Jumat (27/4/2018), Presiden Korea Utara Kim Jong Un dijadwalkan bertemu Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Gedung Perdamaian, Panmunjeon, Korea Selatan. Pertemuan tingkat tinggi dua pemimpin dari dua negara satu bangsa itu menumbuhkan lagi harapan terwujudnya reunifikasi Korea.
Setiap kali ada pembicaraan antardua pemerintah di Korea itu selalu muncul dua pertanyaan. Apakah akan ada reunifikasi? Kalau ada, kapan reunifikasi itu terjadi? Reunifikasi pasti terjadi. Tiga alasan berikut mendasari jawaban optimistis itu. Pertama, usaha membahas reunifikasi sudah sering dilakukan, bahkan sering disebut reunifikasi sebagai a secret and universally-desired goal. Bahkan pula, ada kementerian khusus dibentuk untuk urusan itu.
Kedua, Korea adalah bangsa yang relatif homogen secara etnis dan budaya sehingga punya landasan kuat untuk bersatu kembali. Ketiga, ada perhitungan bahwa jika sudah bersatu, Korea akan lebih kuat dan menghadapi tantangan zaman di milenium ketiga. Karena itu, pertanyaan bukan apakah (if), tapi kapankah (when) reunifikasi terwujud.
Usaha reunifikasi sudah muncul saat AS "mendekati" China awal 1970-an. Pernyataan bersama ditandatangani 1972. Setelah Jerman bersatu, Kim Il Sung dan Roh Tae-woo menyatakan harapan bersama penyatuan Korea segera terwujud pada 1992. Pada Juni 2000, ada lagi pernyataan bersama menuju reunifikasi damai di Korea.
Semangat kepersatuan ditunjukkan dengan olahraga. Pada Kejuaraan Dunia Tenis Meja di Jepang pada 1991, kedua negara menjadi satu tim. Pada upacara pembukaan Olimpiade 2000, 2004, dan 2008, mereka sudah berbaris bareng kendati bertanding dengan bendera masing-masing. Pada Olimpiade Musim Dingin 2018 keduanya menampilkan tim hoki es putri.
Jawaban atas pertanyaan kedua, soal kapannya, adalah menunggu terpenuhi syarat dan kondisi untuk reunifikasi. Artinya, hingga kini selain komitmen, kondisi dan syarat lain belum cukup. Pertama, adanya kesepakatan tentang bentuk negara dari Korea bersatu. Kedua, adanya kemauan dan kemampuan menanggung ongkos untuk reunifikasi, yang didasari perhitungan bahwa ongkos itu bisa dikompensasi dengan keuntungan jika bangsa Korea bersatu.
Soal komitmen, reunifikasi memang selalu dianggap penting bagi rakyat Korsel. Namun, muncul gejala penurunan tingkat pentingnya reunifikasi itu di Korsel. Survei Lembaga Unifikasi Nasional, pada 1990-an, 80 persen rakyat masih menganggap reunifikasi sebagai esensial. Pada 2011, angka itu turun menjadi 56 persen. Pada 2017, sekitar 72,1 persen generasi mudanya percaya reunifikasi tidak perlu karena mereka lebih tertarik isu-isu ekonomi, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan hidup.
Di Korut, rakyat punya keinginan reunifikasi lebih kuat. Soal sistem, 14 persen ingin tetap dengan sistem sosialisme, 26 persen kompromi antardua sistem, 34 persen lebih memilih sistem Selatan, dan 24 persen lain tak peduli sistem sosialisme atau kapitalisme. Soal bagaimana reunifikasi terjadi, hanya 8 persen berharap Korut yang mengontrol prosesnya, 7 persen bilang akan terjadi ketika Korut hancur, 22 persen berharap Korsel mengabsorbsi Korut. Lainnya, 63 persen, berharap melalui negosiasi setara di antara dua Korea.
Soal kemampuan membayar ongkos reunifikasi, sudah ditunjukkan bagaimana rakyat Korsel, terutama generasi mudanya, mulai bersungut-sungut dan enggan menanggungnya. Hal itu karena jurang pendapatan amat lebar. Jika bersatu, ongkos amat banyak sehingga mengurangi kesejahteraan rakyat Korsel.
Ketika reunifikasi Jerman, GNP/kapita Jerman Barat (25.000 dollar AS) tiga kali lipat Jerman Timur (8.500 dollar AS), sementara kini Korsel (36.700 dollar AS) atau 20 kali lipat Korut (1.800 dollar AS). Padahal, penduduk Jerman Timur (17 juta) sepertiga dari Jerman Barat (60 juta), dan penduduk Korut (25 juta) separuh dari Korsel (51 juta). Intinya, ongkos reunifikasi Korea jauh lebih mahal daripada reunifikasi Jerman.
Namun, ke depan, apabila bersatu, Korea akan lebih mampu bersaing dengan bangsa lain, khususnya Jepang yang pernah menjajahnya pada 1910-1945. Menurut Goldman Sachs (2009), potensi kekuatan ekonomi Korea yang bersatu akan melampaui semua negara G-7 kecuali AS dalam 30-40 tahun, dengan perkiraan PDB 6 triliun dollar AS lebih pada 2050.
Buruh yang terampil dan muda dan sumber daya alam dari Utara dikombinasikan dengan teknologi canggih, infrastruktur dan modal besar di Selatan, akan menciptakan ekonomi yang lebih besar daripada negara G-7. Menurut beberapa pendapat, bahkan Korea yang bersatu bisa terjadi sebelum 2050.
Ketika melihat keinginan jelas, tetapi terkendala syarat dan kondisi yang berat untuk mewujudkan, biasanya muncul massa kritis yang memelopori sikap dan tindakan baru. Biasanya, massa kritis itu kalangan muda karena di mana-mana generasi muda pelopor dinamika kehidupan, ketika bangsanya dalam kesulitan.
Pertama, mereka selalu melihat ke depan. Ibaratnya, generasi muda bisa "melihat fajar ketika matahari akan terbenam". Jika berpikir strategis, prediksi Goldman Sach tentu mendorong generasi muda Korea mewujudkan reunifikasi.
Kedua, mereka yang selalu bersedia berisiko dan berkorban demi jayanya bangsanya di masa depan. Memang keinginan generasi muda zaman now cenderung kekinian dan berpikir praktis jangka pendek. Namun, mesti diingat, generasi muda selalu punya sifat alamiah untuk berpikir strategis ke depan, bersedia berjuang dan berkorban untuk masa depan bangsanya.
Atas dasar itu, generasi muda diharapkan punya cara mewujudkan reunifikasi bangsanya, dengan mengadakan kompromi produktif bagi kemajuan bangsanya. Mereka tentu akan lebih nyaman jika kemajuan bangsanya bersifat endogen daripada sekadar eksogen. Yang dari Utara tentu tak ingin terus-menerus membiarkan elitenya menarik keuntungan mereka sendiri dengan melakukan teror senjata nuklir dan mengabaikan tuntutan dan kepentingan kesejahteraan rakyat. Yang dari Selatan tentu juga tak ingin terus menggadaikan kedaulatan dan keamanan militernya pada kekuatan luar demi membeli kesejahteraan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar