KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pramuniaga melayani konsumen yang akan menukarkan uang di salah satu money changer di Jakarta, Jumat (5/10/2018). Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, kurs tengah rupiah melemah ke posisi Rp 15.182 per dolar AS.

Terus tertekannya nilai tukar rupiah belakangan ini menunjukkan, meski memiliki fundamental makroekono- mi kuat, kita masih rentan terhadap tekanan eksternal atau faktor global.

Oleh karena itu, mengatasi sumber utama kerentanan menjadi jawaban logis agar ke depan Indonesia lebih resisten dan berdaya tahan dalam menghadapi kemungkinan gejolak ekonomi/keuangan global serupa. Dalam hal ini, semua pihak sepakat, mengatasi problem struktural defisit transaksi berjalan menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Rentannya rupiah sekarang ini karena kita selama ini tak all out mengatasi defisit transaksi berjalan yang lima tahun terakhir menghantui ekonomi.

Selama ini tak diatasi, Indonesia rentan penarikan modal dan menjadi obyek spekulasi. Artinya, kita harus membenahi neraca perdagangan dan neraca modal. Menekan defisit artinya untuk saat ini kita juga tidak boleh "lebih besar pasak daripada tiang" secara berlebihan dalam situasi global yang tengah bergejolak.

Dari berbagai paparan pakar serta lembaga, seperti Bank Dunia dan IMF, pemerintah dinilai sudah bereaksi cepat, tegas, dan terkoordinasi menghadapi berbagai tekanan ini. Mereka juga mengapresiasi kehati-hatian pemerintah dalam mengelola ekonomi. Namun, ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang belum kita tuntaskan, yang membuat kita tak mampu memaksimalkan potensi yang kita miliki dan rentan terhadap gejolak global.

Termasuk di antaranya terkait ekspor dan juga dalam mengurangi ketergantungan pada sumber-sumber pembiayaan dari luar dan arus portofolio jangka pendek. Menggenjot ekspor tak bisa hanya dengan mengandalkan struktur dan komposisi ekspor yang ada selama ini, tetapi harus dengan memperbaiki daya saing secara keseluruhan dan mengatasi lebih serius deindustrialisasi.

Terus menyusutnya pangsa manufaktur terhadap PDB, dominasi komoditas primer dan produk setengah jadi bernilai tambah rendah dalam komposisi produk ekspor, ketergantungan sangat besar ekspor pada bahan baku dan barang modal impor, rendahnya kontribusi dalam rantai pasok global, serta ketergantungan pada pasar tujuan ekspor tradisional adalah indikasi deindustrialisasi yang membuat ekspor sulit melaju.

Itu semua pekerjaan rumah yang kita abaikan karena deindustrialisasi sudah berlangsung 20 tahun terakhir dan efeknya kita tertinggal dari negara-negara lain. Reformasi struktural kata kuncinya.

Dari sisi neraca modal, kita kalah dibandingkan negara-negara tetangga dalam menarik investasi asing langsung dan mengurangi ketergantungan pada arus portofolio. Kita juga belum maksimal menggenjot pasokan devisa dari pariwisata dan remitans. Kita juga kurang menggali sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, baik dari pajak maupun investasi, dengan cara memperluas basis investor domestik dan pendalaman pasar keuangan.

Menghadapi tekanan yang masih akan berlangsung beberapa waktu ke depan, terutama akibat kenaikan bunga AS, memanasnya perang dagang AS-China, serta naiknya harga minyak mentah, tetap perlu langkah jangka pendek. Di antaranya, kebijakan konversi devisa ekspor, mengoptimalkan instrumen lindung nilai dan fasilitas swap bilateral/regional, serta berbagai terobosan dalam inovasi produk ekspor dan perluasan pasar.