Beberapa kali saya mendapat pertanyaan apa film favorit saya, tatkala saya terlibat dalam workshop kritik film yang diadakan oleh Pusat Pengembangan Perfilman Kemdikbud. Secara spontan jawaban saya selalu mengacu pada film-film lawas, pada masa bioskop belum bertransformasi menjadi studio-studio di mal. Ada apa dengan memori saya?

Mungkin itulah kekuatan media film sebagai ilusi. Ya, ilusi. Adegan beberapa detik Mrs Robinson diperankan Anne Bancroft mencopot stocking di depan pemuda ingusan Dustin Hoffman sebagai Benjamin Braddock dalam film The Graduate tahun 1960-an, saya ingat sampai sekarang. Glekk.

Paris, 28 Desember 1895. Dua bersaudara Louis dan Auguste Lumiere memamerkan temuannya di depan publik di suatu basemen di Boulevard des Capucines. Mereka menggelar program, mempertontonkan film sepanjang 20 menit, menggambarkan buruh bubaran kerja dan kereta api tiba di stasiun.

Dipertontonkan pula komedi, tukang kebun kalang kabut terjerat selang air ketika tengah bekerja. Peristiwa tersebut ditabalkan sebagai kelahiran sinema.

Dikembangkan di sana-sini di sejumlah negara di Eropa, kembali oleh orang Perancis bernama Georges Melies, sinema memperoleh visi baru. Yang dibutuhkan sinema, begitu menurut Melies, adalah fantasi. Bukan sekadar
kejadian nyata seperti kereta tiba di stasiun, melainkan ilusi. Bukan fakta, tapi fiksi.

Dengan teknik yang dimungkinkan oleh teknologi sinema waktu itu, ia membikin film bagaimana seorang perempuan berubah menjadi kerangka, pegulat perempuan berubah jadi lelaki, dan seterusnya.

Perang Dunia Pertama menyebabkan perkembangan film di Eropa tersendat. Sebaliknya, di belahan dunia lain waktu itu, Amerika, film dikembangkan secara pesat menjadi hiburan. Dibanding gengsi Eropa, di Amerika hiburan bukanlah kata kotor.

Banyak pembuat film di Amerika percaya, film-film yang berhasil umumnya adalah film yang dibikin semata-mata sebagai hiburan. Film menjadi efektif dan artistik saat dibikin tanpa pretensi untuk berkesenian. Apalagi khotbah dan propaganda.

Film sebagai hiburan: itulah yang juga saya kenang dalam masa pertumbuhan saya di sebuah kota kecil di Jawa Tengah.

Tak ada yang lebih menyenangkan daripada menonton matinee film koboi. Sang jagoan menembak dengan pistol isinya enam peluru membuat 20 lawan terjungkal dalam waktu bersamaan. Keluar gedung bioskop siku tangan kami agak mengembang, merasa ada pistol tergantung di kiri-kanan pinggang.

Dalam masa akil balik itu pula kami berilusi mengenai wanita, membayangkan dewi-dewi layar perak dalam mimpi. Mereka adalah Brigitte Bardot (BB), Claudia Cardinale (CC), atau Raquel Welch yang menunggang kuda dengan hanya mengenakan kutang.

Sampai sekarang saya merasa sendu setiap kali mendengar lagu "Raindrops Keep Falling on My Head", teringat Katharine Ross dalam Butch Cassidy and the Sundance Kid.

Apakah film-film tadi, beberapa di antaranya kemudian mendapat pujian kritisi seperti The Magnificent Seven, Midnight Cowboy, Bonnie and Clyde, dibikin tanpa hasrat artistik?

Yang jelas, film-film pada masa itu sepertinya dibikin tanpa hasrat moral, taruhlah menjadi film yang ramah keluarga, bersih dari adegan kekerasan, pornografi, serta kehendak-kehendak mulia lainnya.

KOMPAS/ YOVITA ARIKA

Bioskop Reksa (Reksa Theatre) satu-satunya bioskop di Kota Salatiga, Jawa Tengah, Juni 2004.

Di lobi bioskop kota kami dipasang foto-foto adegan yang diistilahkan waktu itu "berani". Di sudut kota ada poster besar dengan gambar wanita tengah memelorotkan celana dalam. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan "a woman called Suzie" alias Suzzanna dalam film Bumi Makin Panas.

Kini zaman telah berubah. Orang menonton film di mal untuk menyatakan dukungan politik dan demi kepatuhan beragama. Kalau sebatas kriteria hiburan satu film saya puji, saya bakal diserang oleh banyak orang. Mereka berpandangan bahwa semua aspek dari film lawan politik haruslah jelek. Tidak mudah misalnya memuji Acha Septriasa.