PHOTO BY OLI SCARFF / AFP

Kelompok Anti-Brexit membawa bendera Uni Eropa melakukan aksi protes di depan tempat berlangsungnya Conservative Party Conference 2018, di Birmingham, Senin (1/10/18).

Kongres Partai Konservatif akan menentukan bukan hanya masa depan Brexit, melainkan juga masa depan Perdana Menteri Inggris Theresa May.

Acara tahunan Partai Konservatif di Birmingham yang berlangsung sejak Minggu (30/9/2018) itu merupakan ajang berat yang harus dihadapi May. Ia harus menghadapi lawan-lawan dari partainya sendiri pada saat dirinya sangat membutuhkan dukungan dan dibayangi tenggat negosiasi dengan Uni Eropa.

Berdasarkan jadwal yang sudah disepakati bersama, pada Oktober seharusnya Inggris dan UE sudah memiliki kesepakatan final Brexit yang kemudian akan diratifikasi oleh setiap parlemen. Kesepakatan ini akan menentukan masa depan relasi Inggris-UE yang akan keluar dari blok pada 29 Maret 2019.

Namun, jangankan kesepakatan final, bahkan di antara para politisi Inggris sendiri pun terjadi perpecahan yang sudah mengarah pada krisis kepemimpinan. Pemerintah Inggris sudah menyusun proposal Brexit bertajuk "Chequers". Namun, kubu hard Brexit di Konservatif menganggap proposal itu masih tetap menjadikan Brussels sebagai "tuan" London. Sebaliknya, kubu soft Brexit menganggap proposal itu akan membuat masa depan Inggris suram karena semakin menjauh dari UE.

Kubu oposisi, Partai Buruh, menolak Brexit tanpa kesepakatan karena berisiko besar terhadap masa depan pekerjaan ataupun kesejahteraan pekerja Inggris. Partai Buruh menegaskan, jika terjadi pemungutan suara di parlemen atas Chequers, mereka akan menolak.

Bagaimana dengan Uni Eropa? Chequers dinilai hasil pemikiran yang pilih-pilih alias mau enaknya tanpa mau berbagi tanggung jawab. UE menolak sebagian isi Chequers, khususnya terkait perbatasan dan persyaratan pasar tunggal Eropa.

Dengan peta seperti itu, bisa dikatakan hampir semua pihak terkait menolak proposal Chequers. Namun, PM May bergeming karena ia yakin hanya proposal itulah yang paling mungkin dijalankan. May meminta semua pihak untuk menerima proposal Chequers atau Brexit berakhir tanpa kesepakatan. Bagi May, lebih baik tidak ada kesepakatan daripada menyetujui kesepakatan yang buruk.

Situasi ini menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran para pebisnis ataupun warga Inggris akan masa depan mereka. Karena itu, muncullah gagasan akan perlunya referendum kedua Brexit ataupun gagasan pemilu dipercepat.

Namun, Pasal 50 Traktat Uni Eropa sudah menyatakan, Inggris akan keluar dari blok ini pada 29 Maret tahun depan dengan atau tanpa kesepakatan. Artinya, sudah tak ada waktu lagi untuk menyelenggarakan referendum ataupun pemilu. Energi yang ada saat ini lebih baik difokuskan untuk mencari kesepakatan terbaik dengan UE. Karena jika itu tak terwujud, dampaknya akan buruk bagi ekonomi kedua belah pihak.