Dua gempa besar telah terjadi di Indonesia dalam kurun waktu yang berdekatan: dua bulan. Pertama gempa Lombok dengan sumber patahan Flores-Back Arc (29 Juli 2018 dengan Magnitudo 6,4, lalu 5 Agustus M 7,0, dan 19 Agustus M 7,0). Kedua gempa Sulawesi Tengah dengan sumber patahan Palu-Koro pada 28 September, M 7,4.
Kondisi seismoteknonik Indonesia dengan lempeng teknonik dan sebaran patahan-patahannya membuat kawasan Indonesia rawan gempa bahkan dari sejak ribuan tahun lalu.
Ke depan, kondisi yang berlangsung secara alami ini akan seterusnya terjadi di Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia akan hidup berdampingan dengan gempa sepanjang masa.
Perulangan waktu kejadian gempa di suatu lokasi berlangsung dalam kurun waktu tertentu meski kapan persisnya belum bisa diprediksi secara tepat. Umumnya kejadian-kejadian gempa pada sumber yang sama juga akan terjadi pada kawasan sepanjang sumber gempa tersebut. Misalnya kejadian gempa Lombok terkait dengan gempa sebelumnya, yaitu gempa Flores 1992 berkekuatan M 6,8 dan gempa Bali 1976 berkekuatan M 6,5. Gempa Sulawesi Tengah terkait sebelumnya adalah tahun 1938 berkekuatan M 7,9.
Banyak kerugian
Gempa Lombok dan Sulawesi Tengah dan beberapa kejadian gempa di kedua sumber patahan ini telah menyebabkan ribuan korban jiwa. Beberapa gempa ini juga telah menyebabkan bahaya ikutan berupa tsunami sehingga menambah jumlah korban jiwa, kerusakan bangunan, dan kerugian ekonomi.
Pada gempa Lombok, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendata 606 bangunan sekolah rusak, 72.000 rumah tinggal rusak, demikian juga beberapa bangunan pemerintah.
Maka mengucur dana pemerintah Rp 7,5 triliun untuk tanggap darurat dan perbaikan kerusakan akibat bencana Lombok dan agaknya tidak kurang dari nilai tersebut perlu dikeluarkan untuk Sulawesi Tengah. Dengan demikian, bisa dibayangkan dan diakumulasikan, berapa triliun dana yang sudah dikeluarkan untuk merehabilitasi dampak gempa (dan tsunami) di seluruh Indonesia, paling tidak selama 25 tahun terakhir sejak gempa dan tsunami Flores 1992 dan Aceh 2004.
Dengan kondisi kejadian gempa di Indonesia yang akan terus berlangsung di masa depan ini, kondisi alamiah ini hendaknya dipandang sebagai komponen kontribusi minimum penyebab bencana. Sebab, kontribusi terbesarnya adalah struktur dan elemen-elemen fisik bangunan yang tidak tahan gempa sehingga rentan rusak atau roboh yang selanjutnya menyebabkan korban jiwa dan harta.
Kondisi kerentanan ini terjadi akibat akumulasi risiko dari sistem konstruksi bangunan yang belum sesuai dengan paparan lingkungan. Kondisi ini dapat terus terakumulasi dengan berjalannya waktu pembangunan, sepanjang upaya pengurangan risiko bencana (PRB) yang holistik, yang melibatkan semua pemangku kepentingan, tidak diprogramkan.
Dengan kondisi kerentanan ini, ancaman jatuhnya korban akibat bencana gempa di Indonesia akan tetap ada beberapa generasi ke depan. Pada setiap bencana gempa di Indonesia dalam kurun 25 tahun terakhir yang penulis amati melalui survei langsung ke lapangan, ada kesamaan dalam hal runtuh dan rusaknya bangunan: kurangnya pengetahuan masyarakat untuk membuat bangunan tahan gempa. Mulai dari rendahnya kesadaran masyarakat hingga kurangnya pengetahuan para pelaku teknis (tukang, konsultan, kontraktor, pengawas, pemberi izin), membuat bangunan tanpa spesifikasi tahan gempa terus bermunculan.
Pembangunan fisik untuk infrastruktur di Indonesia terus berlangsung dari APBN. Kota-kota di Indonesia terus berkembang dengan pesat dalam beberapa dekade ini. Sedikit banyak, kerentanan bangunan/infrastruktur pun terus terbangun sejalan dengan sistem dan proses konstruksi yang ada. Tinggi-rendahnya kerentanan yang terbangun tecermin dari rendah-tingginya pengetahuan dalam proses desain dan konstruksi bangunan tersebut.
Kalau kita evaluasi hasil pembangunan sampai kondisi saat ini, wilayah Indonesia telah terpapar dengan kondisi fisik bangunan dan infrastrukturnya yang sedikit banyak memiliki kerentanan sebagai cerminan dari sistem dan proses konstruksi sampai saat ini.
Cermin potensi bencana
Potensi bencana gempa pun dapat tecermin dari kerentanan yang ada ini. Suatu kajian risiko bencana sesungguhnya dapat menguantifikasi potensi bencana gempa ini untuk suatu wilayah atau kota tertentu di Indonesia.
Ilmu dan teknologi mitigasi bencana gempa dan tsunami yang saat ini sudah pesat berkembang secara internasional harus cepat diserap dan diaplikasikan dengan penguatan kapasitas pada segala aspek terkait, mulai dari hulu sampai hilir dalam sistem rantai bencana, mulai dari bidang riset rekayasa kegempaan, riset bangunan/infrastruktur tahan gempa, pembaruan berkala peta gempa dan standar bangunan, diseminasi peraturan dan rancangan bangunan tahan gempa, kontrol/pengetatan terhadap izin bangunan (building-enforcement) dalam potensi pelanggaran standar yang disyaratkan, dan selanjutnya pengawasan terhadap konstruksinya yang juga rentan pelanggaran.
Selain itu, perlu penyusunan masterplan PRB dari suatu kajian risiko bencana gempa untuk wilayah/kota, yang secara spesifik merumuskan PRB wilayah/kota terkaji. Semua ini memerlukan ilmu dan teknologi mitigasi gempa. Indonesia harus mengatasi ketertinggalan dari negara-negara yang lebih maju yang sudah lebih awal membangun sistem sehingga lebih awal pula terbangun ketahanan (resilience) terhadap gempa.
Dengan kondisi ketahanan, sudah terbukti di negara yang lebih maju, kerugian yang terjadi terminimalisasi dan bahkan mendapatkan keuntungan dari perlindungan proses investasi PRB yang menelan investasi sangat tinggi. PRB ini perlu lebih mengacu pada kerangka yang telah dikembangkan secara internasional, untuk diprioritaskan dan diimplementasikan Pemerintah Indonesia.
Menurunkan kerentanan bangunan/infrastruktur menjadi tugas pemerintah. Maka, PRB gempa hendaknya juga menjadi prioritas dalam APBN. Perlu dilakukan investasi PRB dan ukuran dari investasi PRB ini dapat dilihat dari rasionya terhadap APBN. Data menunjukkan bahwa investasi PRB di Indonesia sebagai rasionya terhadap APBN masih dipertimbangkan relatif kecil, yaitu di bawah 1 persen.
Persepsi haruslah dibangun bahwa investasi PRB bukanlah beban bagi APBN, melainkan justru mengefektifkan, bahkan dapat memberikan keuntungan (cost-effective) dalam proses pembangunan.
Suatu analisis cost-benefit biaya bencana dan investasi PRB bisa menjadi pendukung dalam meningkatkan investasi PRB ini. Beberapa negara yang telah lebih berpengalaman dalam mengelola bencana gempa menggunakan acuan 10 persen (10%-rule), yaitu investasi PRB 10 persen dari biaya bencana dengan harapan akan didapatkan keuntungan pengeluaran kerugian yang sepuluh kali lebih besar dari investasi yang telah dikeluarkan.
PRB perlu ditingkatkan dan diprioritaskan dalam aspek kesiapsiagaan, riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penguatan kapasitas institusional, hukum, standar nasional, dan aturan-aturan bidang-bidang terkait.
Sebagai evaluasi dari beberapa bencana gempa terakhir di Indonesia, langkah yang perlu dilakukan secara praktis adalah diseminasi peraturan dan pedoman bangunan tahan gempa, pelatihan desain dan konstruksi bangunan tahan gempa secara massal di seluruh kawasan Indonesia.
Langkah lain telah direkomendasikan oleh Asosiasi Ahli Rekayasa Kegempaan Indonesia (AARGI) dalam resolusinya yang dapat dibaca pada link: http://aargi.org. Tanpa atau penundaan upaya-upaya PRB hanya akan menghilangkan atau menunda kesempatan penghematan APBN dari suatu proses mitigasi bencana gempa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar