Their businesses were almost all family owned. But today most of the big Chinese businesses are listed on the stock exchange. I hope to be able to revise The Malay Dilemma some stage in the future. —Mahathir Mohamad, 2008
Kalimat di atas adalah cuplikan pengantar Dr Mahathir Mohamad (92), penulis bukuThe Malay Dilemma, pada edisi terbit ulang 2008, lima tahun setelah lengser.
Buku itu pernah dilarang pada akhir 1970-an ketika terbit pertama kali dan penulis muda itu sempat disingkirkan dari partainya, UMNO (United Malays National Organization).
Namun buku itu kemudian justru menjadi dasar kebijakan Malaysia awal 1980an, ketika dia menjadi perdana menteri. Kebijakan itu dikenal dengan New Economic Polity (NEP) sering juga disebut Ketuanan Melayu. Suatu kebijakan yang mendahulukan etnis Melayu daripada dua etnis mayoritas lainnya, China dan India sebagai imigran.
Pemilu
Boleh jadi pemilu Malaysia yang akan diselenggarakan pada 9 Mei tahun ini adalah pemilu paling heboh sejauh ini. Ini karena bersatunya dua tokoh senior dalam politik Malaysia yang sebelumnya saling bermusuhan, Mahathir dan Anwar Ibrahim (70). Keduanya kini bergabung dalam suatu koalisi partai bernama Pakatan Harapan (PH) untuk mengalahkan koalisi partai paling mapan Barisan Nasional (BN) yang berkuasa sejak kemerdekaan Malaysia 1957.
BN terdiri dari tiga partai utama tradisional, di samping UMNO yang mewakili Melayu—kini dipimpin oleh Najib Razak sebagai PM—MCA (Malaysian Chinese Association) dan MIC (Malaysian Indian Congress), dua yang terakhir mewakili mayoritas etnis imigran.
Namun, jika kita dalami, yang krusial sesungguhnya bukan hanya bergabungnya Mahathir dan Anwar Ibrahim, melainkan juga bersatunya dua visi dan ideologi yang saling bertentangan. Seperti kutipan di atas, Mahathir masih menginginkan supremasi Melayu. Untuk pemilu kali ini dia mendirikan partai politik yang merepresentasikan visi 1970an, yaitu Partai Pribumi Bersatu Malaysia atau Bersatu.
Sebaliknya, Anwar, justru hendak menghapuskannya. Visi ini telah membuat perolehan kursi oposisi melonjak pada pemilu 2008 dan 2013.
Menurut Anwar, kebijakan Ketuanan Melayu telah menyuburkan KKN dan menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin di masing-masing anggota koalisi yang berbasis pada etnis.
Ketuanan rakyat
Menjelang pemilu 2008 Anwar membangun koalisi baru yang disebut BA (Barisan Alternatif) atau Pakatan Rakyat (PR). Koalisi ini terdiri dari tiga partai utama, yaitu PKR (Partai Keadilan Rakyat) pimpinan Anwar yang mewakili Melayu anti-Ketuanan Melayu, PAS (Partai Islam Se-Malayisa) yang mewakili visi Islam lintas etnik, dan DAP (Democratic Action Party), partai sosialis pluralis yang didukung kalangan China.
PR berhasil mengerek perolehan kursi oposisi di parlemen pusat dari satu kursi pada pemilu 2003 dan untuk pertama kalinya menggagalkan BN meraih 2/3 persen kursi di parlemen pusat. Bahkan pada pemilu 2013, PR berhasil memenangkan perolehan jumlah suara pemilih tetapi kalah jumlah kursi parlemen dengan komposisi 51 pesen vs dan 49 persen, sehingga gagal menjadikan Anwar sebagai PM.
Perolehan kursi PR yang melonjak pada pemilu 2008 dan 2013 itu disebabkan oleh visi Anwar yang menawarkan perubahan kebijakan dari Ketuanan Melayu versi BN ke Ketuanan Rakyat dengan menghapuskan afirmasi terhadap Melayu. Perubahan itu adalah suatu afirmasi terhadap mereka yang miskin dan termarjinalkan secara lintas etnis (affirmative base on need).
Anwar mengritik keras kesenjangan dan ketidakadilan yang disebabkan oleh Ketuanan Melayu, baik terhadap non Melayu yang miskin maupun terhadap Melayu yang miskin. Menurut Anwar, kebijakan Ketuanan Melayu telah menyuburkan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dan menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin di masing-masing anggota koalisi yang berbasis pada etnis.
Menurut Anwar, kebijakan itu telah membuat Malaysia tertinggal dari persaingan era industri dan SDM (Sumber Daya Manusia) seperti dengan Taiwan, Korea Selatan dan bahkan Singapura yang mulai membangun dalam periode yang sama.
Anwar juga mengritik model Negara Federal Malaysia yang sentralistik dan eksploitatif terhadap daerah terutama dalam pembagian keuntungan eksplorasi minyak dan gas serta pajak. Dominasi pusat membuat rakyat di daerah makin miskin dan kesenjangan kian menganga antara pusat dan daerah.
Janji politik
Anwar menawarkan konsep desentralisasi dalam pembagian hasil eksplorasi minyak dan gas serta pajak. Anwar juga pernah mengatakan bahwa Malaysia adalah negara federal tetapi pada praktiknya sangat sentralisitk. Berbeda dengan Indonesia, yang katanya negara kesatuan tetapi pengelolaannya ala federal.
Untuk mencapai kemenangan, PH harus merayu PAS untuk bergabung sejak awal. Meskipun PAS secara tradisional adalah anggota koalisi PR di pemilu 2008 dan 2013, sampai sekarang mereka belum memutuskan akan bergabung dengan BN atau PH. Jika PAS tidak ikut bergabung sejak awal maka mereka bisa memilih setelah hasil pemilu dengan menjadi kunci kemenangan untuk meraih PM dengan minimal 51% suara. Siapa pun yang memeroleh suara terbanyak dari dua koalisi itu, PAS akan ikut dalam kekuasaan.
PH telah menunjuk Mahathir sebagai calon PM dan istri Anwar Ibrahim Anwar Wan Azizah Wan Ismail, salah seorang tokoh politik senior PKR sebagai Timbalan. Penetapan itu disertai dengan janji dari Mahathir, bahwa jika PH menang maka dia akan memberikan pengampunan kepada Anwar dan Anwar akan menggantikan sebagai PM.
Jika PH menang dan janji Mahathir dilaksanakan, akan terjadi suami istri menduduki jabatan PM dan Timbalan dalam waktu yang bersamaan. Namun yang lebih krusial untuk diuji adalah, apakah Mahathir merelakan dayung kepemimpinan Malaysia diarahkan pada desentralisasi yang luas dengan menghapus Ketuanan Melayu dan sentralisasi?
Pelajaran
Tulisan ini tidak akan berspekulasi tentang hasil pemilu Malaysia dan perubahannya. Sekadar mengungkap pelajaran yang bisa dipetik bangsa Indonesia menjelang Pilpres 2019. Bahwa perubahan dan pergantian kepemimpinan dan koalisi partai, tidak serta merta memberi harapan untuk perubahan yang lebih baik, bahkan bisa setback jauh ke belakang.
Pertanyaan sebaliknya juga bisa diajukan, bukan sekadar meneruskan suatu kepemimpinan jika tidak ada harapan perubahan yang lebih baik, dan bisa setback juga ke belakang.
Tidak mudah bukan?
Ahmad Suaedy, Pengamat Islam Asia Tenggara
Kompas, 20 April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar