KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Keluarga korban gempa Palu, Sulawesi Tengah,turun dari pesawat Hercules TNI ketika tiba di Pangkalan Udara TNI AU Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan, Minggu (30/9/2018). Mereka pergi ke Makassar dan sekitarnya untuk bertemu keluarga.

 

Daulat alam sungguh dahsyat dan menggetarkan. Guncangan di darat dan gelegak air di laut membuat warga Palu dan Donggala tak berdaya. Kita kembali berduka.

Gempa berkekuatan 7,4 itu hingga tajuk ini ditulis telah menelan korban lebih dari 832 orang meninggal. Diperkirakan masih ada korban lain yang tertimbun di bawah reruntuhan bangunan dan sapuan tsunami yang mengguncang wilayah Sulawesi Tengah ini, Jumat (28/9/2018) petang.

Dengan penuh rasa sedih dan prihatin, kita mendoakan warga Palu dan Donggala semoga tabah melalui cobaan berat akibat bencana alam yang luar biasa ini. Kita yakin, mereka tak sendirian karena pemerintah dan bangsa Indonesia—bahkan warga bangsa lain—segera bergegas memberikan pertolongan.

Pesawat TNI AU, kapal TNI AL, dan prajurit TNI AD, Kementerian Kominfo, PLN, perusahaan telekomunikasi, turun ke lapangan, memulihkan listrik yang padam, telekomunikasi yang terputus, dan menyalurkan bantuan yang dibutuhkan.

Gempa dan tsunami menyatukan umat manusia di berbagai penjuru dunia, dilandasi oleh kesadaran bahwa mereka tinggal di Bumi yang sama dan sebagian rentan di hadapan bencana alam yang di luar kemampuan manusia untuk mengalahkannya.

Itulah rasa duka yang bergelayut di hati kita sehubungan dengan bencana alam di Sulawesi Tengah. Seiring dengan itu, gempa dan tsunami yang terjadi tidak lama setelah bencana gempa di Lombok, kesadaran kita tentang bangsa yang hidup di Busur Cincin Api, dengan potensi letusan gunung api dan gempa serta tsunami yang tinggi, disegarkan lagi.

Jika menghindar tak bisa, setidaknya kita bisa meminimalkan korban manakala bencana terjadi. Itulah pesan paling kuat yang kita petik dari bencana Sulteng akhir pekan kemarin.

Ilmu pengetahuan, khususnya geologi dan geofisika, sejauh ini belum bisa meramalkan kapan persisnya gempa akan terjadi.

Namun, insan cerdas di bidang ini telah menghimpun data cukup banyak untuk memperkirakan potensi gempa di sejumlah daerah.

Zona subduksi, juga sesar yang punya potensi gempa telah dipetakan, termasuk untuk Palu dan daerah lain di Tanah Air. Pekerjaan rumahnya: melakukan mitigasi, semacam aksi simulasi untuk berlatih menghadapi gempa dan memperkecil risikonya.

Di sinilah kita acap terlalu sibuk dengan urusan rutin sehingga perhatian terhadap risiko bahaya luput dari perhatian.

Idealnya, setelah mendapat peta potensi bencana, dalam skala besar dilakukan tata ulang perkotaan. Jika ini terlalu besar investasinya, harus dilakukan audit konstruksi bangunan, apakah satu bangunan harus dibangun ulang untuk bisa tahan terhadap gempa. Selain itu, sistem peringatan dini tsunami juga harus dipasang dan tak boleh mati, seperti dilaporkan terjadi di Palu.

Dalam suasana hati duka, kita besar hati, masih membaca ada sosok heroik seperti Anthonius Gunawan Agung, petugas Pengendali Lalu Lintas Udara di Palu yang setia menjalankan tugasnya sampai mengorbankan nyawanya sendiri. Duka, rasa hormat, dan pesan itu hidup dalam sanubari sebagai satu kesatuan yang selayaknya hidup dalam alam kesadaran kita.