Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 menyatakan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik (parpol). Adapun Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 tanggal 25 September 2018 sebaliknya menyatakan calon anggota DPD boleh berasal dari parpol.
Dua keputusan ini membuat KPU sebagai pelaksana pemilu mengalami ambivalen dalam hal mencoret calon anggota DPD yang berasal dari parpol. Dalam hal ini Oesman Sapta Odang (OSO), yang merupakan Ketua DPD dan ketua parpol Hanura, telah dicoret namanya oleh KPU dari daftar calon tetap (DCT) DPD Pemilu 2019 berdasarkan putusan MK.
Belakangan muncul putusan MA yang membolehkan calon DPD yang berasal dari parpol. Maka, OSO meminta KPU untuk memasukkan namanya ke dalam DCT berdasarkan putusan MA tersebut.
Yurisprudensi Pemilu 2009
Untuk menyikapi ini, KPU perlu menoleh ke belakang pada sejarah Pemilu 2009, di mana terdapat pula peristiwa serupa: MK dan MA membuat putusan berseberangan, yakni MA mengeluarkan Putusan Nomor 15P/HUM/2009 terkait pengujian PKPU Nomor 15 Tahun 2009 Tata Cara Penghitungan Suara dan Penetapan Kursi; MA menyatakan ketentuan terkait tata cara penetapan perolehan kursi DPR dan DPRD bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Namun, ajaibnya, tidak berselang lama, MK juga mengeluarkan putusan bahwa Pasal 204 dan Pasal 212 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menjadi dasar pembentukan PKPU Nomor 15 Tahun 2009 adalah konstitusional bersyarat.
Pada saat itu, KPU memilih untuk menggunakan putusan MK dalam menetapkan kursi calon terpilih pada Pemilu 2009. Alasannya karena putusan MK yang lebih kuat karena levelnya setara dengan UU, sedangkan putusan MA hanya menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU. Hingga hari ini sikap KPU untuk taat pada putusan MK pada Pemilu 2009 tak dipersoalkan, bahwa dianggap tepat pada saat itu.
Lalu bagaimana dengan Pemilu 2019 yang juga terdapat dua putusan berbeda antara MK dan MA? Jika sejarah Pemilu 2009 sebagai yurisprudensi, sikap KPU yang paling tepat adalah mengikuti putusan MK yang melarang calon anggota DPD berasal dari parpol. Dengan demikian, KPU tidak memasukkan OSO sebagai calon anggota DPD di DCT adalah paling tepat, karena dalam desain ketatanegaraan pasca-amendemen UUD 1945 dalam Pasal 22C dan 22D tegas dinyatakan bahwa DPD adalah representasi daerah yang keanggotaannya berasal dari jalur perseorangan dan DPR adalah representasi politik yang keanggotaannya berasal dari jalur partai politik.
Uji materi satu atap
Kehadiran dua putusan uji materiil antara MA dan MK yang bertolak belakang ini salah satunya dipicu oleh pembagian jalur pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Situasi di mana MK berwenang menguji UU terhadap UUD, dan MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Mekanisme semacam ini tidak tepat karena rawan munculnya putusan yang saling menegasikan sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, ke depan perlu segera ditata ulang mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu atap lembaga peradilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar