Kompas edisi Rabu (31/10/2018) memuat tulisan Laksono Trisnantoro. Tulisan berjudul "Defisit BPJS Kesehatan dan Keadilan" itu sangat menarik dan membuka diskusi tentang BPJS Kesehatan.
Tulisan Prof Laksono disebutkan didasarkan atas data dari Wakil Menkeu Mardiasmo, yang sebelumnya adalah dosen di UGM juga. Tulisan ini mengandung beberapa poin. Pertama, hanya peserta PBPU (pekerja bukan penerima upah — peserta mandiri) yang mengalami defisit. Nilai iuran yang terkumpul dari peserta PBPU lebih kecil dari biaya manfaat yang harus dibayarkan untuk mereka. Adapun untuk peserta lain, yaitu peserta PBI (penerima bantuan iuran — peserta tidak mampu yang iurannya ditanggung pemerintah) dan peserta PPU (pekerja penerima upah — peserta ASN, TNI, Polri, dan karyawan swasta) mengalami surplus.
Kedua, menaikkan premi melalui sumber dana pemerintah (premi peserta PBI) berimplikasi menambah ketidakadilan. Karena yang defisit adalah peserta PBPU saja, kenaikan besaran premi hanya untuk peserta PBPU saja. Segmentasi peserta JKN- KIS ini juga memperlihatkan bahwa program ini selain sebagai asuransi sosial juga menggunakan pendekatan komersial. Unsur komersial juga terlihat dari adanya fenomena adverse selection di kelompok PBPU, yaitu yang mendaftar sebagai peserta adalah orang-orang yang sakit yang membutuhkan biaya tinggi.
Ketiga, penyebab defisit yang lain adalah inefisiensi pelayanan dan menunggaknya peserta PBPU. Jadi, sebelum menaikkan besaran premi peserta PBPU, tugas BPJS Kesehatan untuk membereskan inefisiensi dan menyelesaikan masalah tunggakan. Tiga poin itulah yang jadi inti tulisan Prof Laksono. Izinkan saya untuk urun diskusi agar ada gambaran yang lebih baik.
Gotong royong
Jika kita hanya fokus pada spot-spot tertentu dan mengabaikan gambar yang lebih luas, kita bisa kehilangan arah, apalagi jika kekurangan data. Bisa tersesat. Sesat argumen, sesat langkah, dan sesat kesimpulan. Itulah yang terjadi jika semata melihat surplus dan defisit tiap segmen peserta JKN-KIS.
Pasal 4 (a) UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan tegas menyatakan, sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip kegotongroyongan. Terjadi tolong- menolong antarpeserta, antarkelompok peserta, antardaerah/regional menjadi ciri Jaminan Sosial Kesehatan Nasional atau Jaminan Kesehatan Nasional.
Orang kaya menolong yang miskin. Orang sehat menolong yang sakit. Bahkan, orang miskin yang sehat dapat menolong orang kaya yang sakit. Prinsip gotong royong ini merupakan prinsip kebersamaan antarpeserta dalam memikul beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai tingkat penghasilan dan kemampuan yang dimiliki. Melalui prinsip gotong royong inilah jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip gotong royong di atas oleh Presiden Soekarno disebut sebagai ciri asli masyarakat Indonesia. Bahkan, menurut Bung Karno, istilah ini tak ditemukan di bangsa-bangsa lain. Karena itu, Bung Karno pernah menyatakan jika Pancasila diperas menjadi satu sila saja, maka sila itu adalah gotong royong. Prinsip ini prinsip yang sangat penting bagi karakter manusia dan bangsa Indonesia sehingga tepat sekali gotong royong ini menjadi moto BPJS Kesehatan, yaitu "Dengan Gotong Royong Semua Tertolong".
Prinsip asuransi sosial pertama kali digagas dan diwujudkan oleh Otto von Bismarck dari Prusia, dan terus dikembangkan hingga kini ketika Prusia berubah menjadi Jerman. Konsep ini kemudian berkembang ke negara-negara lain. Namun, asuransi sosial memiliki varian lain seperti dianut negara-negara Anglo-Saxon, misalnya Inggris dan Kanada. Mereka mengintegrasikannya dengan sistem perpajakan, dana iuran langsung diambil dari pajak. Sementara Indonesia dan Korea Selatan lebih mengikuti model Jerman. Dana iuran dipotong dari gaji pegawai negeri dan pegawai swasta (peserta PPU), dan bagi orang yang tidak mampu, iurannya dibayarkan pemerintah (peserta PBI).
Handicap sistem ini adalah peserta dari non-pegawai dan tak dicatat sebagai orang tak mampu (peserta PBPU). Tunggakan iuran umumnya terjadi di peserta kelompok ini. Di Korsel tingkat kolektabilitasnya 24 persen (2008) dan di Filipina 40 persen (2014). Di Indonesia mencapai 61 persen. Jadi, tampaknya kinerja BPJS Kesehatan jauh lebih baik dibandingkan NHIS di Korsel dan PhilHealth di Filipina.
Prinsip dasar asuransi sosial adalah tak melakukan seleksi dan pemilahan segmen peserta. Semua peserta diperlakukan sama. Ini karena salah satu faktornya adalah jaminan sosial tak hanya ketika kita di usia produktif, tetapi ada saatnya kita jadi pensiunan. Peserta PBPU bukan hanya orang-orang yang sejak awal merupakan pekerja mandiri, melainkan juga pekerja formal yang kemudian pensiun — di luar pensiunan TNI, Polri, dan ASN. Peserta usia tua ini juga berasal dari beragam profesi yang masuk peserta PBPU.
Jika pemikiran Laksono diterapkan, maka ketika seseorang pensiun justru harus membayar iuran lebih besar karena peserta PBPU dikenai premi lebih besar, dengan asumsi peserta PBPU adalah pengguna manfaat yang lebih besar dari nilai iurannya. Tentu saja pemikiran semacam ini dapat dikatakan keliru. Selain itu, ada hal-hal yang sifatnya data, yang akan dijelaskan pada paragraf berikutnya.
Maturitas data
BPJS Kesehatan baru berumur hampir 5 tahun pada Januari 2019. Rasanya terlalu dini menyimpulkan pola belanja kesehatan. Ketika program JKN-KIS baru hadir, ada orang-orang yang mengalami gegar. Karena gratis, ada orang-orang yang coba-coba berobat, ini terjadi terutama setelah pembagian kartu. Selain itu, ada orang-orang yang sakit yang selama ini diam di rumah saja atau ke dukun, setelah ada program JKN-KIS, baru berani berobat. Pada saatnya fenomena ini akan mencapai titik stabil.
Berdasarkan data, koefisien rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL) berada pada angka 34,82, yaitu ada 34,82 orang dari 1.000 penduduk yang melakukan rawat inap tingkat lanjutan (RITL), sedangkan koefisien RITL berada pada angka 5,09. Artinya, ada 5,09 orang dari 1.000 penduduk yang melakukan RITL. Sebagai perbandingan, di masa PT Askes yang beroperasi selama 45 tahun, koefisien RJTL adalah 55,2, sedangkan koefisien RITL 7,47. Kita berasumsi data PT Askes itu telah mencapai tingkat maturitas, maka koefisien dua indikator di masa JKN-KIS ini masih jauh dari tingkat maturitas.
Karena itu, gegabah untuk membuat kesimpulan bahwa angka belanja kesehatan saat ini sebagai titik pijak pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, ihwal surplus dan defisit per segmen harus dicermati lebih dalam.
Pertanyaan berikutnya mengapa PBI surplus, PBPU defisit, dan PPU surplus? Ada sejumlah penjelasan berdasarkan temuan di lapangan. Ada beberapa hal mengapa di segmen PBI terjadi surplus. Pertama, sesuai grafik koefisien, ada orang-orang yang belum memanfaatkan program JKN-KIS ini untuk berobat secara gratis. Ini bisa karena faktor akses transportasi. Mereka mengalami kesulitan untuk mencapai fasilitas kesehatan (faskes) karena jarak yang jauh atau karena keterbatasan ongkos transportasi seperti orang miskin peserta PBI maupun jumlah faskes yang terbatas. Hal itu bisa dilihat dari data tingkat utilitas yang didominasi kota besar, seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, dan Medan. Di kota-kota besar transportasi berlimpah dan mudah, serta jumlah faskes yang tersebar merata.
Kedua, ketidaknyamanan layanan di faskes untuk peserta JKN-KIS. Ini akibat perilaku pengelola faskes yang masih menomorduakan peserta JKN-KIS. Selain itu, juga akibat berlimpahnya pasien yang berobat ke faskes sehingga menimbulkan antrean yang panjang. Karena itu, penguatan faskes tingkat pertama seperti puskesmas, klinik, dan praktik dokter perseorangan menjadi sangat mendesak.
Adapun penjelasan tentang surplus di segmen PPU karena umumnya mereka orang-orang terdidik yang pola hidup sehat sudah jadi gaya hidup tersendiri. Selain itu, karyawan swasta umumnya dobel perlindungan. Selain wajib ikut program JKN-KIS sesuai ketentuan perundangan, perusahaan swasta juga menyertakan karyawannya pada program asuransi komersial. Karyawan swasta juga terlindungi asuransi sosial ketenagakerjaan. Untuk kecelakaan kerja, mereka dapat jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan. Dengan semua kombinasi itu, wajar jika tingkat utilitas peserta PPU ini relatif rendah, sehingga surplus.
Bom itu justru ada di PBPU. Mereka adalah orang-orang yang secara ekonomi lebih baik daripada peserta PBI sehingga mereka bisa menembus kendala transportasi untuk berobat. Mereka juga orang-orang yang selama ini berdiam di rumah walau sakit karena biaya berobat terlalu mahal. Sebagian mereka juga adalah orang-orang usia pensiun yang memang sudah saatnya melakukan perawatan kesehatan secara lebih frekuentif. Mereka juga rakyat Indonesia yang butuh pertolongan, dan juga pembayar pajak. Janganlah mereka kemudian dikambinghitamkan. Sebagian dari mereka juga sebetulnya ada orang-orang miskin, tetapi masih belum terdeteksi pemerintah untuk disertakan ke PBI. Harus diingat, data kepesertaan PBI ada di tangan pemerintah, bukan di BPJS Kesehatan.
Memang benar apa yang disampaikan Prof Laksono mengenai inefisiensi layanan. Karena itu, yang perlu dilakukan, pertama, mendorong agar semua layanan diberikan berdasarkan standar pelayanan kedokteran yang disahkan Menteri Kesehatan (tak melebih-lebihkan, tapi juga tak mengurangi demi efisiensi) dan mendorong agar semua faskes yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan membuat standar prosedur operasional yang mengacu pada standar pelayanan kedokteran yang telah disahkan.
Kedua, menyusun dan menetapkan tarif dan norma kapitasi serta INA CBGs berdasarkan standar yang telah disahkan. Ketiga, menghitung dan menetapkan besaran iuran yang mengacu tarif yang telah disusun menurut standar pelayanan yang disahkan. Keempat, BPJS Kesehatan hanya membayar pelayanan kesehatan yang dilakukan menurut tarif dan standar yang telah disahkan. Dengan seperti itu barulah BPJS Kesehatan bisa dikatakan sebagai pembeli layanan yang aktif, bukan pasif.
Kelima, mendorong agar rujukan medis dilakukan sesuai standar dan kebutuhan medis pasien dan BPJS Kesehatan hanya membayar pelayanan yang dilakukan menurut standar dan kebutuhan medis pasien. Keenam, jika fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang merujuk pasien baik horizontal maupun vertikal (ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut atau FKRTL), yang seharusnya menurut standar dapat diatasi sendiri di FKTP, maka FKTP yang merujuk diharuskan berkontribusi dalam pembiayaan di FKRTL. Alasannya, karena BPJS Kesehatan telah mengalokasikan dana kapitasi untuk kasus tersebut di FKTP sampai sembuh.
Demikian pula bagi FKRTL yang menerima rujukan, ia harus mengembalikan rujukan tersebut kepada yang merujuknya. FKRTL hanya merawatnya sampai batas waktu tertentu sesuai kompetensinya. FKRTL harus mengembalikan ke FKTP untuk perawatan selanjutnya sesuai kompetensi yang dimiliki FKTP yang mengirimnya. Jika pasien meminta agar perawatan dilakukan sampai sembuh di FKRTL, pasien wajib menanggung urun biaya atas keinginannya itu.
Begitu pula jika itu dilakukan karena keinginan FKRTL, FKRTL-lah yang wajib menanggung urun biayanya. Sekalipun perawatan pasien dilakukan di FKRTL sampai sembuh, bukan berarti rujukan balik itu tak dilakukan. Rujuk balik dalam bentuk rujukan keilmuan tetap wajib dilakukan FKRTL kepada FKTP yang merujuk pasien. Banyak hal yang perlu dilakukan BPJS Kesehatan baik sendiri maupun bersama mitra kerja samanya guna menekan overutilisasi, menjamin efisiensi, serta mengurangi defisit. Namun, jika masalah utama defisit terjadi karena iuran yang kecil, tak seimbang antara besaran iuran dan manfaat yang akan diterima, cara efisiensi apa pun yang dilakukan tak dapat menyelesaikan masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar