"Mas, mau tanya, kalau saya mau pakai Mas sebagai pembicara, harganya berapa, ya?" Itu satu pertanyaan yang senantiasa diajukan ketika beberapa orang atau institusi ingin menggunakan jasa saya sebagai pembicara.
"Mahal banget yaaa…"
Saya tak pernah mengajukan harga. Saya selalu mengatakan disesuaikan saja dengan anggaran yang telah ditentukan pada saat membuat rencana sebuah program atau kegiatan. Alasan pertamanya karena saya ini percaya bahwa Tuhan telah memberikan porsi kepada tiap-tiap manusia.
Alasan kedua adalah tak mungkin ada orang atau perusahaan ingin membuat sebuah acara, tak membuat anggaran terlebih dahulu. Nah, dari alasan kedua ini, beberapa perusahaan menanyakan berapa rata-rata harga yang selama ini saya terima.
Ketika saya menyebutkan sebuah angka, maka reaksinya macam-macam. Ada yang bertahan melanjutkan ke tahap tawar-menawar, ada yang berakhir dengan langsung mengiyakan tanpa menawar, dan tak bisa dimungkiri ada yang raib entah ke mana.
Tentu saya tak bisa menepis, ada yang sama sekali tak membuat anggaran dan mencoba gratisan tanpa rasa malu dengan nama perusahaan raksasa dan kaya raya di belakangnya. Ada yang menyusun anggaran tanpa uang tunai karena mereka berharap bisa dibarter dengan produk yang mereka miliki atau minimal mereka memberikan jasa uang transpor yang nilainya gitu deh itu.
Dalam pengalaman saya, ada beberapa perusahaan besar tak mau membayar mahal, tetapi ingin mendapat pembicara yang berkualitas. Bahkan, teman saya yang seorang fotografer menyetujui hal ini. Ucapan macam "mahal banget yaaa…" itu sudah sering masuk ke gendang telinga kami sebagai pemberi jasa. Kadang disampaikan dengan menjerit, kadang berpura-pura kaget.
Mereka tidak kaget dan tidak menjerit dan tidak memprotes dan mengakui kalau seorang pembicara sudah sangat terkenal dan memang hebat. Mereka baru kaget dan menjerit ketika mendengar harga yang harus dikeluarkan untuk sesuatu yang mereka ketahui sangat kondang dan hebat itu.
Tak jarang ada yang menawar di luar akal sehat tanpa rasa malu. Menganggap bahwa profesi pembicara adalah profesi ecek-ecek. Saya sampai berpikir apakah penghormatan mereka terhadap profesi semacam itu hanya dari nilai serendah mungkin yang ditawarkan seorang pembicara?
"Tepo seliro"
Apakah mereka tak mau tahu bahwa menjadi terkenal dan memang hebat itu adalah sebuah perjuangan seseorang? Persis seperti bagaimana perusahaan mereka berkembang yang awalnya mungkin hanya sebuah usaha kecil, kemudian menjadi perusahaan raksasa, kondang dan hebat.
Akhirnya acap kali saya berpikir, mengapa mereka mau kaya tetapi mereka enggak rela saya juga kaya? Mengapa mereka mau mengirit dan raib entah ke mana atau menawar dengan gila-gilaan ketika saya tak mau mengirit? Saya mengerti bahwa ada hukum dagang yang mengatakan pengeluaran biaya serendah-rendahnya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Jadi, petuah macam "apa yang ditabur itulah yang dituai" tak selalu demikian adanya. Ada yang menabur sedikit dapat menuai banyak. Apalagi kalau saya didatangi perusahaan besar yang mampu memberi gengsi dan nilai kepada daftar riwayat hidup.
Dengan demikian, posisi menawarnya lebih besar di pihak mereka ketimbang di pihak saya. Karena dengan tertekan oleh posisi itu, saya jadi naik kelas. Orang atau perusahaan lain yang belum pernah menggunakan jasa saya kemudian melihat daftar riwayat hidup itu, tak akan meragukan kemampuan saya sebagai pembicara.
Jadi, dengan menekan dan menabur sedikit, mereka telah membuat saya naik kelas sehingga kalau tabiat menekan harga dan menawar di bawah rata-rata atau bahkan minta gratisan dianggap sebagai sebuah dosa, maka keseimbangan itu adalah pada saat orang berbuat dosa, pada saat yang bersamaan mereka berbuat kebaikan terhadap saya dan masa depan saya sebagai pembicara.
Membuat tulisan yang hanya singkat seperti parodi ini juga mampu membuat pegal jari jemari. Apalagi saya kalau mengetik dengan 11 jari. Maka saya beristirahat sejenak. Maksud saya beristirahat itu memeriksa pesan di telepon genggam.
Entah mengapa, kok, ya saya membuka unggahan dari salah satu klien saya, yang pernah menggunakan jasa saya sebagai pembicara. Begini bunyi unggahan itu. "Hubungan kerja yang pancasilais yaitu hubungan kerja yang tepo seliro, yang buruh nrimo yang majikan ora sio-sio (yang buruh menerima, yang majikan tidak sewenang-wenang)."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar