Tak heran Presiden Amerika Serikat Donald Trump gencar menabuh genderang perang (dagang) dengan China. Lebih dari separuh (66,3 persen), dari seluruh defisit neraca perdagangan AS, berasal dari China.

Dengan Uni Eropa (UE), AS juga defisit 151,3 miliar dollar AS, meskipun dengan beberapa negara anggota UE, AS mengalami surplus. Dengan Belanda, misalnya, AS surplus 23,7 miliar dollar AS. Bahkan, dengan Hong Kong, yang merupakan bagian dari China, neraca perdagangan AS juga surplus 32,5 miliar dollar AS.

Selain dengan China dan UE, neraca perdagangan AS juga defisit dengan Meksiko (70,9 miliar dollar AS); Jepang (68,8 miliar dollar AS); Korea Selatan (23,1 miliar dollar AS); India (22,9 miliar dollar AS); Kanada (17 miliar dollar AS); Indonesia (13,3 miliar dollar AS); Rusia (10 miliar dollar AS); dan Israel (9,3 miliar dollar AS). Selain dengan Hong Kong dan Belanda, AS juga surplus terhadap Australia  (14,4 miliar dollar AS); Singapura (10,4 miliar dollar AS); Brasil (7,7 miliar dollar AS); Argentina (4,8 miliar dollar AS), dan Inggris (3,1 miliar dollar AS). Total surplus neraca perdagangan AS ini terlalu kecil untuk bisa menutup seluruh defisit.

Defisit 566 miliar dollar AS itu gabungan antara perdagangan produk barang dan jasa. Jika produk jasa dikeluarkan, defisit AS melambung ke 810 miliar dollar AS. Perdagangan produk jasa berkontribusi memperkecil defisit 43,1 persen dari seluruh defisit perdagangan barang dan jasa AS. Itu indikasi sebaiknya AS lebih berkonsentrasi ke jasa dalam berdagang dengan negara-negara dunia, terutama China.

Keunggulan China dan kelemahan AS

China ibarat keluarga besar, yang selama puluhan tahun telah bekerja keras dalam sistem komunis, tetapi tetap hidup susah. Ketika perekonomian membaik, kebiasaan kerja keras dan hidup susah ini sulit berubah. Mereka tetap kerja keras. Uang yang mereka dapatkan bukan untuk senang-senang, melainkan mereka investasikan ke bisnis baru, atau mereka gunakan untuk membangun sarana/prasarana.

Dulu China bahkan pernah kelaparan. Dekade 1960-an, ada anekdot, Ketua Partai Komunis China Mao Zedong mengirim telegram ke PM Uni Soviet Nikita Khrushchev, meminta bantuan gandum. Khrushchev bukannya mengirim gandum, melainkan ikat pinggang, dengan telegram "pakai ikat pinggang ini seketat mungkin".

Tahun 1961, penduduk China 682,7 juta jiwa; produksi gandum 14,2 juta ton. Tahun 1970 populasi 843,6 juta jiwa dengan produksi gandum 29,1 juta ton. Pada 1980 populasi 1 miliar, produksi gandum 55,2 juta ton. Tahun 1990 populasi 1,19 miliar, gandumnya 98,2 juta ton. Tahun 2000 populasi 1,31 miliar, gandum 99,6 juta ton. Tahun 2010, penduduk 1,39 miliar, gandum 115,1 juta ton. Dan 2016, populasi 1,43 miliar, produksi gandum 131,6 juta ton.

Selain gandum, China juga menanam padi dengan produksi 1961 sebesar 56,2 juta ton. Tahun 1970 naik dua kali lipat lebih menjadi 113,1 juta ton. Tahun 1980 sebesar 142,8 juta ton. Tahun 1990 melambung lagi menjadi 191,6 juta ton. Tahun 2000 turun sedikit ke 189,8 ton. Tahun 2010 naik ke 197,2 ton, dan 2016 tembus 211 juta ton. Produksi padi selalu lebih tinggi daripada gandum. Dari dua komoditas pangan ini, praktis penduduk China tak akan kelaparan seperti pada dekade 1960. Namun, itu ternyata tidak cukup. China juga produsen kentang dan ubi jalar tertinggi dunia. Hasil kentang 2016 sebesar 99,1 juta ton. Ubi jalar 70,6 juta ton.

Dominasi China dalam produksi gandum, padi, dan kentang tak terlalu mencolok dibanding negeri lain penghasil komoditas ini. Produksi gandum China hanya  17,5 persen dari produksi dunia. Padi jauh lebih besar, 28,2 persen dari total produksi dunia. Namun, kentang yang 99,1 juta ton, sudah 67,1 persen dari total produksi dunia. AS dengan produksi kentang 20 juta ton hanya berkontribusi 5,3 persen dari total produksi kentang dunia. Jadi, kalau harga kentang China menjadi yang termurah di dunia, itu wajar. Kalau kentang murah ini kemudian mengalir ke AS, itu juga wajar.

Sebenarnya, AS tak hanya mengandalkan "perang dagang" mereka dari produk teknologi tinggi seperti pesawat terbang, satelit, dan persenjataan modern. Mereka juga punya produk budaya dari Hollywood, dan macam-macam franchise restoran. Dunia digital sebagai hibrida teknologi tinggi dan budaya juga didominasi AS. Mereka antara lain punya Microsoft, Google, Facebook, dan Twitter. Meskipun unggul dalam teknologi tinggi, AS tetap tak melupakan gandum, jagung, kedelai, kacang tanah, dan para koboi mereka juga masih setia menggembalakan sapi.

Produksi gandum AS 55,1 juta ton, memang hanya nomor lima dunia setelah UE, China, India, dan Rusia. AS hanya membudidayakan padi dalam skala sangat terbatas dengan produksi 10,1 juta ton. Produksi jagung AS 361,1 juta ton, terbesar di dunia. Urutan kedua China 215,6 juta ton. Produksi kedelai AS juga tertinggi di dunia, 103,4 juta ton, ditempel ketat Brasil dengan 103 juta ton atau hanya selisih 400.000 ton. Dulu AS dikenal sebagai produsen kacang tanah utama dunia, hingga salah satu petaninya bisa jadi presiden. Kini AS hanya peringkat keempat dengan produksi 2,6 juta ton. Kalah dari Nigeria 3 juta ton; India 6,9 juta ton; dan China 16,6 juta ton.

AS dan China sama-sama penghasil babi, tetapi China lebih unggul. Populasi babi di AS hanya 67,7 juta ekor, di China 474,1 juta ekor. Untuk sapi, sebagai negeri koboi, sekarang AS hanya peringkat keempat dunia dengan populasi 35,3 juta ekor. China 41 juta, Brasil 49 juta, dan India 58,8 juta ekor. Namun, sebagai penghasil daging sapi, AS unggul dengan volume 11,7 juta ton, disusul Brasil 9,3 juta ton, UE 7,9 juta ton, China 5,5 juta ton, dan Argentina 2,8 juta ton.

Budaya konsumtif salah satu kelemahan AS. Meski penghasil daging sapi terbesar dunia, sebagian besar produksi itu mereka konsumsi sendiri. AS hanya peringkat keempat dunia sebagai pengekspor daging sapi, di bawah Australia, India, dan Brasil. India, meski pemilik sapi terbanyak dunia, konsumsi daging sapinya paling rendah di dunia. Mayoritas penduduk India pemeluk Hindu, dan sapi merupakan hewan suci dalam kepercayaan agama tersebut.

Neraca perdagangan Indonesia

Seperti halnya AS, neraca perdagangan Indonesia dengan China juga defisit. Nilainya 12,6 miliar dollar AS. Tahun 2017, ekspor Indonesia ke China 23 miliar dollar AS, impornya 35,7 miliar dollar AS. Beruntunglah, neraca perdagangan Indonesia selama 2017 tak jeblok. Kita surplus 11,8 miliar dollar AS, naik dari 2016 yang 9,5 miliar dollar AS. Tahun 2015 juga surplus 7,6 miliar dollar AS, dan 2015 inilah tonggak surplusnya neraca perdagangan kita, karena 2014 kita masih defisit 2,1 miliar dollar AS. Tahun 2013 defisit 4 miliar dollar AS. Indonesia bisa terbebas dari defisit perdagangan karena dua hal.

Pertama, impor migas kita memang terpangkas banyak. Tahun 2013 kita impor migas 45,2 miliar dollar AS; turun menjadi 43,4 miliar dollar AS pada 2014; 2015 turun lagi ke 24,6 miliar dollar AS; 2016 turun drastis tinggal 18,7 miliar dollar AS; meski 2017 naik lagi ke 24,3 miliar dollar AS. Turunnya nilai impor migas Indonesia 2013-2017 sebesar 18,8 persen antara lain akibat pembubaran Petral pada 13 Mei 2015. Kedua, surplus neraca perdagangan Indonesia juga didapat dari penurunan impor nonmigas 2013-2017, meskipun hanya 2,6 persen. Impor nonmigas kita 2013 sebesar  142,3 miliar dollar AS; 2014 turun ke 134,7 miliar dollar AS; 2015 turun lagi menjadi 118 miliar dollar AS; 2016 turun ke 116,9 miliar dollar AS; dan 2017 naik ke 132,6 miliar dollar AS.

Sayangnya, perubahan neraca perdagangan Indonesia dari minus menjadi surplus selama 2013-2017 belum disebabkan oleh peningkatan ekspor nonmigas secara signifikan. Tren ekspor nonmigas 2013-2017 justru turun meskipun hanya 0,58 persen. Untunglah penurunan dari 149,9 miliar dollar AS (2013); menjadi 145,9 miliar dollar AS (2014); lalu 131,7 miliar dollar AS (2015) dan 132 miliar dollar AS  (2016); berhenti pada 2017. Pada 2017 angkanya naik menjadi 153 miliar dollar AS. Tren positif 2017 ini berlanjut pada 2018. Januari-September 2017 ekspor nonmigas 111,9 miliar dollar AS; Januari-September 2018 naik menjadi 122,3 miliar dollar AS (9,29 persen).

Lambatnya percepatan kenaikan ekspor nonmigas terutama disebabkan faktor teknis administratif yang masih ruwet. Selain juga faktor sarana/prasarana yang di Jawa pun belum semua baik. Di lain pihak, khususnya untuk komoditas pertanian, kita belum benar-benar siap masuk ke pasar global. Contohnya, mengurus jagung pun kita masih terseok-seok, hingga akhir 2018 terpaksa harus impor 100.000 ton. Ini mirip buah simalakama. Diimpor bisa berdampak ke neraca perdagangan; tidak impor peternak dan konsumen telur/daging unggas akan berteriak.

Seharusnya malu

Kalau Indonesia mengimpor bawang putih dari China, sangat bisa dimaklumi. China penghasil bawang putih utama dunia, dengan produksi 21,2 juta ton, atau 79,6 persen dari total produksi bawang putih dunia dengan volume 26,6 juta ton. Dampak dari serbuan bawang putih murah China, sentra bawang putih di Kabupaten Tegal, Magelang, dan Karanganyar di Jawa Tengah hilang berganti komoditas lain. China bisa disebut "mother earth" bagi bawang putih. India peringkat kedua, dengan produksi 1,4 juta ton, disusul Bangladesh 0,38 juta ton, serta Mesir dan Korea Selatan masing-masing 0,28 juta ton.

Menjelang Imlek, jeruk keprok China rutin membanjiri pasar Indonesia. Ini juga lumrah. China produsen jeruk keprok utama dunia dengan volume 12,4 juta ton. Nama jeruk ini di pasar dunia juga the Mandarin Orange, jelas menunjukkan negeri asalnya. Namun, bagaimana jika tiba-tiba pisang China masuk Jakarta? Jangan kaget, sekarang China penghasil pisang kedua terbesar setelah India, dengan produksi 13,1 juta ton. Kita hanya peringkat kelima dengan 7 juta ton. Apel yang kita impor, sekarang bukan dari AS, melainkan dari China. Produksi apel China 44,4 juta ton, terbesar di dunia. AS peringkat kedua 4,6 juta ton, hanya 10,3 persen dari produksi China.

Akan tetapi, kalau sampai wortel dan cabai kita impor dari China, itu memalukan. China juga produsen wortel dan cabai utama dunia, produksi wortel 20,5 juta ton atau 48 persen dari total produksi dunia. Produksi cabai China 16,1 juta ton, atau 48,4 persen dari total produksi cabai dunia. Mereka lebihkan produksi wortel dan cabai 1 persen saja, dan dilempar ke Indonesia, harga wortel dan cabai lokal akan jatuh. Di sinilah perlunya proteksi. Proteksi tak harus berupa hambatan pengenaan tarif masuk. Bisa saja hambatan berupa insentif kepada petani yang berprestasi.

Yang paling parah, ketika pas panen bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, masuk bawang merah dari China. Secara administratif ini tak salah. Bawang merah China masuk ke Indonesia sebagai "benih". Namun, bawang merah yang besar-besar itu kemudian dijual di pasar tradisional sebagai bawang konsumsi.
Harga bawang merah di tingkat petani langsung ambruk. Saat itulah para tengkulak sebagai tangan panjang perusahaan besar produsen bahan pangan yang menggunakan bawang merah goreng memborong hasil petani dengan harga sangat murah.

Selama ini kita lalai tak terlalu jeli "membaca" hikmah dari perang dagang AS-China. Perang itu, dengan strategi dan senjata apa pun, tetap akan dimenangi China, kecuali AS mau mengerem laju konsumerisme rakyatnya. Atau, dengan menggenjot ekspor produk jasa, yang selama ini sudah terbukti mampu berkontribusi memperkecil defisit perdagangan dari 810 miliar dollar AS menjadi 566 miliar dollar AS. Trump, tanpa direm oleh parlemen, akan membabi buta membabat arus produk barang dari China. Dampaknya, rakyat AS yang semula bisa membeli produk murah China akan keluar uang lebih banyak lagi karena harus menanggung bea masuk lebih tinggi.

F Rahardi Pengamat Pertanian

Kompas, 27 November 2018

#kompascetak 

#opinikompas