Berdasar kajiannya di Inggris dan AS, Gest merujuk pada komunitas yang kerap disebut white working class, kelas pekerja kulit putih yang sejatinya merupakan mayoritas dalam stratifikasi sosial-ekonomi masyarakat di kedua negara. Perasaan dan persepsi sebagai minoritas (baru) juga melanda kaum bumiputra di Belanda, Jerman, Austria, Perancis, bahkan Afrika, serta tak ketinggalan Indonesia di belahan selatan. Mengapa mayoritas justru merasa sebagai minoritas?

Disfungsi kewargaan

Kondisi ini telah diprediksi oleh Herbert Marcuse lima dekade lalu sebagai fenomena yang disebutnya "one dimensional man". Marcuse mewanti-wanti bahwa industrialisasi mengintegrasikan individu ke dalam sistem produksi dan konsumsi sehingga tercipta masyarakat industri dengan kebutuhan semu.

Senada dengan Marcuse, argumen sentral Gest dalam buku terbarunya, The New Minority, merujuk faktor globalisasi neoliberal dan demokrasi liberal sebagai pemicu kerentanan dan kegamangan. Selain menempatkan individu dalam proses produksi, kapitalisme dan rezim pasar juga menilai seseorang atas dasar kemampuan pertukaran/transaksi kapital. Status "kewargaan" berubah menjadimarket citizenship sebagai konsumen produk dan jasa semata. Komodifikasi kehidupan sehari-hari menjadikan sebagian besar warga yang tidak memiliki kekuatan finansial merasa gamang dan terpinggirkan.

Kerentanan dan kegamangan akibat globalisasi dan ekonomi pasar diperparah dengan menyusutnya perlindungan dan jaminan sosial (welfare program). Tak mengherankan jika muncul pandangan dan perasaan bahwa pemerintah, otoritas yang mengelola perekonomian dan menghadirkan kesejahteraan, justru lebih berpihak kepada sesuatu di luar mereka, entitas asing.

Perasaan dan persepsi terpinggirkan mengental dalam identitas kolektif sebagai "minoritas baru". Para putra(i) daerah atau bumiputra(i) menjadi identitas kolektif penolakan (resistance identity) terhadap institusi formal dan sistem ekonomi dominan. Upaya mendefinisikan kembali identitas kolektif baru di tengah struktur dan sistem ekonomi dan politik sebenarnya merupakan upaya atau percobaan untuk memperoleh kembali eksistensi dan peran di dalam struktur hegemonik itu. Akan tetapi, upaya ini bukanlah seperti apa yang diimaginasikan oleh Marcuse sebagai the great refusal, perlawanan kolektif atas sistem yang memarginalkan, karena "minoritas baru" ini berhimpun berdasarkan ikatan primordial.

Reintegrasi minoritas baru

Di Indonesia, peristiwa teror terhadap gedung WTC pada September 2001 dan bom Bali 2002 merupakan titik kulminasi terjadinya hegemoni terhadap kelompok yang dipandang ekstrem. Serangkaian stigma dilekatkan secara sapu rata kepada mereka dan berakibat pada penihilan eksistensi. Kampanye toleransi dan keberagaman yang beriringan dengan kampanye war on terror justru mengkristalkan semangat dan melipatgandakan upaya untuk eksis. Peluang liberalisasi politik menurut Eric Hiariej (2017) dipergunakan kelompok yang jadi sasaran kampanye war on terrordengan bertransformasi menjadi post fundamentalist. Strategi kampanye dikemas dalam bingkai narasi populisme moralitas.

Di lain sisi, desakan (kepada pemerintah) untuk berpihak dan memberi proteksi sosial-ekonomi kepada "minoritas baru" menjadi alunan yang segera memperoleh persetujuan dari khalayak. Sebagai contoh, sentimen kepada entitas asing, taipan misalkan, memiliki multifungsi sebagai faktor pengikat solidaritas, opini, dan mobilisasi tuntutan.

Ketakmampuan individu berpartisipasi dalam proses ekonomi dan politik dalam kehidupan sehari-hari menciptakan perasaan termarginalisasi sehingga mendorong seseorang mengidentifikasi diri sebagai "minoritas baru". Minimnya kehadiran, uluran tangan, dan pengayoman dari negara mendorong orang mencari solusi sendiri akan masalah yang dihadapi karena pemerintah seolah tak mampu memberi solusi (Edward dan Glover 2001).  

Karena itu, pemerintah perlu bersama-sama "minoritas baru" dalam pencarian jawaban atas ekses dan komplikasi dari globalisasi neoliberal. Jika tidak, proyek identitas sebagai "minoritas baru" ini akan berkolaborasi dengan figur oligarki populis yang menggunakan simbol perlawanan kolektif untuk meraih kekuasaan. Populisme zaman milenial ini berkarakter populisme sektarian dan menjadi predator bagi demokrasi dan keadilan sosial yang hakiki. Ibaratnya menghindar dari mulut naga, masuk ke mulut dinosaurus.