Baru-baru ini ada wacana dari pemerintah untuk menurunkan tarif pajak. Sinyal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan pernyataan, "Saya terus mempersiapkan untuk penyelesaian RUU itu karena menurunkan tarif PPh itu tidak menggunakan PMK (peraturan menteri keuangan), tetapi harus menggunakan UU," katanya dalam seminar nasional bertajuk "Peran Serta Dunia Usaha dalam Membangun Sistem Perpajakan dan Moneter yang Adil, Transparan, dan Akuntabel", Jumat (14/9/2018).
Bagaimana dampak yang akan terjadi jika tarif pajak diturunkan, terutama tarif wajib pajak badan. Sejauh mana implikasinya memengaruhi perekonomian nasional secara jangka pendek ataupun jangka panjang. Sebab, bagi pemerintah, tarif pajak yang besar akan memudahkan penerimaan negara. Namun, sebaliknya, bagi wajib pajak (masyarakat) akan memengaruhi konsumsi dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Teori Laffer
Sehubungan dengan hal ini, teori tarif pajak yang dikembangkan dengan kurva Laffer sangat menarik dikaji. Laffer menjelaskan, terdapat hubungan yang erat antara tarif pajak (tax rates) dan penerimaan negara (tax revenue). Kondisi ini dapat dijelaskan dengan kurva.
Kurva Laffer menjelaskan, pada titik tarif pajak sebesar nol persen, pemerintah tak mendapatkan penerimaan negara dari pajak. Demikian pula pada tarif pajak 100 persen, pemerintah tidak akan mendapatkan penerimaan pajak alias nihil. Kondisi ini disebabkan kesediaan untuk membayar pajak dari masyarakat akan menurun sehingga timbul perilaku penghindaran pajak.
Korelasi antara tarif pajak dan penerimaan negara dari pajak terjadi karena perubahan tarif akan dua dampak. Pertama, efek aritmetika terjadi apabila tarif pajak kecil, maka penerimaan pajak akan rendah. Berlaku sebaliknya, jika tarif pajak besar, penerimaan pajak tinggi.
Kedua efek ekonomi ini menjelaskan hubungan multiplier terhadap kegiatan ekonomi: jika tarif pajak dinaikkan akan berdampak negatif pada aktivitas perekonomian, sedangkan jika pajak diturunkan bersifat positif terhadap aktivitas perekonomian.
Maka, atas dasar kurva Laffer itu diperlukan titik ekuilibrium sehubungan dengan tarif pajak. Titik keseimbangan ini diperlukan karena hal ini akan menentukan tarif pajak yang tepat sehingga dapat memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian nasional dan memberi kontribusi optimal buat penerimaan negara dari sektor pajak.
Kajian komprehensif
Wacana yang digulirkan tarif pajak wajib pajak badan (bentuk badan usaha seperti PT, CV, firma, dan persekutuan) yang akan diturunkan jadi 22 persen lalu menuju 20 persen. Saat ini tarif wajib pajak badan yang berlaku bertengger di angka 25 persen.
Jika melihat negara tetangga kita, tarif pajak di Singapura, misalnya, 17 persen (sejak 2016) dan rasio pajak di sana 14,29 persen (Indonesia rasio pajaknya 11,36 persen). Sementara di Thailand 23 persen dengan rasio pajak sekitar 16 persen. Di Malaysia, tarif pajak 25 persen dengan rasio pajak 14,4 persen. Singapura berada di urutan pertama dengan tarif pajak terkecil di ASEAN.
Rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB). Rasio pajak juga merupakan alat ukur kinerja penerimaan pajak. Berkaca dari Singapura, jelas bahwa tarif pajak yang rendah dapat menciptakan penerimaan pajak yang mumpuni.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 telah mengambil langkah yang menarik karena telah menurunkan tarif pajak untuk usaha kecil dan menengah (UKM) dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Langkah ini berangkat dari keyakinan yang positif bahwa ke depan pajak atas usaha kecil dan menengah menjadi lebih banyak dapat terkumpul karena berkembang dan bertumbuhnya usaha dari sektor UKM. Kebijakan ini menuai banyak pujian dari kalangan pelaku UKM.
Namun, untuk menurunkan tarif pajak badan diperlukan kajian yang komprehensif dan perhitungan yang cermat. Sebab, jika salah perhitungan, akan berdampak menggerus penerimaan negara, yang tentunya akan memengaruhi APBN kita sehingga menjadi berkurang dan menghambat proses pembangunan. Semoga hal ini menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah dan pemikir-pemikir perpajakan.
Penulis yakin kita akan mampu menjadi negara yang makmur karena Sang Pencipta mengaruniai Indonesia alam, budaya, dan masyarakat yang hebat. Di samping itu, kita juga sanggup menjadikan bangsa yang memberikan kontribusi yang baik terhadap aspek penerimaan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar