Setiap menjelang akhir September, kehidupan ini (bagi saya) seakan hanya berputar sekitar wawancara, diskusi, dan pemutaran film kembali G30S/PKI yang diadakan oleh berbagai pihak dan media.
Kata-kata "kekejaman", "penyiksaan di luar batas perikemanusiaan", "trauma", "perasaan sedih", dan "amarah" menjadi yang paling sering muncul dalam pertanyaan. Semua memberi kesan bahwa pengungkapan pengalaman traumatik menjadi suatu kebutuhan untuk dipenuhi oleh masyarakat yang melodramatik dan haus akan cerita-cerita yang menguras rasa iba dan kasihan, yang pada akhirnya bisa membangkitkan emosi kebencian.
Pemutaran film G30S/PKI dalam bentuk nonton bareng (nobar) ditonton masyarakat mulai dari anak hingga orang dewasa dan dilakukan begitu saja. Dipertontonkan bentuk tubuh-tubuh yang mengalami kekerasan serta penyiksaan yang hasil otopsinya pun menuai kontroversi tak kunjung henti.
Di lain pihak, korban yang jatuh sebagai akibat pembunuhan massal masih dipertanyakan kepastian jumlahnya. Rasa sakit akan penderitaan yang dialami cenderung terabaikan. Pihak-pihak yang berseberangan dan memiliki kepentingan yang berbeda cenderung saling meliyankan dengan menunjukkan sikap dehumanisasi.
Semua yang digambarkan seakan menjadi issues as usual tanpa menuju secercah titik terang bagaimana peristiwa ini akan diselesaikan dengan baik. Pemikiran penyelesaian non-yudisial tak kunjung terwujud. Padahal, sejalan dengan berlalunya waktu dan bertambahnya usia—baik pelaku, korban, maupun bystander (orang yang menonton)—yang masih hidup akan berkurang satu demi satu.
Sebagai psikolog, kondisi ini cukup memprihatinkan. Bukan saja karena berbagai upaya penyelesaian seakan-akan berjalan di tempat, sementara kehidupan sosial mental emosional masyarakat melelahkan meski belum sampai titik ignorant.
Kejahatan masif
Perspektif psikologis terhadap perilaku tindak kejahatan secara masif telah membawa pandangan yang berbeda untuk memahami tragedi 1965. Dengan mengesampingkan dulu bahasa dan kepentingan politik yang di dalamnya sarat perspektif psikologis, kita bisa memberikan pencerahan bagaimana kejahatan dapat terjadi dan sekaligus juga diingkari.
Gangguan mental emosional serta distorsi pikiran yang bisa terjadi sebagai dampak kapasitas seseorang menyaksikan kejahatan—tetapi saat itu juga melakukannya—menimbulkan pertanyaan tentang ada tidaknya moralitas yang bersemayam dalam diri kita sebagai manusia.
Tindak kejahatan biasa diartikan sebagai tindakan yang tercela secara moral dan melanggar norma-norma sosial. Secara mental emosional ia bisa mengguncangkan nurani dan rasa kemanusiaan. Tindakan merampok dan membunuh terhadap individu lain akan dianggap sebagai anomali dalam situasi keseharian yang normal. Ini tidak mengusik rasa kemanusiaan kita.
Lain halnya dengan pembunuhan massal yang terjadi pada pasca-tragedi 1965. Kenyataan atas apa yang terjadi lebih mengejutkan dan sukar dipahami karena dilakukan antara sesama anggota keluarga, komunitas, dan bahkan oleh negara. Harus diakui tidak semua tindak kekerasan massal tersebut merupakan tindakan yang secara sadar sengaja atau direncanakan sebelumnya.
Banyak peristiwa kejahatan terjadi tidak direncanakan secara sadar, tetapi dari beberapa kondisi yang timbul tiba-tiba dan bersamaan (Covington, 2017). Kejahatan kemanusiaan yang terjadi, antara lain di Auswitzch dengan munculnya Adolf Hitler, penyiksaan dalam penjara Tuol Sleng dengan tokoh Kaing Guek Eav yang lebih tersohor dengan nama Duch, dan pembantaian kelompok Muslim Serbia oleh Radovan Karadzik di Srebrenica, merupakan sejumlah kecil contoh konkret liku-liku jalan menuju genosida terbesar dalam sejarah manusia dapat terjadi.
Lalu dari manakah kejahatan itu muncul? Jawaban paling mudah adalah menuding seseorang yang menjadi tokoh utama sebagai sumber kejahatan. Tidak seorang pun akan menolak jika dikatakan Hitler, Duch, ataupun Karadzik adalah individu-individu yang memiliki kapasitas melakukan kejahatan. Namun, melemparkan sebab kejahatan kepada diri seseorang bisa memberikan ilusi yang keliru bahwa kejahatan itu dapat ditelusuri pada satu orang atau sebab saja.
Padahal, boleh jadi cukup banyak orang secara pasif "terkesima" dengan tokoh yang demikian untuk kemudian menjadi followers atau complicit. Kejahatan pada dasarnya muncul dari kondisi psikososial yang memengaruhi kelangsungan kualitas hidup individu, kelompok, dan masyarakat luas.
Kejahatan bukan suatu obyek yang menduduki tempat di luar diri, melainkan ia mendekam dalam diri manusia itu sendiri. Karena masyarakat merupakan suatu jejaring interaksi sosial yang luas, maka kelangsungan hidupnya akan ditentukan bukan saja oleh norma dan sistem kepercayaan apa pun yang berlaku.
Ia juga dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi dalam menghadapi guncangan paparan berbagai pandangan dan ideologi yang berbeda. Di sini masalahnya bukan hanya pada perbedaan, melainkan bagaimana (caranya untuk) hidup dalam kondisi keterbedaan dalam suasana civility dan decency sebagai masyarakat. Upaya membangun masyarakat yang baik dilandasi oleh the ethics of justice dan the ethics of care yang secara signifikan dilandasi oleh pertanyaan bagaimana kita bisa adil jika tidak peduli? (Supelli, 2013)
Apa yang terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965 dan setelahnya dapat dilihat sebagai moral drama masyarakat Indonesia: para pemimpin, pelaku, korban dan bystander-nya. Lalu bagaimana memoria passionis sejarah dapat ditransmisikan menjadi pembelajaran moral untuk masa kini?
Memetik pelajaran
Ungkapan forgive but do not forget bermakna mengenang apa yang diketahui tentang masa lalu dalam bentuk lesson learned yang mengandung nilai moral bagi kehidupan bersama yang ingin dibangun kembali. Tidak ada hubungan antarkelompok, hubungan kekuasaan, identitas sosial, dan aksi-reaksi terhadap konflik yang tidak dilandasi oleh moralitas kepedulian dan keadilan.
Moralitas demikian pada dasarnya juga melandasi kehidupan kejiwaan seseorang dalam membangun relasi sosial yang sehat. Dalam konteks sosial inilah, moralitas terkait dengan empati, rasa salah, dan malu.
Majalah Foreign Affairs edisi Januari/Februari 2018 memuat sejumlah tulisan yang membahas bagaimana suatu bangsa menangani "dosa" kejahatan masa lalu. Menurut tulisan editorialnya, dari kasus-kasus genosida, pembunuhan massal dan penindasan rasial yang terjadi di Jerman, Rwanda, Rusia, China, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan, dapat ditarik dua hal.
Pertama, worst practices adalah mengingkari apa yang sebenarnya terjadi. Kedua, dari best practices yang ada apa yang dilakukan oleh bangsa Jerman dapat dijadikan contoh komitmen terhadap tanggung jawab masa lalunya. Coming to terms with the past atau dalam bahasa Jermannya, Vergangenheitsbewaltigung, adalah istilah yang dipakai.
Berbagai contoh upaya itu menunjukkan adanya peran suatu kepemimpinan moral yang kuat. Jika bangsa lain bisa menyelesaikan masa lalunya secara beradab, mengapa selama ini kita belum bisa mewujudkannya untuk diri kita sendiri?
Jika untuk ini dibutuhkan pemimpin yang memiliki dan menunjukkan keberanian moral, adakah ia di antara kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar