Belum usai penanganan dampak gempa yang merusak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kini kita dikejutkan dengan terjadinya peristiwa gempa kuat di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah.
Gempa berkekuatan M 7,7 yang terjadi pada Jumat, 28 September 2018, pukul 17.02.44 WIB memiliki episenter yang terletak pada koordinat 0,18 Lintang Selatan (LS) dan 119,85 Bujur Timur (BT), tepatnya di darat pada jarak 26 kilometer dari utara Donggala, dengan kedalaman 10 kilometer. Selanjutnya, setelah rekaman data gempa hasil monitoring 146 seismometer teranalisis, kekuatan gempa dimutakhirkan menjadi berkekuatan M 7,4 dengan kedalaman 11 kilometer.
Rangkaian gempa kuat yang melanda Donggala dan Palu ini telah merusak ribuan rumah dan menelan korban jiwa ratusan orang meninggal.
Di kalangan para ahli, gempa merusak yang terjadi di Donggala dan Palu ini bukan hal yang aneh. Secara tektonik, wilayah Donggala dan Palu memang terletak pada pelintasan jalur sesar Palu-Koro. Berdasarkan catatan sejarah, jalur sesar ini sudah beberapa kali memicu terjadinya gempa besar yang merusak dan sebagian memicu tsunami destruktif di Teluk Palu dan sekitarnya.
Sebagai generator dari serangkaian gempa yang mengguncang Donggala dan Palu, tampaknya kita perlu lebih dalam mengenal struktur geologi sesar Palu-Koro ini.
Sesar mendatar
Tataan geologi-tektonik Sulawesi dikenal sangat kompleks. Pola tektonik Sulawesi dikenal sangat rumit. Kompleksitas tektonik ini juga tampak dari beberapa zona subduksi dan banyaknya sebaran sesar aktif di Sulawesi, tidak terkecuali sesar Palu-Koro.
Palu-Koro merupakan struktur geologi dengan mekanisme pergerakan mendatar mengiri (sinistral strike-slip). Sesar ini membelah Pulau Sulawesi dari Teluk Palu hingga Teluk Bone menjadi dua bagian, yaitu blok barat dan blok timur.
Hasil kajian yang dilakukan oleh peneliti LIPI, Mudrik R Daryono, memperlihatkan adanya beberapa segmentasi sesar Palu-Koro dengan panjang 15 kilometer hingga 59 kilometer. Adapun nama beberapa segmen tersebut di antaranya segmen Palu di utara, segmen Saluki. Segmen Moa dan segmen Meloi di selatan. Di selatan ujung sesar ini bertemu dengan jalur sesar Matano yang melintasi wilayah Soroako dan selanjutnya menerus ke laut. Sementara di utara, sesar Palu-Koro melintasi Teluk Palu dan menerus ke Selat Makassar hingga diperkirakan bertemu palung Sulawesi Utara (north Sulawesi Trench).
Menurut hasil kajian Socquet dan tim pada 2006 yang dimuat di Journal of Geophysical Research, zona sesar ini memiliki laju pergesaran sangat cepat sekitar 4 sentimeter per tahun. Sesar Palu-Koro dikenal sebagai salah satu sesar paling aktif. Jika dibandingkan dengan sesar regional lain di Indonesia, tampak laju pergeseran sesar Palu-Koro setara dengan empat kalinya laju sesar besar Sumatera.
Dari peta tampak bahwa blok Sulawesi bagian timur relatif bergerak ke utara dan blok barat relatif bergerak ke selatan. Kondisi ini membuat terakumulasinya medan tegangan kerak bumi di sepanjang jalur sesar ini. Secara tektonik, sesar Palu-Koro terbentuk sebagai reaksi terhadap tekanan yang timbul dari benturan dengan benua kecil (mikrokontinen) Banggai-Sula yang bergerak merangsek ke arah barat di mana Pulau Sulawesi berada. Dorongan Banggai-Sula ini menjadi pembangkit utama aktifnya sistem sesar regional di wilayah ini.
Mengapa Banggai-Sula begitu aktif menekan Sulawesi? Ada dua sebab. Pertama, akibat adanya pemekaran Laut Banda ke arah barat laut dan tenggara sehingga mendorong Buton dan Banggai bergerak ke arah barat. Kedua, pergerakan Banggai-Sula juga dipengaruhi oleh dorongan lempeng Laut Filipina ke arah barat yang dimanifestasikan dengan keberadaan sesar besar Sorong-Sula. Berdasarkan fakta- fakta ini, tampaknya kawasan Sulawesi—khususnya wilayah Sulawesi Tengah—selamanya akan menjadi kawasan aktif gempa bumi.
Hasil analisis terhadap semua aktivitas gempa Palu dan Donggala pada 28 September 2018, baik gempa pembuka (foreshocks), gempa utama (mainshocks), maupun gempa susulan (aftershocks), menunjukkan adanya kaitan erat dengan aktivitas sesar Palu-Koro. Di samping kedalaman hiposenternya yang dangkal, juga membentuk kluster sebaran gempa susulan yang berarah utara-selatan. Penciri utama sesar Palu-Koro adalah mekanismenya yang bergerak mendatar mengiri, yang dibuktikan oleh analisis mekanisme sumber keluaran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Sejarah gempa dan tsunami
Sejarah gempa mengungkap setidaknya ada tujuh peristiwa gempa kuat yang merusak dan sebagian memicu tsunami di Teluk Palu dan sekitarnya. Catatan paling tua gempa Palu terjadi pada 1905. Selanjutnya gempa kuat terjadi pada tahun 1907, 1909, 1927, 1937, 1968, dan 2012.
Gempa kuat yang mengguncang Palu pada tahun 1909 diperkirakan berkekuatan di atas M 7,0. Gempa ini merusak banyak rumah di zona Graben, Palu. Saking kuatnya guncangan, diceritakan setiap orang yang berdiri kemudian terjatuh, konon buah kelapa muda dan daun-daunnya pun sampai berjatuhan ke tanah.
Gempa dan tsunami Palu pada 1 Desember 1927 bersumber di Teluk Palu. Selain menimbulkan kerusakan bangunan sangat parah, gempa ini juga memicu tsunami di Teluk Palu. Banyak bangunan di kawasan pantai mengalami rusak parah dan menyebabkan 14 orang meninggal dan 50 orang luka-luka. Bencana tsunami itu hingga kini dikenang oleh masyarakat Palu dan Donggala sebagai peristiwa "air berdiri di Teluk Palu".
Gempa dan tsunami Tambu pada 14 Agustus 1968 merupakan gempa kuat yang bersumber di lepas pantai Tambu. Diduga kuat gempa ini masih berkaitan dengan aktivitas sesar Palu-Koro. Akibat gempa ini, di Teluk Tambu mengalami surut hingga sekitar 3 meter dan selanjutnya terjadi empasan tsunami. Tsunami juga menerjang hingga Teluk Palu. Dampak gempa dan tsunami dilaporkan sebanyak 160 orang meninggal.
Terakhir adalah gempa kuat yang terjadi pada 18 Agustus 2012 berkekuatan M 6,2. Episenter diperkirakan terletak antara Kulawi dan Danau Lindu. Gempa bumi ini menyebabkan 5 korban meninggal dan 694 orang luka-luka. Catatan peristiwa gempa kuat dan tsunami di atas kiranya cukup menjadi bukti akan aktifnya sesar Palu-Koro. Ke depan, potensi gempa di kawasan ini tetap ada dan patut diwaspadai.
Pelajaran penting
Ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa gempa dan tsunami Palu dan Donggala ini guna menata strategi mitigasi ke depan. Korban meninggal dan luka ternyata tidak disebabkan oleh gempa, tetapi akibat bangunan yang roboh dan menimpa penghuninya. Melihat banyaknya bangunan yang mengalami kerusakan, maka penting upaya nyata dan serius dalam merealisasikan bangunan tahan gempa bagi masyarakat. Jika tidak, maka sampai kapan pun setiap terjadi gempa kuat masyarakat kita akan terus menjadi korban.
Di wilayah pesisir yang sumber gempanya dekat dengan pantai, peringatan dini tsunami kurang efektif karena waktu tiba tsunami di pantai sangat singkat. Waktu emas untuk penyelamatan sangat singkat. Jalan keluarnya, masyarakat harus membangun kapasitas untuk evakuasi mandiri. Konsep evakuasi mandiri sangat efektif dalam melindungi masyarakat pesisir dari tsunami, di mana masyarakat pesisir menjadikan guncangan gempa kuat yang terjadi sebagai peringatan dini tsunami. Jika merasakan gempa kuat, masyarakat pesisir harus segera menjauh dari pantai. Masalah tsunami terjadi atau tidak urusan belakangan, yang utama jiwa sudah terselamatkan.
Keberadaan stasiun monitoring muka laut sebagai saran konfirmasi terjadinya tsunami sangat penting di pantai-pantai rawan tsunami. Alat ini sangat diperlukan untuk mendukung sempurnanya operasionalisasi peringatan dini tsunami, termasuk mendukung keputusan kapan berakhirnya ancaman tsunami.
Kapan akan terjadi gempa kita belum mampu memprediksi, tetapi kita harus siap menghadapinya. Sosialisasi mitigasi, edukasi, dan pelatihan evakuasi harus terus dilakukan secara berkesinambungan agar kita semua dapat hidup harmoni dengan alam yang rawan gempa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar