KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

J Kristiadi

Menjelang hari ulang tahun ke-73, 5 Oktober 2018, Tentara Nasional Indonesia mendapat panggilan tugas kemanusiaan menyelamatkan penduduk Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, yang luluh lantak dilanda tsunami, likuefaksi (perubahan masif tanah menjadi "bubur"), dan gempa. TNI bahu-membahu dengan aparat pemerintah lainnya, masyarakat, sukarelawan, dan para dermawan mengerahkan alat utama sistem persenjataan untuk memulihkan keadaan akibat amukan keganasan alam yang menelan korban ratusan dan mungkin ribuan jiwa manusia.

Namun, semangat pengabdian TNI melaksanakan operasi militer selain perang tampaknya tidak dapat maksimal karena terkendala terbatasnya alat utama sistem persenjataan (alutsista). Oleh sebab itu, benar sekali gagasan Marsekal Hadi Tjahjanto saat memaparkan visi dan misi sebagai calon Panglima TNI di DPR akhir tahun 2017, agar tidak memutlakkan perbedaan fungsi TNI dalam operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Mengingat, ancaman nonmiliter juga dapat menimbulkan akibat yang sangat apokaliptik.

Namun, dalam perspektif global, TNI harus mempunyai kemampuan prima menjaga kedaulatan negara. Sejak berdirinya, kesadaran semacam itu sudah dicanangkan oleh salah satu pendiri TNI, Jenderal Oerip Soemohardjo, yang menyatakan negara wajib memiliki dan membangun angkatan perang (kuat).

Beliau wanti-wanti, sangatlah janggal jika suatu negara mampu berdiri tanpa angkatan perang yang menopangnya—"aneh suatu negara zonder tentara".

Wawasan visioner tersebut semakin urgen mengingat tingkat eskalasi persaingan global semakin tinggi. Laporan khusus The Enonomist, "Reinventing Liberalism for the 21st Century", (15-21 September 2018), mendalilkan bahwa realitas dunia yang didominasi oleh liberalisme, berdemokrasi justru mengharuskan negara-negara mempunyai militer yang kuat untuk menjamin nilai-nilai, filsafat hidup, dan kedaulatan dari ancaman ambisi teritorial negara lain.

Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) menjaga perdamaian dan mengakibatkan Perang Dunia II karena tidak ada kekuatan militer yang dapat membendung kekuatan militer negara-negara yang dikuasai oleh paham fasisme, seperti Jerman (Adolf Hitler), Italia (Benito Mussolini), dan Rusia (rezim komunis).

Maksim tersebut telah lama dikumandangkan oleh ahli strategi perang, Carl von Clausewitz, agar negara yang ingin damai harus bersiap untuk perang, si vis pacem para bellum. Perlu diingat pula, perang harus menang, tetapi filosofi dan tujuan utama perang adalah mengalahkan lawan untuk mewujudkan perdamaian. Lawan bukan untuk dimusnahkan, melainkan hanya untuk dikalahkan.

TNI wajib memanfaatkan revolusi teknologi perang dalam meningkatkan profesionalismenya. Oleh karena itu, diperlukan perubahan pola dan strategi pertahanan. Tingkat eskalasi kemajuan teknologi yang eksponensial mengakibatkan peperangan akan berbasiskan teknologi (technological-based war). Terjadi perubahan durasi waktu, ruang, dan presisi dalam strategi perang. Strategi perang berbasiskan mobilisasi massa dan berkepanjangan tampaknya sudah tidak relevan. Yang diperlukan strategi yang tepat dan didukung oleh postur dan struktur pertahanan yang andal.

Peran TNI dewasa ini perlu pula mengantisipasi akibat revolusi teknologi, yaitu munculnya fenomena penguasa tiranikal. Kekuasaan despotik ini dikonstruksi melalui skema algoritma berbasiskan mahadata (big data) yang sangat melimpah dan tingkat keragaman yang tinggi; serta mampu memproses pengolahan, penyimpanan, dan analisis beragam data yang sangat besar serta tingkat akselerasi amat cepat. Dengan demikian, memberi gambaran yang lebih utuh dan lengkap.

Gejala ini oleh Yuval Noah Harari, 21 Lessons for the 21st Century (2018), disebut digital dictatorship. Ia mendalilkan teknologi digital akan sangat berguna untuk menyejahterakan masyarakat. Namun, di tangan seorang yang sangat ambisius akan menyebabkan bencana yang mematikan. Penguasa politik tiranikal dapat melakukan ekspansi ke negara lain dengan menciptakan robot-robot melalui program algoritma. Rezim ini juga dapat mengontrol ketat warga negara yang secara emosional tak senang kepada pemimpinnya.

Bermodalkan gelang bioritmik (biorytmic bracelet), penguasa dapat mengontrol dan menghukum warga yang muak melihat fotonya. Prajurit robot menihilkan emosi, empati, dan nilai-nilai kemanusiaan. Loyalitas mereka absolut terhadap perintah masternya. Dalam peperangan, meski membunuh musuh adalah absah, tetapi rule of engagement mengatur agar perilaku prajurit tidak sewenang-wenang.

Rute meningkatkan profesionalisme TNI mungkin dapat dimulai bertahap dengan melaksanakan gagasan tentang Koman- do Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Intinya, mengintegrasikan strategi penangkalan, pencegahan, dan pertahanan aktif. Postur gelar kekuatan TNI dilakukan dengan mengembangkan struktur terpadu antar-angkatan yang mengoordinasikan basis militer setiap angkatan sesuai kebutuhan mempertahankan wilayah-wilayah pertahanan. Fungsi pokoknya mengantisipasi ancaman kedaulatan negara.

Mengingat agenda profesionalisme TNI adalah keniscayaan, diperlukan konsolidasi internal TNI. Tugas sangat berat ini jangan diganggu oleh ambisi-ambisi politik yang membabi buta. Caranya, elite politik tidak perlu terlalu bersemangat menarik- narik purnawirawan dalam kubunya, terlebih yang masih berdinas aktif. Dirgahayu TNI, selamat ulang tahun ke-73.

J KRISTIADI Peneliti Senior CSIS

Kompas, 4 Oktober 2018