Sejumlah pelaku usaha perberasan merespons keputusan pemerintah untuk menerapkan label kemasan beras yang mulai efektif 25 Agustus 2018.
Beleid itu tertuang dalam Permendag No 59/2018 tentang kewajiban pencantuman label kemasan beras.
Perusahaan beras diwajibkan menginformasikan pada label tentang merek, kualitas beras (medium dan premium dengan sejumlah syaratnya), serta keterangan campuran varietas.
Ketentuan itu adalah instruksi, tetapi dikecualikan untuk beras yang diperdagangkan curah dan dikemas di hadapan konsumen.
Reaksi para pelaku usaha pun muncul setelah tiga bulan Permendag No 59/2018 itu berjalan. Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), misalnya, mengusulkan agar penerapan peraturan tersebut diundur.
Kalau tidak, kinerja pengusaha beras akan terpapar, dapat memicu kenaikan harga beras. Pertanyaannya, untuk apa pengaturan label beras tersebut dibuat?
Kekacauan merek dagang
Coba observasi ke sejumlah pasar grosir beras, Anda akan tercengang. Beras dioplos di depan toko, terinjak-injak, bercampur pasir/kotoran sebagai suatu pemandangan biasa.
Para pedagang beras mengepak ulang beras untuk berbagai tujuan sehingga dalam kemasan tersebut bercampurlah berbagai kualitas, beras aromatik dan non-aromatik.
Tujuannya antara lain untuk menurunkan tingkat harga atau memperluas pasar.
Sebagian pelaku usaha menggunakan nama varietas padi sebagai merek dagang, misalnya Pandanwangi, Rojolele, atau Tangse. Itu adalah nama varietas padi lokal yang sangat digemari konsumen karena pulen dan aromatik. Konsumen menengah ke atas berani membayar pada tingkat harga lebih tinggi asalkan dia memperoleh beras dengan varietas yang diinginkan.
Keinginan inilah yang dipelintir pelaku usaha untuk merebut hati konsumen, salah satunya dengan mencantumkan merek dagang dengan nama varietas Pandanwangi. Namun, isi kemasannya tidak menggambarkan varietas yang aromatik tersebut karena telah dicampur dengan berbagai varietas lain yang mirip dengan varietas Pandanwangi.
Konsumen sangat dirugikan, mereka tertipu. Demikian juga para produsen benih, petani, peneliti kecele. Mereka tidak memperoleh sinyal atas harga yang terbentuk di pasar. Insentif buat mereka hilang, yang lambat laun akan hilang pula keberadaan varietas itu di bumi Indonesia.
Seharusnya pedagang tidak diperbolehkan mengoplos dan mengemas ulang beras dengan merek baru. Sebab, kemas-mengemas produk pangan, khususnya, seharusnya dilakukan oleh produsen beras, yaitu penggilingan padi.
Sejumlah penggilingan padi (PP) juga mengeluh, tidak berguna mengemas beras dan mencantumkan merek serta mempertahankan kualitas karena banyak pedagang grosir membongkar dan mengemas ulang beras tersebut dengan berbagai tujuan. Seharusnya PP-lah yang bertanggung jawab atas kualitas dan sanitasi produk yang dihasilkannya serta kemurnian varietas atau campuran varietas.
Praktik kurang terpuji itu tidak cocok lagi pada saat sekarang. Konsumen pangan, tidak terkecuali konsumen beras, terutama konsumen berpendapatan menengah ke atas, semakin kritis atas mutu dan rasa beras. Jasa itulah yang belum dipenuhi oleh pelaku usaha perberasan, termasuk penggilingan padi.
Pemerintah sedang melangkah untuk memperbaikinya melalui beleid baru tersebut, walau belum tertata baik untuk tujuan jangka panjang.
Kualitas beras
Sebuah penelitian di sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, awal 1990-an menyimpulkan bahwa konsumen di semua negara sampel lebih menyenangi beras kepala dan beras bening, lebih menyenangi beras pulen (kecuali Bangladesh) dengan kandungan amilosa 20-25 persen.
Konsumen berpendapatan tinggi bersedia membayar beras premium sesuai kualitas beras yang dikehendaki. Sebaliknya, konsumen berpendapatan rendah menyukai beras patah dan pera karena harganya murah.
Penelitian Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) pada 2017 di 13 kota juga memperlihatkan hal yang mirip. Penelitian lain mengungkapkan informasi penting tentang perilaku konsumen beras yang sangat berbeda antara konsumen kaya dan konsumen miskin.
Pada kelompok konsumen berpendapatan tinggi, permintaan beras tidak sensitif perubahan harga, konsumsi per kapita rendah, beras telah menjadi barang inferior, yaitu jumlah konsumsi menurun manakala tingkat pendapatannya meningkat. Pada kelompok ini, konsumen berani merogoh koceknya untuk beras berharga tinggi asalkan mereka dapat memperoleh mutu dan varietas beras yang diinginkan.
Pada kelompok berpendapatan paling rendah, permintaan beras sangat sensitif terhadap perubahan harga, konsumsi beras per kapita tinggi, beras masih sebagai barang normal. Konsumen kelompok ini rentan terhadap perubahan harga.
Mereka kurang mempertimbangkan kualitas dan varietas. Mereka menyukai beras putih, harga murah, walau tekstur nasi pera. Pada kelompok inilah, pemerintah harus berperan memperkuat akses dan menjaga harga terjangkau.
Melihat perubahan tersebut, serta beleid baru pemerintah tentang label, ada beberapa hal yang sebaiknya dipertimbangkan. Pertama, penerapan label dengan pencantuman varietas pada kemasan tak perlu dilakukan untuk semua kualitas atau jenis beras. Pencantuman varietas hanya pada beras tertentu yang sangat disukai konsumen dan harganya mahal, misalnya beras aromatik, seperti Pandanwangi, Rojolele, dan Mentikwangi. Pada beras jenis ini, pemerintah tak perlu campur tangan dalam pengontrolan harga, seperti penetapan harga eceran tertinggi (HET), karena peminatnya orang kaya.
Kedua, pemerintah perlu melarang penggunaan nama varietas padi sebagai merek dagang. Juga perlu dilarang pedagang yang bukan PP melakukan oplos-mengoplos beras. Biarkan tanggung jawab pengemasan dan pelabelan dikerjakan oleh industri PP.
Ketiga, kalau HET tetap dipertahankan, pemerintah cukup mengatur beras putih (kualitas medium dan premium) sesuai ketentuan yang berlaku pada saat sekarang, yaitu kualitas giling dipakai sebagai penentu kriteria mutu beras. Kalau pada kelompok kualitas ini akan diterapkan pencantuman nama varietas, itu akan membuat pelaku usaha, terutama PP kecil/menengah, sangat kesulitan karena ketidaklengkapan alat dan mesin, apalagi kalau harga jual "dipasung" rendah. Kalau dipaksakan, PP kecil/menengah diperkirakan akan berkonsentrasi sebagai produsen untuk beras curah.
Keempat, waktu pelaksanaan label terlalu pendek, hanya tiga bulan, dan minim sosialisasi. Seharusnya regulasi ini dibuat dalam tenggang waktu lebih lama, misalnya 10-12 bulan.
Pelaku usaha perlu cukup waktu untuk menyesuaikan, mengubah kemasan dan pelabelan baru, sehingga kerugiannya tidak terlalu besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar