Dalam kasus yang lain, Gubernur Jambi (non-aktif) Zumi Zola diduga menggunakan uang hasil gratifikasi untuk kepentingan Partai Amanat Nasional di Jambi.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang (17/9), Bupati Purbalingga (non-aktif) Tasdi mengaku uang suap yang diterimanya digunakan untuk kepentingan PDI-P guna mendapatkan rekomendasi maju sebagai calon kepala daerah periode kedua.
Dalam konteks kasus yang lain, Wali Kota Kendari (non-aktif) Adriatma Dwi Putra menerima suap untuk kepentingan biaya politik ayahnya yang akan maju dalam Pilkada Sultra 2018.
Anomali dana politik
Gambaran kasus tersebut hanyalah bagian kecil dari potret kasus korupsi yang beririsan dengan pendanaan politik, baik yang terkait langsung dengan kepentingan partai politik tertentu maupun kepentingan pribadi.
Mereka memiliki kesamaan motif, yaitu bagaimana menghimpun uang dari hasil kejahatan untuk digunakan dalam proses politik.
Jika menggunakan data penanganan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lebih dari 60 persen kasus yang ditangani adalah kasus yang berdimensi politik dengan pelaku yang berlatar belakang sebagai kepala daerah, anggota DPR/DPRD, ataupun pihak lain yang terkait dalam kasus yang melibatkan kepala daerah dan DPR/DPRD.
Bahkan, selama tahun 2018 hingga bulan Oktober 2018, KPK setidaknya telah menyeret 25 kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) dalam kasus korupsi dan pencucian uang.
Anomali pertama, pendanaan politik telah membuat relasi yang tidak sehat antara anggota partai politik dan institusi partai politik. Mereka yang menduduki jabatan publik atau setidaknya akan mencalonkan diri dengan menggunakan dukungan partai politik akan sulit menghindar dari beban biaya politik yang begitu tinggi.
Praktik sumir
Pengaturan pendanaan politik yang sumir menjadi pintu masuk yang melanggengkan praktik semacam ini. Partai politik mendapat kebebasan untuk menentukan sendiri limit iuran/sumbangan anggota, khususnya bagi mereka yang sedang menjabat.
Dalam banyak kasus, iuran tersebut sering kali memang melebihi dari batas kemampuan atau tidak sesuai dengan profil atau pendapatannya sebagai pejabat publik. Maka, ke depan, iuran/sumbangan anggota harus dibatasi secara tegas dalam undang-undang berdasarkan pendapatan/profilnya sebagai pejabat publik.
Anomali kedua, dalam banyak kasus korupsi terungkap bahwa hasil kejahatan digunakan untuk kepentingan pencalonan. Masalah muncul ketika harus meletakkan perbuatan ini sebagai mahar politik atau memang hanya sebatas sumbangan/iuran anggota partai politik.
Jika fakta persidangan dalam kasus korupsi mengarah kepada mahar politik, maka dalam konteks pilkada, proses pidananya tetap bisa diusut meskipun pilkada telah selesai. Instrumen hukum pidana mahar politik patut digunakan agar partai politik juga bisa diberikan sanksi jika terbukti melakukan mahar politik, bukan hanya menghukum individu pemberi mahar politik.
Lalu siapa yang berwenang untuk mengusut mahar politik? Menurut penulis, untuk kepentingan penegakan hukum, kepolisian, kejaksaan, dan KPK semestinya membuat standar operasi bersama ketika kasus pidana korupsi yang ditangani KPK berelasi dengan pidana lain yang menjadi kewenangan kepolisian dan kejaksaan, misalnya dalam hal pidana mahar politik.
Anomali ketiga, rendahnya keterbukaan korporasi/perusahaan terkait sumbangan kepada partai politik. Masalah lainnya adalah bagaimana ketika korporasi yang memberikan sumbangan berafiliasi atau penerima manfaat yang sebenarnya (beneficial ownership) dari korporasi adalah anggota partai politik.
Relasi korporasi
Riset yang dilakukan Transparency International Indonesia dalam Transparency Corporate Reporting (TCR) 2017, menemukan fakta bahwa mayoritas korporasi tidak memiliki kebijakan yang melarang ataupun kewajiban untuk membuka donasi politik kepada publik.
Dalam konteks konflik kepentingan, relasi korporasi dengan pejabat publik kerap diabaikan. Terkait hal ini, perlu ada penegasan dalam dua hal, yaitu bagaimana mengatur relasi antara korporasi yang menganggarkan donasi politik dengan pejabat publik dan antara korporasi dengan pejabat publik yang juga berperan sebagai pemilik (owner) dari sebuah korporasi.
Penegasan ini penting jika merujuk pada pengaturan di dalam undang-undang tentang partai politik yang melarang partai politik mendirikan badan usaha dan atau memiliki saham suatu badan usaha (Pasal 40 Ayat 4).
Pelarangan ini tentu saja ditujukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh (anggota) partai politik melalui korporasi/badan usaha, khususnya ketika korporasi/badan usaha ikut mengerjakan proyek-proyek yang dibiayai anggaran negara.
Faktanya dalam banyak kasus korupsi yang terjadi selalu ada keterkaitan antara suap/gratifikasi dari korporasi tertentu dengan konsesi/proyek/perizinan yang diberikan atau setidaknya diakibatkan adanya pengaruh dari pejabat publik.
Realitas tentang maraknya korupsi yang dikaitkan dengan dana politik bukanlah lingkaran yang tak bisa diputus. Setidaknya saat ini telah ada pengaturan yang tersebar dalam berbagai peraturan, baik dalam undang- undang pilkada, undang-undang pemilu (presiden/wakil presiden/DPR/DPD/DPRD, maupun melalui undang-undang tentang partai politik.
Walaupun sebetulnya masih menyisakan berbagai masalah, mulai dari segi pengaturan yang tidak sinkron di antara undang-undang, sanksi yang terlalu lemah, hingga praktik pengawasan dan penegakan hukumnya.
Korupsi dan pidana pemilu
Kasus korupsi yang berkelindan dengan pidana pemilu, pelanggaran administratif pemilu, ataupun pelanggaran hukum lainnya adalah tantangan yang mesti dijawab oleh semua lembaga yang berwenang.
KPK, KPU, Bawaslu, kepolisian, kejaksaan, PPATK, OJK, dan pelbagai lembaga lain perlu berkolaborasi untuk memperkuat penanganan kejahatan politik yang semakin terorganisasi.
Ke depan, pekerjaan rumah untuk memperbaiki tata kelola dana politik sepatutnya menjadi perhatian. Di tengah perhelatan suksesi politik di 2019, gagasan dan ide tentang reformasi dana politik seharusnya menjadi bagian dari kampanye calon anggota badan legislatif, khususnya bagi calon presiden/wakil presiden. Dengan demikian, problem dana politik ini tak menjadi kutukan yang secara terus-menerus mereproduksi praktik-praktik korupsi di segala lini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar