Ada sebuah pernyataan lama yang menarik sebagai respons atas anggapan bahwa korupsi sudahlah membudaya, yakni "korupsi bukan budaya, sebab kalau korupsi adalah budaya, maka koruptor adalah budayawan…".
Tentu, bahasan pernyataan itu tak sepenuhnya benar, tetapi juga tak seluruhnya dikatakan tak menemukan konteksnya saat ini.
Tulisan Denny Indrayana (Kompas, 18/9/2018), "Kita adalah Koruptor", sebenarnya sangat mewakili perasaan cukup banyak pihak. Korupsi merajalela karena kitalah yang membiarkan. Jika bukan karena kita terlibat secara aktif, kita membiarkannya. Dosa pembiaran yang mungkin memang harus disamakan dengan sebagai pelaku, meski secara pasif.
Menariknya, pada paragraf penutup, Denny Indrayana menuliskan bahwa seharusnya "Koruptor Bukanlah Kita". Pada titik itulah tulisan mengambil porsi.
PKPU, kesadaran antikoruptif
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang berbicara tentang larangan bagi mantan koruptor, pelaku kejahatan terhadap anak dan narkoba—terkhusus perihal antikorupsinya—sebenarnya adalah garis pembeda antara kesadaran antikorupsi dan pembiaran kita atas perilaku koruptif. PKPU ini adalah kesadaran bersama semangat antikorupsi yang harus ditegakkan. PKPU adalah pembeda bahwa hukum yang ada haruslah ditegakkan dengan semangat etik antikorupsi.
PKPU adalah keharusan yang diambil dalam keadaan kondisi legislasi yang tak memiliki keberpihakan pada penegakan hukum dan antikorupsi. PKPU penanda bahwa etika adalah fondasi dari hukum itu sendiri.
Belajar ilmu hukum membuat kita paham bahwa undang-undang, apalagi terkhusus yang penad dengan kepentingan politik semisal UU Pemilu, sering kali bukanlah diambil dalam penalaran filsafati hukum dan etika yang mendalam. Acap kali, hanya lahir dari resultan kepentingan politik. Kepentingan politik yang mengikuti afiliasi politik dan berbagai kebutuhan di dalamnya. Dan, dalam penalaran yang wajar, aturan yang tidak melarang mantan napi koruptor itu adalah bagian dari hal tersebut.
Keanehan penyusun undang-undang bisa diperlihatkan dengan adanya Pasal 169 Huruf d dalam UU Pemilu yang mencantumkan ketentuan bagi calon presiden, "tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya". Ketentuan tersebut jelas mengatakan bahwa khusus bagi calon presiden tidaklah boleh dari mantan terpidana korupsi, sedangkan bagi yang lain boleh.
Padahal, kita mengenal sistem presidensial sebagai ajaran yang menempatkan presiden dan parlemen (DPR dan DPD) adalah pemilik kedaulatan rakyat yang secara langsung diserahkan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Apakah berarti pemilih boleh memilih mantan koruptor untuk anggota parlemen dan tak boleh untuk presiden? Mengapa harus dibedakan syarat antikorupsinya?
Bahkan, kalau pemikiran mendasar itu kita lebarkan lagi, makin menunjukkan betapa naifnya aturan yang tidak mencantumkan larangan bagi para koruptor. Jangankan menjadi pejabat negara, bahkan untuk menjadi pegawai negeri sipil saja diwajibkan dengan adanya ketentuan mengurus surat kelakuan baik maupun syarat tak pernah dipenjara ataupun hukuman kurungan karena melakukan tindak pidana yang diancam dua tahun penjara oleh sebuah putusan hukum yang telah berketentuan tetap. Pegawai negeri sipil harus bersih sebersih-bersihnya, sedangkan calon anggota legislatif boleh tidak?
Bayangkan, betapa naifnya jika itu malah dihilangkan bagi lembaga yang memiliki rekam jejak cukup buruk soal korupsi. Lembaga yang menjadi langganan dari problem koruptif.
Mudah membacanya jika pasal yang membiarkan para mantan napi koruptor menjadi caleg itulah yang tak wajar dan kelihatannya dibuat dalam keadaan koruptif. Jika mau berpikir hukum yang benar, tentu saja pertanyaannya adalah pentingkah "melawan" hukum yang koruptif itu ataukah membiarkannya dengan alasan klasik karena undang-undang mengatakan demikian?
KPU memilih ruang kosong untuk mengisinya dan melakukan perlawanan atas hal tersebut. Bukan karena tak sadar hambatan konsep hukum bahwa mengatur yang berkaitan dengan hak asasi yang seharusnya diatur dalam undang-undang. Malah karena sadar itu, KPU menggeser ketentuannya, dari ketentuan terhadap orang yang akan menjadi caleg menjadi ketentuan terhadap partai supaya tidak mencantumkan caleg yang mantan koruptor. Itulah ijtihad yang saya doakan semoga jika benar mendapatkan dua pahala dan salah mendapatkan satu pahala.
MA, konsisten dalam inkonsistensi
Apa pun itu, Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan. Putusannya sudah kita dapatkan dan dengan jelas memerintahkan pengubahan PKPU tersebut. Putusan itu tentu saja mengikat. Meski sudah diputus secara hukum, bukan berarti tak bisa dibahas secara analisis hukum.
Benarkah MA konsisten? Iya, dalam beberapa hal MA terlihat teramat konsisten di areal inkonsistensi. Sederhananya dalam putusan ini, MA mengangkangi logika berpikirnya sendiri dengan penegasian Pasal 55 UU tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 55 mengatakan bahwa norma UU yang sedang diujikan di MK membuat pengujian ke MA atas aturan yang ada di bawahnya harus dihentikan. Selama ini, MA telah menerapkan secara salah ketentuan Pasal 55 itu. MA dalam beberapa putusan pengujian peraturan di bawah undang-undang, menafsirkan bahwa kata "dihentikan" dalam Pasal 55 merupakan alasan bagi MA untuk mengeluarkan putusan yang mengatakan bahwa pengujian itu terlalu prematur dan karena itu tidak diterima.
Itulah yang diuji oleh beberapa pemohon yang dirugikan dengan ketentuan Pasal 55 dan dibahas detail dalam Putusan MK No 93/PUU-XV/2017.
Putusan MK tersebut sebenarnya sudah membahas cukup detail soal makna kata "dihentikan", sehingga jika ada tafsiran bahwa Pasal 55 itu hanyalah diterapkan jika norma yang diujikan di MA dan MK saling berkaitan sehingga putusan MK bisa memengaruhi putusan MA adalah tidak tepat. Putusan MK itu tidak membedakan antara pasal itu berkaitan atau tidak.
Secara logis pun dalam beberapa pengujian di MK, yang diuji cuma satu pasal, tetapi bukan berarti tidak bisa MK menghapus keseluruhan undang-undang.
Apakah kemudian dibiarkan tidak dihentikan di MA jika di MK malah menghapus keseluruhan undang-undang? Itulah alasannya mengapa di MA harus dihentikan dan bukan hanya dihitung berdasarkan berkaitan atau tidak.
Namun, tentu saja bukan itu yang amat pokok karena itu berkaitan soalan teknis. Perdebatan besarnya adalah bagaimana mungkin untuk alasan prosedural pengujian PKPU, MA menerabas aturan formal, sedangkan untuk PKPU dihadapi dengan ketentuan yang sangat formalistik? Tentu saja tulisan ini tak ingin mengatakan bahwa MA pro kepada para koruptor dengan memutus seperti itu. Namun, setidaknya, terlihat sense etik penegakan hukum yang lebih antikorupsi tak tampak. Rasa pembiarannya terasa. Padahal, kita paham bahwa salah satu filsafat klasik hukum adalah yang mengatakan bahwa etika adalah fondasi dari hukum itu sendiri.
Mari bertamasya kembali ke perdebatan klasik antara aliran filsafat hukum alam dan positivisme. Dua mazhab yang sangat tua dalam perkembangan ilmu hukum. Sentuhan ketuhanan dan akal dalam versi hukum alam yang mengejawantah menjadi aliran yang "irasional" maupun "rasional" dalam hukum alam selalu mengidealkan ajaran etika dan moral sebagai pelengkap dalam konsep keadilan bagi hukum.
Berbeda dengan positivisme yang memandang hukum tanpa terlalu banyak memperhitungkan moral dan etika. Jeremy Bentham sebagai salah seorang pemikir utamanya memandang hukum bukanlah refleksi moral dan etika sehingga hanya dipaksakan berdasarkan kesadaran etis manusia, tetapi hukum adalah perintah langsung dari penguasa yang berdaulat, pola relasi kontraktual rakyat dengan penguasa. Dengan begitu, menghilangkan pendekatan metafisis yang abstrak.
Begitu pula Austin dan pelanjut pemikir hukum positivisme. Termasuk Kelsen yang kemudian dengan pure theory of law-nya memandang hukum sebagai suatu yang ajek dan kemudian ia postulatkan harus diperjenjangkan secara hierarkis. Adagium yang kemudian terkenal dengan hukum yang disusun ke atas dan ke bawah tak boleh bertentangan secara hierarkis.
Saya tentu saja tidak berdiri di posisi yang harus menolak positivisme hukum ataupun sebaliknya. Saya menerima keduanya sebagai aliran pemikiran hukum. Namun, yang sulit saya bayangkan adalah betapa terasa aroma inkonsisten dan pragmatis kita dalam penggunaannya.
Jika Pasal 55 UU MK dan putusan MK tentang itu sendiri kemudian diterabas dengan kesadaran etik bahwa ada sesuatu yang lebih besar mau dicapai, mengapa hal yang sama tak dilakukan untuk isi PKPU? Mengapa perlakuan antara proses pengujian dan materi yang diuji berbeda, dan pembedaan itu pun tanpa alasan yang jelas. Sederhananya, mengapa untuk Pasal 55 UU MK para hakim MA memilih untuk menjadi "tempe", sedangkan untuk PKPU memilih untuk menjadi "tahu".
Problemnya adalah ketidakkonsistenan penerapan hukum. Dan gejala ini sangat terlihat banyak di hakim maupun para scholar hukum. Dalam putusan MK pun sering kali MK melakukan hal yang sama, tanpa konteks dan penjelasan yang memadai mengapa di satu sisi harus diterabas, sedangkan di lain sisi tak boleh diterabas. Padahal, di situlah efek kuat yang diharapkan dari suatu penemuan hukum. Hukum yang lebih preskriptif, menyelesaikan masalah yang tentu dengan memandang konsep negara hukum Indonesia.
Harus diingat, konsep "Indonesia adalah negara hukum" yang dimaksudkan dalam penyusunan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945, bukanlah negara hukum dalam artian perundang-undangan atau aturan (formal), tetapi juga rasa keadilan yang hidup dan tumbuh di masyarakat (material). Dan di situlah tuntutan bagi adanya memperlihatkan ajaran etik dan moral yang terkandung dalam aturan, sebagai konsep yang antikorupsi.
Mereka bukan kita
Dalam konteks perang yang masif terhadap perbuatan koruptif, kita harus berani untuk mengatakan bahwa mereka bukan kita. Bukan karena kita merasa tidak pernah membuat kesalahan. To err is human, pernyataan yang kita semua pahami. Namun, tatkala sudah berjanji di hadapan publik untuk tidak merusak lalu melakukan tindakan koruptif, saya sepenuhnya yakin bahwa ia tidak pantas untuk menduduki kembali jabatan publik. Ia harus diberi jarak untuk jabatan publik tersebut.
Silakan untuk berpikir selamanya atau diberikan batasan waktu yang wajar buat mereka kembali berkontestasi dalam jabatan publik yang salah satu cirinya tentu saja adalah kepercayaan publik.
Jika pembentuk undang-undang tidak mencantumkan hal tersebut, penting bagi lembaga negara lainnya untuk menegaskan dan menjadikan monumen serta momentum kuat bagi publik. Sayangnya, kesempatan tak diambil dan mereka membiarkannya. Pembiaran itu bukan karena kita. Kitalah yang harus menegaskan kembali dalam pilihan di tempat pemungutan suara. Jangan memilih mereka di surat suara. Karena koruptor bukanlah kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar