Politik elektoral telah membuat ruang sosial kian mencemaskan. Apa pun dipolitisasi. Simbol, identitas, ujaran, bahkan posisi duduk atau berdiri pun bisa dipersoalkan dalam politik. Menurut Sam Kriss (2016), nafsu kekuasaan mendesak orang memikirkan sesuatu yang tak benar menjadi seolah-olah benar.
Kehadiran media sosial menjebol tanggul keberadaban dan menyeret evolusi sosial mundur ke masa lalu ketika manusia, dalam perspektif Hobbesian, dikuasai naluri animalis untuk saling memangsa. Meski juga mengandung impresi baik, katakanlah sebagai pratanda kebangkitan "ruang publik politik" yang dimaksud filsuf Jerman, Habermas (1987, 1989), media sosial terbukti membawa berkat dan laknat bersamaan.
Di ujung abad lalu, diskursus politik masih berkutat soal "kegentingan moral", lalu mencari jawaban siapa salah: elite politik atau masyarakat per se. Kaum moralis melihat sistem berpikir elite sebagai pusat masalah yang berdampak pada melorotnya mutu praksis berdemokrasi. Kaum pragmatis justru memandang kemiskinan sosial sebagai casus belli sehingga masyarakat dianggap sentrum dari hukum permintaan dan penawaran dalam pasar politik yang menyajikan politik uang, pencurian suara, dan praktik pemilih siluman.
Memasuki era milenial, perdebatan itu menjadi usang. Di abad ke-21, orang mulai letih berbicara manipulasi dan kejahatan politik. Ada kejenuhan untuk menikmati dalil moral dalam praksis kekuasaan. Sejarah terjerembab ke dalam relativisme absolut. Seketika kita melompat dari "masyarakat fakta" yang menjadi watak Era Modern sejak abad ke-17 menuju "masyarakat pascafakta" yang ditandai relativisasi kebenaran dan maraknya kabar bohong.
Sebetulnya, kebangkitan posmodernisme akhir 1960-an membuka gerbang bagi model berpikir baru yang berpadu dengan kebangkitan media sosial dan melahirkan apa yang disebut the post-truth society.
Dalam dunia post-truth, orang mulai ragu apakah prinsip "kerja, kerja" atau keyakinan "masyarakat tahu memilih pemimpin yang benar" betul menjadi tolok ukur dalam membentuk preferensi politik. Faktanya, hoaks terus meningkatkan kurva popularitas para pelaku.
Martabat manusia
Bahaya bermula ketika politik disimplifikasi sebagai urusan menang-kalah. Hakikat politik adalah kemaslahatan bersama. Prinsip bonum commune merupakan esensi teleologis dari entitas bernama "masyarakat". Hal ini diperkuat tesis Larry Diamond (2008), bahwa roh demokrasi melekat inheren dengan dan dalam masyarakat. Maka, bagi saya, (1) politik adalah perayaan kemanusiaan sehingga (2) memahami defisit demokrasi hari ini sesungguhnya memahami ketidakpahaman kita tentang (ontologi) ke-"manusia"-an kita.
Dalam buku terbarunya berjudul Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Francis Fukuyama (2018) memulai uraiannya dengan membahas the politics of dignity, politik martabat. Bahwa martabat manusia adalah esensi ontologis manusia yang menuntut adanya pengakuan (sosial). Martabat adalah bobot dari kemanusiaan an sich.
Dalam konteks sosial, martabat mengambil bentuk dalam "identitas bersama" sebagai satu entitas sosial atas nama etnik, agama, ras, bahasa, ataupun bangsa. Kemunculan politik identitas pada dekade kedua abad ke-21, menurut Fukuyama, adalah upaya pencarian pengakuan terhadap identitas itu.
Puluhan tahun globalisasi telah melahirkan ketimpangan ekonomi. Ketika faktum ketimpangan itu melebur dengan perasaan tidak dihargai dan martabat yang direndahkan, orang kembali pada identitas kelompok demi memperoleh pengakuan dan respek mendasar (Fukuyama, 2018: 9-11).
Memaksimalkan utilitas untuk mencapai kepuasan adalah prinsip ekonomi yang diadopsi dalam politik modern. Maka, politik identitas perlu dilihat sebagai antitesis terhadap hegemoni politik liberal.
Namun, politisasi identitas adalah persoalan tersendiri. Politisasi identitas yang marak dalam kampanye elektoral mencerminkan logika "memaksimalkan utilitas" tentu saja merusak tatanan identitas dan martabat manusia pada dirinya.
Fenomena memanfaatkan identitas kelompok sebagai modal kampanye adalah penyesatan dan penyimpangan berbahaya. Belum lama ini, harian Kompas (31/10/2018) menampilkan hasil studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang intoleransi dan radikalisme.
Mayoritas responden (61 persen) setuju Pancasila ideologi paling tepat untuk Indonesia. Namun, ada 58,4 persen yang cenderung memilih pemimpin seagama dan 42,5 persen menyetujui Perda Syariah. Dalam laporan kualitatif, LIPI memaparkan empat faktor intoleransi dalam pilihan politik: (a) media sosial, (b) fanatisme, (c) religiositas, dan (d) sekularisme.
LIPI menegaskan, ada konservatisme di masyarakat dan pragmatisme di tingkat elite. Pragmatisme dihadirkan oleh pengusaha politik. Saya lebih suka menyebut mereka "pemburu rente" (rent seekers) ketimbang political entrepreneurs. Esensinya mirip, bahwa politik adalah pasar yang menawarkan peluang keuntungan. Namun, pengusaha politik biasanya tahu aturan main, sedangkan pemburu rente tak peduli, yang penting untung.
Perhatikan hasil kuantitatif di atas. Ada kontradiksi secara metodologis. Seharusnya persentase dukungan terhadap Pancasila paralel dengan sikap konkret bernegara. Hasil kualitatif bukan jawaban atas kontradiksi ini.
Narasi kosong
Maka, perlu ada studi baru, barangkali dengan metode yang berbeda, untuk menjelaskan asimetri dukungan terhadap Pancasila dan praktik kewargaan. Boleh jadi (1) ada faksionalisme pemahaman tentang Pancasila (sehingga mereka yang menginginkan Piagam Jakarta dan mereka yang menentangnya masuk dalam kategori sama dalam survei LIPI), atau (2) Pancasila sebagai ideologi formal belum membumi dalam masyarakat.
Orang bisa menyetujui bentuknya, tetapi tidak paham isi dan kegunaannya. Dengan kata lain, Pancasila masih narasi kosong. Singkatnya, antara Pancasila dan masyarakat terdapat missing link, rantai hilang. Pada ruas itu terdapat ruang kosong yang tak bisa dijelaskan survei kuantitatif.
Letaknya terbentang antara (1) praksis bernegara, tempat rakyat banyak berharap, dan (2) realitas sosial kemasyarakatan, yang menjadi tujuan dan ukuran kualitas bernegara. Persis pada ruang itu, kehadiran negara, dengan kemanusiaan yang memerdekakan manusia dari kemiskinan dan ketidakadilan struktural, menjadi keharusan.
Terlalu lama negara absen dari tanggung jawab moral itu. Adalah suatu "kekejian" tersendiri memaksa Jokowi yang baru berkuasa empat tahun mengisi ruang kosong itu secara seketika.
Sebaliknya, kelompok pemburu rente atau pecundang politik melihat ruang kosong itu sebagai peluang. Di ceruk itulah mereka bermain dengan mengapitalisasi simbol konvensional (agama, etnik, suku, dan ras) dengan "kejahatan berpikir pragmatis" yang total absurd.
Perbaikan politik adalah upaya membenahi relasi negara-masyarakat. Untuk itu, perlu kejelasan tentang dua substansi pokok kekuasaan demokratik: (1) politik kekuasaan (powering) dan politik pemberdayaan (empowering).
Puluhan tahun, sejarah politik kita berkutat dengan syahwat kekuasaan. Masyarakat terpinggirkan dan gagal diberdayakan. Gaya otoritarian warisan Orde Baru dan watak korup masih kental di kepala banyak elite politik. Maka, sejujurnya, istilah "sontoloyo" atau "genderuwo" masih terlalu halus untuk keadaan ini.
Kekuasaan demokratik sesungguhnya sebuah proyek humanisasi yang dititikberatkan pada agenda pemberdayaan masyarakat dalam kerangka pengakuan dan perayaan martabat sebagai manusia. Pola kampanye yang menyeret orang untuk berevolusi terbalik melalui cara-cara yang menghasut, menebar kebencian, dan memancing permusuhan tidak hanya merusak gambaran martabat manusia, tetapi juga peradaban secara umum.
Pemilu 2019 hanya mungkin menjadi momentum perayaan martabat manusia kalau elite politik, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat berdiri pada fondasi yang sama, melihat dengan kacamata yang sama, yaitu Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar