Tidak dipungkiri, normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat telah mendorong investasi portofolio keluar dari sebagian besar negara emerging market, termasuk Indonesia. Namun, di sisi lain, dampak perang dagang Amerika Serikat dan China berdampak positif terhadap peningkatan aliran investasi langsung asing ke kawasan Asia. Pasalnya, proteksi AS akan menekan produksi China, serta retaliasi dari China akan menghambat laju produktivitas AS.
Padahal, AS dan China merupakan pangsa pasar terbesar perdagangan dunia. Sebagai contoh, AS adalah salah satu konsumen suku cadang mobil terbesar di dunia. Oleh karena itu, sebagian investor otomotif meningkatkan investasinya di Thailand agar tetap dapat mengisi pasar Amerika. Investasi di Vietnam dan Malaysia untuk produk elektronika seperti telepon seluler dan komputer jinjing naik. Pertumbuhan ekonomi Vietnam mampu di atas 6,6 persen secara tahunan.
Sementara, realisasi investasi di Indonesia pada triwulan III-2018 sebesar Rp 173,8 triliun atau turun 1,6 persen secara tahunan. Bahkan, penanaman modal asing (PMA) hanya Rp 89,1 triliun, turun 20 persen dalam setahun. Memang, secara agregat, pada Januari-September 2018 masih Rp 535,4 triliun atau naik 4,3 persen secara tahunan. Sayang, hanya penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang naik dari Rp 194,7 triliun menjadi Rp 241.7 triliun, sedangkan PMA turun dari Rp 318,5 triliun menjadi Rp 293,7 triliun.
Pada triwulan III-2018, total PMA yang masuk ke Indonesia 6,01 miliar dollar AS, sementara Filipina 0,75 miliar dollar AS, Vietnam 2,32 miliar dollar AS, Thailand 2,79 miliar dollar AS, dan Malaysia 0,68 miliar dollar AS. Persoalannya, kendati PMA Indonesia terbesar, namun kontribusi PMA terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif kecil. Porsi PMA di Indonesia terhadap PDB sekitar 25 persen. Padahal, Malaysia mencapai 40,6 persen, Thailand 44,7 persen, dan Vietnam 50,5 persen.
Bahkan, Indonesia justru menghadapi defisit transaksi berjalan 8,8 miliar dollar AS atau 3,37 persen PDB. Dari defisit itu, 90 persen disumbang pendapatan primer yang mencapai 8,03 miliar dollar AS, antara lain akibat kebutuhan repatriasi devisa untuk memenuhi kewajiban dividen ke negara asalnya.
Di sisi lain, PMA yang masuk ke negara-negara ASEAN lain berkontribusi memperbesar ekspor. Malaysia, Thailand, dan Vietnam membangun kawasan industri yang mempermudah PMA masuk ke sektor industri manufaktur.
Hasilnya, ekspor produk manufaktur Vietnam mencapai 79 persen dan Malaysia 73 persen. Sementara, realisasi PMA di Indonesia pada Januari-September 2018 justru bergeser ke sektor tersier atau sektor jasa. PMA pada sektor tersier mencapai Rp 138,8 triliun atau tumbuh 17 persen. Sementara, pada sektor sekunder sebesar Rp 106,4 triliun atau turun 24 persen dan sektor primer Rp48,6 triliun atau turun 20 persen.
PMA tidak tertarik masuk ke sektor manufaktur akibat persoalan kepastian regulasi dan tekanan ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Hal ini terlihat dari peringkat kemudahan berusaha 2019 yang dirilis Bank Dunia. Indonesia turun dari posisi 72 ke 73, disalip Vietnam yang kini di peringkat 69. Ditambah lagi, Indeks Kinerja Logistik (Logistic Performance Index/LPI) Indonesia di peringkat 46. Meskipun membaik dari posisi 63, namun belum mampu bersaing dengan Thailand 32, Vietnam 39, dan Malaysia 41. Penyebabnya antara lain masalah waktu tunggu barang impor keluar dari pelabuhan yang sangat lama.
Dari ilustrasi dua data tersebut, sangat mudah ditarik kesimpulan bahwa kendala utama investasi asing masuk ke Indonesia akibat ketiadaan kepastian regulasi dan inefisiensi dalam perekonomian Indonesia. Persetujuan investasi yang tercermin dalam laporan kegiatan penanaman modal (LKPM) pada Januari-Desember 2017 mencapai Rp 1.836,5 triliun, dengan PMA mencapai Rp 906,3 triliun. Akan tetapi, realisasi total investasi hanya Rp 692,8 triliun atau 37,7 persen.
Artinya, upaya yang sangat dibutuhkan adalah menghilangkan berbagai kendala realisasi investasi. Dengan demikian, paket stimulus XVI yang berisi perluasan fasilitas tax holiday, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan kewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) belum tentu menjawab berbagai kendala investasi tersebut. Kepemilikan saham 100 persen tidak akan menjamin daya tarik investasi jika ketersediaan infrastruktur dasar tidak memadai dan kompetitif.
Perluasan DNI bisa jadi tetap menarik investor, tapi hanya ke bidang usaha di sektor jasa yang tidak memerlukan dukungan infrastruktur yang kompleks. Dalam jangka pendek, berpotensi besar menarik dana masuk yang akan menambal defisit transaksi berjalan. Dengan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja yang rendah, justru berpotensi memberikan tekanan terhadap defisit transaksi berjalan berkepanjangan.
Pada era 1990-an, perekonomian Indonesia mampu tumbuh di atas 7 persen karena kontribusi industri manufaktur yang pernah tumbuh dua angka. Mestinya, berbagai insentif investasi difokuskan saja pada akselerasi industri manufaktur. Insentif untuk hilirisasi industri yang berbasis kelapa sawit dapat langsung direalisasikan pada Kawasan Ekonomi Khusus yang telah ditetapkan.
Fasilitas ekspor juga tidak hanya terbatas pada fasilitasi impor untuk produk berorientasi ekspor. Mestinya penangguhan pajak diberikan kepada seluruh produk ekspor, apalagi yang tidak berbahan baku impor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar