Sebagai salah satu tim perumus, saya rasa hal itu tentu sangat menyederhanakan. Namun, persoalan yang lebih serius, ketika hasil refleksi tersebut diterjemahkan dalam bentuk kebijakan, strategi, hingga petunjuk praktis hidup kita sehari-hari, dari mana kita harus memulai? Sebagai refleksi yang padat, bagaimana menerjemahkan dalam kehidupan berbangsa masa kini?
Hari ini ada banyak kerisauan tentang masa depan Indonesia 2045 berikut atribut, langkah, dan filosofinya. Namun, keprihatinan itu bukan lagi konstruksi dikotomis antara desa dan kota, tradisi dan modern, Barat dan Timur, gunungan dan bahari, serta kolonial-imperial. Kita mati- matian melampaui konsep itu untuk menemukan jati diri bangsa yang makin kabur. Untuk membangun kembali jati diri itu dalam konteks nalar yang bisa diterima, perangkat filosofis paling sederhana sebagaimana diajarkan Socrates 2.500 tahun lalu adalah pertanyaan dan jawaban.
Pertanyaan seperti bagaimana mengenali diri kita sebagai Indonesia, bagaimana memaknai, untuk apa saja, merupakan contoh-contoh pertanyaan kultural yang paling mendesak. Adapun jawabannya dapat diperoleh dari fakta-fakta yang sedang terjadi hari ini.
Terdapat tiga fakta sosial yang mengemuka. Pertama, persoalan ekstremitas yang kian menguat di tengah masyarakat. Suka atau tidak, hal itu merupakan respons terhadap fenomena-fenomena sosial-politik yang mengalami disorientasi sikap etis.
Kedua, persoalan identitas, yakni pudarnya nilai-nilai lokal dalam tata hidup mutakhir. Fakta bahwa terdapat 745 suku bangsa di Indonesia dari 13.000 pulau, tetapi tidak ada bekasnya dalam corak kebudayaan kontemporer Indonesia. Dunia tontonan menjadi agen-agen pragmatisme dan materialisme.
Ketiga, persoalan aforia dalam penciptaan tata nilai baru. Aforia adalah kebingungan dalam kenyataan yang kacau balau akibat ekspansi teknologi dan informasi. Pendeknya, telah hilang diskursus tentang nilai-nilai kebangsaan sebagai orientasi penciptaan nilai dalam praktik sosial. Tiga persoalan dasar itu menunjukkan pentingnya ruang untuk ingatan Indonesia sebagai sistem kenegaraan dan kebangsaan. Tak terlalu menghina jika dikatakan, penciptaan ruang itu belum diwujudkan melalui pelbagai strategi yang merangsang setiap warga negara berpartisipasi.
Ruang tipu muslihat
Selama ini, penyempitan ruang dialog di tengah-tengah masyarakat terjadi karena empat hal. Pertama, tata hidup kita hari ini dikelilingi praktik-praktik ekonomi yang serakah, penuh rayuan, trik, tipu muslihat, dan mengelabui. Contoh, istilah "syarat dan ketentuan berlaku" yang dilabeli untuk setiap promosi barang dan jasa merupakan permainan bahasa untuk sebuah kenyataan yang dapat dibaca sebagai "barang gratis dan murah tidak pernah ada".
Kedua, di sisi lain, perangkat formal institusional kebangsaan kita hari ini tidak mampu menggali pesan tentang pentingnya gaya hidup yang murah dan gratis itu. Pendeknya, pemahaman terhadap nilai-nilai yang diwariskan belum memadai.
Contoh, istilah "gotong royong" yang dikenal di dalam setiap suku bangsa merupakan sumber daya gratis yang disediakan masyarakat untuk kepentingan bersama. Demikian pula, kerukunan yang mempersatukan setiap kelompok memberikan nilai-nilai murah hati juga berarti murah nominal harga.
Ketiga, pesona paradigma baru memaksa kita menggunakan instruksi dan terminologinya dalam praktik komunikasi kita hari ini. Seperti konsep masa depan telah direduksi sebagai Revolusi Industri 4.0, standardisasi kurikulum yang berbasis nilai-nilai pragmatis, hingga model komunikasi ilmiah para intelektual melalui jurnal yang terindeks.
Keempat, pembentukan model ketergantungan dalam berbagai pranata kultural. Penciptaan sistem ketergantungan itu nyatanya tidak memberikan ruang yang luas bagi upaya dialog yang lebih rasional, setara, dan terbuka. Jika Anda punya utang kepada saya, tindakan Anda harus saya pantau karena uang yang Anda keluarkan harus menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi Anda.
Anda bisa saja profesor jika Anda sudah melakukan seperti yang saya inginkan. Tata nilai yang terbentuk dalam kondisi tertekan tak akan membawa pertumbuhan yang sehat bagi kebudayaan kita sendiri.
Praktik sosial Pancasila
Pemerintah baru saja menyadari kenyataan itu melalui pembentukan beberapa institusi yang mengurusi ideologi, tetapi kesadaran itu belum menghasilkan apa-apa. Suka atau tidak, perlu kebijakan-kebijakan yang menyentuh seluruh elemen bangsa sebagai gerakan "mengingat kembali Indonesia sebagai bangsa". Kebijakan ini bermanfaat untuk menemukan jalan keluar dari persoalan-persoalan kultural bangsa ini. Sebagai contoh pemikiran strategis, ekstremisme tidak terjadi jika berhasil menumbuhkan sikap toleran.
Pemerintah gagal mengantisipasi kebingungan tata nilai dan paradigma imperial melalui penggalian kebajikan lokal. Tidak sulit kiranya, konsepsi "kebajikan tentang penghormatan terhadap nilai bersama" ditemui dalam berbagai ekspresi bahasa lokal di Indonesia. Sekurang-kurangnya terdapat frase "desa kala patra" (dalam bahasa Bali) atau "desa mawa cara" (dalam bahasa Jawa), "iyya nanigesara' ada' 'biyasana buttaya tammattikamo balloka" (dalam bahasa Makassar), "tungke-tungke wanua pada laing ade'na" (dalam bahasa Bugis), dan seterusnya.
Gampangnya, ekspresi itu bisa dimodifikasi, dikemas, bahkan dikomodifikasi dalam media yang sedang berkembang sekarang ini. Tidak ada yang kuno untuk menjawab bagaimana baiknya dalam hidup berbangsa. Ekspresi-ekspresi kebangsaan itu sebetulnya sudah mengkristal di dalam Pancasila sebagai semangat dasar penyelenggaraan republik ini. Pancasila sebagai rumusan kebahasaan memang sudah selesai, tetapi penerjemahan dalam praktik sosial masih dan tetap berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar