Karl Menninger, 1966).

Contoh dari adverse affects ini di antaranya: (1) hukuman pidana pada anak-anak justru menimbulkan efek negatif pada anak yang tumbuh di penjara, baik dalam angka residivis maupun kualitas kejahatan. Penjara menjadi "kampus bagi penjahat-penjahat muda"; (2) pengumuman pada publik atas rekor kriminal paedofil dan pelaku kekerasan pada anak di Amerika menimbulkan masalah baru karena masyarakat yang menerima info melakukan tindakan pengadilan sendiri pada pelaku yang tinggal di sekitarnya. Masih banyak contoh yang dapat dikemukakan. Pembaca dapat mencari sendiri bagaimana hukum dan hukuman yang disponsori negara justru memberikan efek buruk pada masyarakat yang hendak dilindungi.

Mengancam pembangunan sosial

Semangat dari pembangunan nasional antara lain adalah membangun manusia Indonesia dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan meningkatkan tali-temali sosial lintas komunitas dan individu yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional secara damai, berkeadilan, dan bermartabat dan berkelanjutan. Dalam kerangka ini, Pusat Kajian dan Advokasi, Perlindungan, dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) FISIP Universitas Indonesia membentuk tim kajian kecil untuk mengkaji RKUHP yang menurut rencana akan diundangkan pada akhir Februari ini. Kajian tim kecil ini menyimpulkan RKUHP tak siap diundangkan, bahkan berpotensi merugikan karena mengkriminalisasi dan mendiskriminasi warga negara, khususnya anak, perempuan, kelompok miskin dan marjinal yang justru butuh perlindungan.

Berikut beberapa alasannya. Kurangnya bukti-bukti empiris valid dan tepercaya yang dipertimbangkan merugikan anak, perempuan, dan komunitas marjinal. RKUHP justru menghukum kelompok rentan, miskin, dan penghayat kepercayaan karena sebagian besar mereka tak punya bukti "perkawinan yang sah" layaknya sebagai suami-istri sebagaimana diamanatkan RKUHP.

Pada 2012 terdapat 40-50 juta warga masyarakat adat di seluruh kepulauan Indonesia, beberapa di antaranya memiliki sistem nilai dan ideologi yang belum difasilitasi oleh negara (Bappenas, 2013). Pengesahan RKUHP akan menjadikan puluhan juta pasangan WNI serta keturunan mereka korban. Ketentuan ini juga dikhawatirkan akan meningkatkan perkawinan pada usia anak dengan semua konsekuensinya (kualitas SDM, kesehatan, dan kematian). Secara universal hukum juga tak pernah mampu mencegah hubungan seksual yang bersifat konsensual dan tak mengandung unsur kekerasan.

Kondisi sosial diperburuk dengan ketentuan dalam Pasal 484 Ayat 24 yang memperluas kewenangan untuk mengadukan tindakan perzinaan yang justru memberikan justifikasi bagi masyarakat untuk melakukan persekusi.  Berbeda dengan aturan di dalam KUHP yang lama, RKUHP Pasal 484 Ayat 2 menambahkan frasa "pihak ketiga" yang dapat mengadukan tindakan perzinaan selain suami/istri pelaku perzinaan, hanya dengan syarat "merasa tercemar atau berkepentingan". Aturan ini multitafsir dan memberi keleluasaan siapa pun melakukan persekusi atas tuduhan perzinaan.

Beberapa aturan dalam RKUHP belum mempertimbangkan dampak kelembagaan jangka panjang pada upaya reformasi di bidang keadilan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Sistem peradilan dan infrastrukturnya akan menerima beban kerja yang tidak kecil karena unsur-unsur pemidanaan baru. Program-program pendidikan kesehatan reproduksi sepertiAku Bangga Aku Tahu dari BKKBN akan mubazir karena pengetahuan menjadi tak penting dibanding memberikan informasi yang menakutkan untuk mencegah hubungan seksual di luar nikah.

Remaja berisiko juga akan sulit  dijangkau karena takut pemidanaan. Program pengendalian penduduk melalui kondom akan sulit dilaksanakan. Mempertahankan anak di sekolah, khususnya anak perempuan, akan sangat sulit karena perkawinan usia anak dan kehamilan tak diinginkan. Jumlah anak telantar akan naik signifikan karena status perkawinan orangtuanya dan program kesejahteraan sosial harus berbenturan dengan hukum. 

Beberapa aturan dalam RKUHP bertentangan dengan semangat perlindungan anak, khususnya UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketentuan pada Pasal 484 Ayat 1 Huruf e RKUHP mengancam anak-anak perempuan yang melakukan hubungan seksual di luar nikah untuk mengalami persekusi, pemidanaan, dan stigmatisasi. Pasal 496 yang menggunakan frasa "belum menikah" merugikan 25 persen perempuan yang menikah pada usia anak-anak dan harus kehilangan status "anak" yang diakui oleh Konvensi Hak-hak Anak PBB. Pasal 495 tentang hubungan sesama jenis menggunakan frasa "setiap orang" tanpa membedakan usia akan diterapkan juga pada anak-anak. Pasal 537 akan
menjebak anak-anak (perempuan) yang mengalami kehamilan di luar nikah untuk melakukan tindakan nekat yang merugikan kesehatan dan mengancam jiwa mereka.

Tunda atau hentikan pengesahan

Menimbang berbagai pertimbangan yang telah dikemukakan di atas (masih dapat diperbanyak dan diperluas), penundaan pengesahan RKUHP adalah pilihan paling rasional dan terbaik saat ini. Berikan waktu untuk berwacana yang lebih panjang sehingga bukti-bukti empiris yang absah dan tepercaya dapat dikemukakan dan dikaji secara saksama.

Selain itu, RKUHP dalam pasal-pasal yang kami sebutkan di atas melanggar prinsip umum dalam penerapan HAM, yaitu non-diskriminasi. Saratnya pasal-pasal yang bersifat diskriminatif dalam RUU ini akan memancing reaksi dunia yang, lagi-lagi, akan merugikan kepentingan pembangunan jangka panjang. UU adalah instrumen pengaturan normatif yang rasional dan sewajarnya belajar dari bukti-bukti empiris yang tersedia di dalam maupun di luar negeri. Ada kesan kuat dorongan untuk pengesahan RKUHP ini bersifat sangat emosional dan sementara.

Moga-moga ahli-ahli hukum yang senior di dalam tim perumus tetap bersikukuh pada rasionalitas hukum demi kepentingan semua subyek hukum tanpa kecuali.