Sabtu (21/7/2018) dini hari lalu adalah hari paling naas bagi Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husein. Wahid yang baru empat bulan menjabat di sana terjerat operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap untuk pemberian fasilitas mewah bagi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin.
Selain Kalapas Sukamiskin, KPK juga menangkap lima pelaku lain, termasuk narapidana kasus korupsi Fahmi Darmawansyah yang diduga menjadi pelaku suap. Dari operasi tersebut, KPK menyita barang bukti berupa dua mobil mewah dan uang Rp 279 juta dan 1.140 dollar AS. KPK menyebutkan adanya jual-beli fasilitas sel mewah di Lapas Sukamiskin sebesar Rp 200 juta-Rp 500 juta.
Penangkapan KPK dan temuan soal sel mewah di Lapas Sukamiskin tidak saja mengejutkan, tetapi juga membuat malu jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), bahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Apalagi Lapas Sukamiskin selama ini sering kali dikatakan sebagai lapas percontohan di Indonesia.
Meski banyak yang terkejut, terungkapnya adanya sel mewah di dalam lapas atau penjara sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Pada tahun 2013, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana pernah melakukan inspeksi mendadak dan menemukan sel mewah di Lapas Sukamiskin. Lalu, pada 2017, operasi yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan keberadaan sel mewah di Lapas Narkotika Cipinang yang dihuni oleh napi kasus narkoba, Haryanto Chandra.
Terungkapnya praktik jual-beli fasilitas dalam penjara pada akhirnya menunjukkan bahwa praktik korupsi di penjara bukanlah isapan jempol semata. Bahkan, hal ini sudah menjadi rahasia umum dan terjadi sejak lama. Pada 2001 silam, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melakukan penelitian tentang praktik korupsi di lembaga peradilan, termasuk yang terjadi di penjara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik korupsi ditemukan merata pada sejumlah penjara yang ada di enam kota, yaitu Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Samarinda.
Pelaku korupsi di penjara mulai dari pejabat di Kemenkumham, kepala penjara, pegawai atau sipir penjara, advokat, perantara, hingga napi lain yang menjadi kaki tangan oknum petugas. Pola umum korupsi dalam penjara adalah suap-menyuap dan pemerasan. Selain untuk memperkaya diri, munculnya korupsi dalam penjara dipengaruhi beberapa faktor, antara lain keterbatasan fasilitas dalam penjara, lemahnya pengawasan, dan minimnya kesejahteraan para petugas di penjara.
Beberapa modus korupsi
Modus korupsi yang lazim terjadi di penjara adalah jual- beli fasilitas di penjara, pemberian pengurangan masa hukuman (remisi), suap untuk pemberian izin keluar dari penjara, pungutan liar untuk pengunjung atau keluarga napi, dan penggunaan orang pengganti (stuntman) atau joki napi untuk menjalani hukuman dari napi yang sesungguhnya.
Akibat merebaknya korupsi yang terjadi, istilah penjara sebagai hotel "prodeo" (gratis) sudah tidak tepat lagi disandang saat ini karena tidak ada yang gratis lagi di penjara. Adanya komersialisasi di penjara memunculkan adagium "sepanjang ada uang apa pun bisa tersedia di penjara".
Praktik korupsi di dalam penjara juga disinyalir sebagai penyebab maraknya peredaran narkoba di Indonesia. Data BNN pada tahun 2017 menyebutkan lebih dari 50 persen praktik peredaran narkoba yang ada di Indonesia dikendalikan dari dalam penjara.
Para bandar narkoba menyuap dan bekerja sama dengan sipir atau kepala penjara maupun napi lain agar bisnisnya berjalan aman dan lancar. Fungsi penjara yang seharusnya merupakan tempat bagi para napi untuk memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan pidana justru mulai beralih fungsi menjadi tempat berlindung bagi bandar narkoba dalam meneruskan bisnis haramnya.
Dalam pantauan ICW, sejak tahun 2011 hingga 2017 terdapat sedikitnya 14 oknum aparat di penjara yang diduga menerima suap dari bandar atau terlibat dalam peredaran narkoba. Sebagian oknum telah dicopot dari jabatannya dan diproses secara hukum. Motif penyuapan umumnya adalah agar bandar narkoba mendapatkan fasilitas sel khusus, bisa keluar-masuk penjara secara lebih mudah, mendapatkan perlindungan keamanan, dan dibiarkan mengendalikan bisnis narkoba selama di penjara.
Pada akhirnya peristiwa memalukan yang terjadi di Lapas Sukamiskin seharusnya menjadi momentum bagi Kemenkumham untuk melakukan pembenahan terhadap seluruh penjara di Indonesia, sekaligus mencegah kejadian serupa terjadi kembali di masa mendatang. Untuk memberantas korupsi di penjara yang sistemik, maka pendekatannya juga harus sistemik melalui upaya pencegahan dan penindakan.
Pada aspek pencegahan, pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola di penjara dan meningkatkan kesejahteraan petugas penjara agar mereka tak tergoda uang suap yang ditawarkan narapidana. Terhadap semua kepala penjara harus dilakukan audit kinerja atau kekayaan. Fungsi pengawasan dari jajaran Inspektorat dan Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham perlu lebih diperkuat.
Inspeksi mendadak dan rotasi petugas penjara juga harus rutin dilakukan. Peraturan dan tata tertib yang berlaku di penjara sebaiknya dievaluasi ulang serta diperketat agar nantinya bisa dilaksanakan tanpa pengecualian.
Adapun dalam aspek penindakan, Kemenkumham sebaiknya menerapkan zona tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap praktik korupsi di lingkungan penjara.
Jika masih ada penjara yang menyediakan sel mewah atau ditemukan adanya suap-menyuap, kepala penjara atau petugas penjara yang bertanggung jawab harus dicopot dan diproses secara hukum. Selain itu, untuk memberikan efek jera, maka pelaku yang terbukti melakukan korupsi di penjara harus dihukum dengan berat dan dimiskinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar