Tim nasional sepak bola Indonesia kembali gagal meraih prestasi di ajang Piala AFF. Menurut Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi, prestasi tim nasional hanya bisa bagus jika wartawan dan medianya juga baik.
Entah apa maksud narasi absurd presiden federasi yang juga merangkap jabatan Gubernur Sumatera Utara itu. Namun, setidaknya itu menggambarkan betapa persepakbolaan kita memang ibarat sudah jatuh tertimpa tangga akibat dosa sejarah selama puluhan tahun, salah urus, dan selalu dikendalikan oleh orang-orang yang sama sekali tidak kompeten di bidangnya.
Terlepas dari pernyataan Edy yang ditanya jurnalis secara door stop tersebut, pemangku kepentingan (stakeholder) sepak bola nasional memang sudah tidak bisa lagi berdiam diri menghadapi karut-marut pembangunan sepak bola di negara ini. Meski sepak bola merupakan cabang yang paling rutin menggelar kompetisi, jelas tegas bahwa PSSI sebagai penanggung jawab tertinggi tak punya cetak biru dan peta jalan untuk membawa prestasi Indonesia meningkat kontinu dan mampu bersaing dengan para raksasa Asia lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan ataupun negara-negara Arab.
Tanpa cetak biru dan peta jalan, PSSI sekadar federasi yang menjalankan rutinitas kompetisi tanpa tahu arahnya mau ke mana. Tidak ada fondasi yang sungguh-sungguh ingin dibangun untuk memperkuat organisasi, kelembagaan, dan sumber daya manusia (SDM) guna membawa prestasi sepak bola nasional yang lebih tinggi sesuai dengan kerangka waktu yang dibuat secara cermat.
Dalam sebuah kesempatan berdialog langsung dengan Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha beberapa bulan lalu dalam diskusi di Tabloid BOLA, saya sempat bertanya tentang hal di atas. Namun, seperti biasa, jawaban pejabat PSSI sangat subtil dan mengawang-awang dengan bahasa teknis tingkat tinggi yang sulit dicerna orang kebanyakan.
Pendek kata, sebagai jurnalis saya tidak melihat ada langkah-langkah taktis jangka pendek, menengah, dan panjang yang akan ditempuh PSSI, yang konon menurut keyakinan Ratu Tisha, Indonesia akan segera mampu tampil di ajang paling akbar Piala Dunia hanya dalam hitungan belasan tahun ke depan.
Kita tidak pernah paham bagaimana ambisi lolos ke Piala Dunia itu bisa atau paling tidak punya potensi untuk berhasil. Coba tengok prestasi timnas Indonesia, bahkan di ajang internasional region terkecil Asia Tenggara pun terseok-seok.
Mari kita simak apa yang terjadi sepekan terakhir ini saja. Timnas senior asuhan pelatih Bima Sakti Tukiman ini dipastikan gagal melaju ke semifinal setelah kalah bersaing dengan Thailand dan Filipina. Ini bukan cerita sedih pertama pasukan "Garuda" di ajang paling bontot Konfederasi Asia tersebut.
Bahkan, sejak kepesertaan pertama tahun 1996 saat turnamen ini bertajuk Piala Tiger, Indonesia tidak pernah mampu mengangkat piala dan paling banter hanya beberapa kali mencapai final. Walhasil, kegagalan pasukan Bima Sakti bukanlah hal yang luar biasa, alias sudah (terlalu) biasa.
Sekadar penggembira
Barangkali memang sudah menjadi suratan nasib, takdir, atau apalah sembarang sebut, sepak bola Indonesia tak pernah bisa meningkat lebih tinggi dari sekadar level Asia Tenggara. Itu pun kini hanya sebagai penggembira, pemain figuran jika bicara panggung pementasan. Sebagian besar kita mungkin juga sudah lupa kapan terakhir kali pasukan "Merah Putih" senior berjaya di kejuaraan regional Asia Tenggara. Ya, hanya sebagian kecil yang ingat, pada pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara alias SEA Games tahun 1991 di Manila, Filipina.
Jadi, dalam rentang hampir tiga dekade tanpa gelar juara di level senior, jenjang tertinggi tim nasional federasi sepak bola negara, tentu ada yang salah dengan pengelolaan olahraga paling populer ini. Apalagi jika mengingat kegagalan sepanjang 27 tahun itu terjadi di level internasional terkecil dalam sebuah konfederasi.
Jebloknya catatan timnas membuat peringkat FIFA Indonesia terkunci pada kisaran 150 ke bawah dalam satu dekade terakhir, jauh tertinggal dari negara-negara kuat Asia, seperti Jepang, China, Arab Saudi, Irak, dan Iran. Per 25 Oktober 2018, Indonesia berada di posisi ke-160 dari 211 negara anggota FIFA. Di tingkat ASEAN, posisi Indonesia memang lebih baik daripada Singapura (165), Malaysia (169), Laos (181), Timor Leste (191), dan Brunei Darussalam (196), tetapi kalah dari Myanmar (141), Thailand (121), Filipina (116), dan Vietnam (102).
Dari 11 kali penyelenggaraan Piala AFF sebelum 2018, Thailand merupakan negara yang paling banyak menjadi juara, sebanyak lima kali. Singapura yang kini peringkatnya di bawah Indonesia sudah empat kali menjadi juara, sementara Malaysia dan Vietnam masing-masing satu kali. Pencapaian terbaik Indonesia di ajang ini hanyalah lima kali runner-up pada tahun 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016.
Dalam kasus pasukan Bima Sakti, jelas keliru menimpakan semua kesalahan kepada mantan kapten tim Primavera tersebut. Bima hanyalah "korban" ketidakbecusan PSSI dalam manajemen tim nasional, terutama dalam kaitan kontrak dengan pelatih Luis Milla, yang kemudian putus karena federasi tak sanggup membayar gaji pelatih asal Spanyol itu yang mencapai Rp 2 miliar per bulan. Hanya kurang dari tiga pekan sebelum ajang Piala AFF, Bima memegang kendali penuh atas tim. Apa yang bisa dia lakukan?
Dengan melihat catatan prestasi pernah lima kali melaju ke final, sebenarnya target juara Piala AFF bukanlah hal berlebihan. Namun, dengan kondisi internal timnas yang kalang kabut sepeninggal Milla, bentroknya jadwal ajang AFF dengan kompetisi domestik, pilihan pada Bima Sakti sebagai langkah darurat serta stagnannya mutu kompetisi strata tertinggi dalam dua dekade terakhir, target juara kemudian seolah menjadi absurd.
Beranjak dari hasil buruk Piala AFF 2018, lantas dari mana kita mengurai masalah laten persepakbolaan kita ini?
Sumber pemain dan kualitas kompetisi
Jika membicarakan prestasi tim nasional, dan ini tentulah tingkat senior karena yang diperhitungkan dalam peringkat FIFA adalah di level ini, maka kita harus mengurut kembali kepada sumber pemain, yakni kompetisi strata tertinggi. Meski liga semipro dan kemudian profesional bergulir secara rutin sejak 1977, kualitas kompetisi tidak beranjak naik, bahkan cenderung menurun sejak penggabungan kompetisi Galatama dan Perserikatan pada 1994.
Saat Galatama mencapai puncaknya, Indonesia mencatat prestasi cukup membanggakan dengan lolos ke putaran kedua Pra-Piala Dunia 1985 lewat polesan tangan dingin pelatih (alm) Sinyo Aliandoe. Prestasi medali emas SEA Games 1991 juga didapat berkat tingginya kualitas kompetisi Perserikatan yang menyumbang sejumlah pemain terbaiknya untuk tim Merah Putih di Manila.
Malapetaka kemudian menimpa persepakbolaan nasional ketika PSSI menggabungkan kompetisi semipro Galatama dengan kompetisi amatir Perserikatan pada 1994. Secara drastis, tim-tim elite Perserikatan, seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, dan Persib Bandung, berubah menjadi tim semiprofesional.
Tim-tim Perserikatan yang tadinya menjadi muara jutaan pemain amatir dan kelompok-kelompok umur dan fokus memutar kompetisi ratusan tim anggotanya terpaksa berubah menjadi entitas bisnis karena tuntutan industri sepak bola profesional. Mereka melupakan putaran kompetisi, mengabaikan pembinaan berjenjang kelompok-kelompok umur, menghentikan kompetisi "anak gawang", membiarkan klub-klub amatir di bawah binaan mereka berjuang sendiri memutar kompetisi yang akhirnya mandek akibat kehabisan energi karena nyaris tanpa sokongan.
Inilah awal menurunnya mutu pemain sepak bola dalam skala nasional secara masif. Tim-tim Galatama yang saat berdiri pada 1977 banyak mendapat pasokan pemain dari kompetisi-kompetisi amatir di bawah naungan Perserikatan tiba-tiba kehilangan sumber daya pemain bermutu akibat berhentinya putaran kompetisi dari level terbawah. Kondisi yang sama dialami tim-tim eks Perserikatan yang juga kehilangan lahan subur, tempat bersemainya bibit-bibit pemain di daerah.
Di sisi lain, kompetisi profesional yang kemudian menggelora berkat liputan media dan sokongan sponsor tak mampu membangun tim-tim yunior untuk menjadi "bank" sumber daya pemain. Kompetisi strata tertinggi di Indonesia sungguh ingar-bingar, tetapi dengan mutu yang terus menurun akibat sumber pemain dari kompetisi level di bawahnya tidak mempunyai "jam terbang" yang cukup untuk menjadi matang terjun di kompetisi profesional.
Jika liga strata tertinggi diibaratkan sebagai universitasnya sepak bola, ribuan pemain yang terlibat di dalamnya tidak pernah mengalami jenjang TK, SD, SMP, dan SMA. Tanpa "ijazah-ijazah" di jenjang tersebut, tiba-tiba mereka harus bertanding di level "universitas", di jenjang profesional untuk kemudian menjadi wakil Indonesia berseragam Merah Putih di tingkat internasional. Jadi bisa dibayangkan bagaimana mutu mayoritas pemain liga-liga "universitas" kompetisi sepak bola Indonesia saat ini.
PSSI sebagai induk dan motor pembangunan sepak bola nasional bukannya tidak paham masalah laten ini. Sejak era Nurdin Halid lebih dari satu dasawarsa silam telah menggariskan sistem pembangunan sepak bola lewat kompetisi berjejang. Klub peserta strata tertinggi harus mempunyai tim-tim yunior yang berkompetisi rutin sebagai salah satu syarat pilar selain faktor finansial dan manajemen.
Namun, sistem yang dimaksud kemudian terbukti hanya "indah kabar dari rupa". Bertahun-tahun setelah sistem tersebut dicantumkan dalam rencana jangka panjang PSSI, kompetisi yunior antarklub tidak pernah menjadi kenyataan. Walhasil, klub-klub yang kini berlaga di strata tertinggi ataupun beberapa strata di bawahnya tidak pernah mendapatkan pasokan besar pemain dengan mutu mencukupi.
Selesaikan sumber masalah
Kualitas sumber daya pemain dan pelatih serta perangkat pertandingan adalah kata kunci jika Indonesia ingin meningkatkan prestasi sepak bolanya di ajang internasional. Tanpa kompetisi berjenjang dalam kelompok-kelompok umur, pasokan pemain ke jenjang puncak kompetisi hanyalah sumber daya dengan kualitas medioker karena jam terbang kompetisi yang sangat minim.
Walhasil, kualitas kompetisi strata tertinggi tidak pernah meningkat dan para pemain terbaik mereka sekalipun yang kemudian bergabung di timnas hanya bisa menang melawan tim-tim kelas bawah, seperti Timor Leste, Laos, dan Kamboja.
Para pejabat PSSI, terutama barisan Komite Eksekutif yang mengemban amanat pemilik suara, tidak bisa lagi hanya berdiam diri dan harus segera mengambil langkah memutar kompetisi di sejumlah daerah melalui tangan Asosiasi Provinsi (Asprov). Dengan lebih dari 30 Asprov, PSSI seharusnya bisa menggelar kompetisi berjenjang paling tidak di 10 wilayah binaan.
Wilayah yang secara tradisional menjadi gudang talenta berbakat, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, terutama wilayah Tulehu, dan Papua, segera ditunjuk menjadi wilayah-wilayahpilot project kompetisi usia muda mulai dari U10 hingga U16 sesuai dengan peta jalan FIFA dan AFC.
Tentu saja langkah-langkah awal yang merupakan kunci penyelesaian masalah prestasi ini memerlukan pengorbanan sangat besar dan komitmen penuh. Sebab, pada langkah selanjutnya adalah menghasilkan pelatih-pelatih dan wasit bermutu sebagai pilar penyangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar