Duka pilu seakan terus menghampiri warga di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gempa bumi di Lombok dan Palu masih dalam pemulihan. Banyaknya jumlah korban jiwa dan materi tak layak lagi untuk dikuantifikasi. Lembaga resmi yang menangani setiap bencana terjadi pun sering kali "kecolongan", bahkan alpa dalam mengantisipasi potensi bencana.
Minimnya pengetahuan warga yang terpapar potensi bencana tak bisa lagi dibiarkan terus terjadi. Mereka harus tetap waspada sepanjang waktu. Dan jangan lagi lembaga, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, membuat berita simpang siur dan akhirnya dirundung di media sosial. Apalagi ditambah silang pendapat para ahli yang seakan memperkeruh situasi.
Mitigasi bencana
Secara geografis dan geologis wilayah Indonesia memang sangat rentan dengan berbagai bencana alam, bahkan kita berada dalam lingkaran api (ring of fire). Namun, dalam menghadapi bencana alam, seperti erupsi Gunung Merapi, gempa bumi, banjir dan atau tsunami, masih saja terkesan reaktif dan selalu terlambat mengantisipasi dan mencari solusinya. Belum ada platform yang jelas untuk mengantisipasi potensi bencana, termasuk ketersediaan alat-alat yang sangat penting dalam menanggulangi, baik alat-alat berat maupun media komunikasi yang tepat dalam mengantisipasi setiap bencana yang akan terjadi.
Ketidakseriusan negara (pemerintah) sering kali mengemuka karena alasan akses dan peralatan yang terbatas. Pemahaman sederhana tentang sebaran pulau yang dipisahkan lautan, selat, dan gunung-gunung yang ada di wilayah NKRI, semestinya kita merancang sistem pelayanan dan penanggulangan yang cepat di setiap wilayah bukan hanya mengandalkan dari Jakarta atau kota-kota besar. Amanat PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana sudah jelas dan rinci tentang pemetaan potensi bencana dan cara-cara peringatan dini dan atau sesudah bencana terjadi. Namun, sayangnya, pelaksanaan dan penguatan lembaga ini di daerah seakan terlupakan dan korban terus berjatuhan.
Mitigasi bencana sebagai upaya untuk mengurangi risiko dapat dilakukan melalui pembangunan fisik, penyadaran, dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Jika mencermati perkembangan tentang konsep dan implementasi komunikasi mitigasi bencana, di berbagai belahan dunia telah lama dikembangkan.
Strategi komunikasi risiko
Komunikasi risiko (risk communication) dalam menghadapi bencana alam senantiasa memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan komunikasi yang benar-benar serius dan berkelanjutan. Sebagai satu strategi, komunikasi risiko tidak bersifat insidental atau reaktif, tetapi jauh-jauh hari telah dipersiapkan berbagai fasilitas (infra dan suprastruktur) yang memadai, cepat dan tepat di setiap lokasi bencana, sesuai karakteristik wilayah dan potensi bencana itu sendiri.
Komunikasi risiko hadir sebagai elemen mendasar dalam hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Komunikasi risiko menempatkan kesadaran dan pemahaman manusia akan berbagai informasi penting tentang potensi dan dampak dari bencana yang akan terjadi.
Benar bahwa bencana alam terjadi sering kali di luar nalar kemampuan manusia. Namun, tentunya dapat diminimalisasi dengan berbagai upaya serius secara ilmiah, termasuk kenyataan bahwa wilayah NKRI rawan dari bencana. Manusia sebagai bagian dari alam semesta tentunya tidak hanya membangun hubungan normatif yang sekadar menumpang hidup, tetapi jauh menjadi satu kesatuan antara diri dan alam. Di beberapa wilayah yang rawan gempa dan tanahnya labil, dengan kesadaran warganya, dibuatlah rumah tinggal yang tahan dari guncangan.
Sebagai negeri yang secara alami berada dalam lingkaran api, khususnya bencana alam (bukan karena ulah manusia), seyogianya negara (pemerintah) membuat desain besar dalam merumuskan berbagai perencanaan dan kebijakan yang lebih serius, profesional, dan antisipatif. Desain besar itu mesti berkelanjutan dalam upaya menanggulangi berbagai bencana alam. Dengan begitu, ke depan tak ada lagi mengemuka sikap dan perilaku reaktif, apalagi salah prediksi atau saling menyalahkan.
Dalam perspektif komunikasi lingkungan, Milstein (2002) menyampaikan teori yang lintas disiplin dengan fokus pada pentingnya komunikasi dan hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya. Gejala dan potensi bahaya alamnya sangat bergantung pada tindakan manusia dalam mengantisipasi dan mencari solusi terbaik jika bencana tiba. Paling tidak masyarakat sekitar punya kesadaran dan kemampuan menghindari dan meredusir dampak negatif saat bencana tiba.
Upaya semacam ini perlu direncanakan melalui tahap-tahap komunikasi dan sosialisasi yang berkelanjutan. Cara-cara manusia bertindak dan berkomunikasi dengan alam akan membentuk persepsi yang harmonis tentang hubungan manusia dengan alamnya. Komunikasi lingkungan bukan sekadar hubungan reflektif, melainkan juga konstruksi, produksi yang alami (natural) antara manusia dan lingkungannya.
Komunikasi lingkungan memerlukan media komunikasi dan informasi yang memadai, cepat dan akurat, yang dikelola secara profesional di setiap wilayah yang potensial rawan bencana. Strategi komunikasi yang digunakan haruslah bersifat persuasif dan partisipatif, terutama tentang cara-cara mengantisipasi dan mencari solusi dari setiap potensi bahaya bencana yang akan muncul, temasuk pascabencana.
Dalam kaitan ini, ketersediaan infra dan suprastruktur—seperti media dan alat-alat komunikasi serta SDM lintas disiplin yang berkualitas—yang memadai tentunya menjadi prasyarat utama dalam komunikasi lingkungan, termasuk pengadaan sistem komunikasi peringatan dini. Sebagai contoh, pada kasus erupsi Gunung PopocatÉpetl di Meksiko telah menggunakan volcanic traffic light alert system (VTLAS) sebagai alat komunikasi utama yang membantu menerjemahkan dan mendeteksi ancaman bahaya melalui sirene tiga warna peringatan (hijau-kuning-merah).
Pelatihan-pendampingan
Becermin dari berbagai bencana yang rentan terjadi di berbagai wilayah NKRI, sudah saatnya semua elemen kebangsaan—elite birokrasi, pengusaha, LSM, tokoh masyarakat, dan warga—secara sinergis merumuskan berbagai tindakan nyata yang serius untuk mengantisipasi dan mencari solusi yang tepat dan berkelanjutan. Komunikasi mitigasi risiko menjadi pilihan utama dan sangat penting sebagai proses pendidikan sejak usia dini sampai dewasa, termasuk pelatihan dan pendampingannya.
Pusat kajian tentang komunikasi mitigasi bencana lintas disiplin, yang bekerja sama dengan pemerintah daerah, khususnya badan penanggulangan bencana daerah, secara simultan perlu segera diwujudkan. Pembuatan buku saku pedoman, komik-komik yang berkaitan dengan bencana dan penguatan media lokal dan atau sistem komunikasi peringatan dini seyogianya juga segera diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar