Egosektoral dan perbedaan kepentingan terus menyandera rencana penerbitan perpres, sebagai payung hukum kebijakan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.

Egosektoral dan perbedaan sikap di dalam pemerintah sendiri antara lain terlihat dari sikap Kemenperin yang terkesan berusaha menjegal program kendaraan listrik karena lobi-lobi pihak tertentu. Kengototan Kemenperin mengembangkan kendaraan hibrida ketimbang kendaraan listrik menjadi salah satu sorotan. Demikian pula sikap Kemenperin yang menolak penghentian penjualan kendaraan berbahan bakar fosil pada 2040.

Kalangan lembaga dan perguruan tinggi nasional yang terlibat dalam riset dan pengembangan mobil listrik menuding pihak-pihak yang terlibat dalam pembahasan rancangan perpres kendaraan listrik tak menginginkan industri kendaraan listrik nasional menjadi raja di negeri sendiri (Kompas, 30/8/2018).

Ada kekhawatiran, dalam program kendaraan listrik nasional, pemain nasional akhirnya akan ditinggalkan dan gigit jari jika momentum itu ternyata justru lebih dimanfaatkan oleh investor asing, seperti terjadi pada industri mobil konvensional.

Sikap Kemenperin yang ngotot mengembangkan kendaraan hibrida—padahal Indonesia belum menguasai teknologinya dan pengembangannya juga jauh lebih mahal dibandingkan mobil listrik—juga dinilai menunjukkan tak adanya keberpihakan kepada industri nasional. Demikian pula usulan Menperin untuk menghapuskan bea masuk bagi impor mobil listrik dan penurunan Pajak Penjualan Barang Mewah atas kendaraan tersebut.

Padahal, Indonesia telah memulai riset dan pengembangan mobil listrik sejak 2012 dengan melibatkan sejumlah perguruan tinggi. Motor skuter listrik yang berhasil diproduksi diyakini bisa menjadi lompatan bagi pengembangan kendaraan listrik dan industri otomotif nasional. Tak kunjung keluarnya perpres membuat hilirisasi hasil riset terhambat.

Muncul kesan, di balik preferensi Kemenperin pada kendaraan hibrida, ada titipan kepentingan dari industri otomotif yang menguasai industri kendaraan saat ini. Lompatan ke mobil listrik memang akan memukul industri otomotif konvensional. Namun, mengakomodasi kekhawatiran mereka dengan memilih mobil hibrida akan mengakibatkan biaya jauh lebih besar yang harus ditanggung, salah satunya melanggengkan pemborosan BBM.

Tantangan kita adalah bagaimana bisa menjembatani konflik kepentingan ini. Jangan lagi kepentingan sempit membuat kita terjerumus ke dalam lubang sama. Bukan kali ini saja kebijakan industri dibajak oleh kepentingan sempit segelintir pengusaha.

Ketertinggalan kita dalam mengembangkan moda angkutan massal yang terintegrasi, efisien, nyaman, dan bisa diandalkan di masa lalu adalah juga karena kepentingan pabrikan mobil asing dengan pengusaha afiliasi rezim berkuasa, berhasil membelokkan pengembangan moda transportasi nasional ke moda jalan raya yang membakar triliunan rupiah sia-sia di jalanan setiap tahun.