Meskipun Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2017 membaik, masih terjadi ketimpangan dalam mengakses hasil pembangunan, terutama di Indonesia timur.
Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2017, menurut Badan Pusat Statistik, adalah 70,81, menjadi lebih baik dibandingkan dengan tahun 2016 sebesar 70,18. Angka tersebut melebihi target pemerintah dalam APBN Perubahan 2017, yaitu 70,1.
Nilai IPM tersebut menunjukkan Indonesia masuk ke dalam kelompok dengan IPM tinggi. Sejak tahun 2000, skor IPM Indonesia berada pada angka 60-an yang termasuk kategori sedang. Sebelumnya, skor kita kurang dari 60 yang memperlihatkan skor IPM rendah.
Nilai IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan hasil pembangunan lainnya. Indeks yang diperkenalkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1990 itu mengukur tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak dengan mengukur tingkat pengeluaran.
Meski secara nasional IPM kita membaik, indeks juga memperlihatkan masih terjadi ketimpangan pembangunan dan akses terhadap hasil pembangunan. Provinsi DKI Jakarta memiliki indeks tertinggi (80,06) sementara yang terendah adalah Papua (59,09), dan masih ada 32 kabupaten, sebagian besar berada di bagian timur Indonesia, dengan nilai indeks rendah.
Jika ditilik lebih jauh, ketimpangan terjadi pada pendidikan dan standar hidup. Disparitas kemiskinan terjadi antara kota dan desa, serta antarlapangan kerja. Lebih dari 60 persen penduduk miskin ada di perdesaan dan hampir 50 persen penduduk miskin bekerja di sektor pertanian on farm. Dari sisi pendidikan, sebagian besar penduduk tidak tamat sekolah dasar atau tamat sekolah dasar.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan derajat kesejahteraan penduduk, tetapi tantangannya tidak mudah. Program Pembangunan PBB dalam laporan IPM Indonesia 2016 memberi catatan, meskipun IPM kita naik, tetapi pembangunan belum mengikutsertakan perempuan, kelompok minoritas, dan penduduk di daerah terpencil. Kelompok ini sering kali memiliki kesempatan terbatas untuk memengaruhi kelembagaan dan pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Situasi ini belum banyak berubah hingga saat ini.
Memberi perempuan akses berpartisipasi dalam pembangunan terbukti meningkatkan kualitas pembangunan. Menurunkan angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi, serta meningkatkan batas usia menikah bagi perempuan sangat memengaruhi kualitas kehidupan perempuan. Kelembagaan harus dibangun untuk memberi perempuan dan kelompok minoritas dapat menentukan pengambilan keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar