"Mengapa" adalah pertanyaan esensial, eksistensial, dan substansial anak manusia sepanjang masa. "Mengapa" adalah tuntutan kemanusiaan universal atas ketepatan fakta, kebaruan pengetahuan, kelengkapan data, dan kejernihan logika. "Mengapa" adalah pemicu kreasi, inovasi, dan revolusi. "Mengapa" adalah pertanyaan anak-pelajar paling indah di telinga Sokratesian dan paling menakutkan bagi orangtua dan guru Machiavellian.
Sebagai perkakas mencari kebenaran, "mengapa" adalah salah satu unsur 5W1H yang ditekuni setiap pewarta-baru pada zaman ini. Sebagai konsep kausalitas, "mengapa" adalah prinsip metafisika yang didalami sejak Aristoteles oleh para pemikir besar dan diselami dalam ontologi dan epistemologi. "Mengapa" adalah manifestasi akal budi.
Judul berita adalah jiwa warta. Judul adalah intisari dari semua yang telah dicari, ditemukan, dikumpulkan, dirangkum oleh penulis berita. Berita boleh saja dihimpun dan disusun oleh magang yang sedang-baru belajar mengolah kata merumuskan makna. Tapi, judul hanya boleh lahir dari penyunting, dia yang telah makan asam garam dunia warta, yang paham semua dan setiap jurus silat kata. Judul berfungsi memperkenalkan isu, meringkas isi, menerangkan konteks, dan atau memancing minat calon pembaca.
Mulanya koran-koran hanya berisi berita tanpa judul. Persaingan menginovasikan teks yang dicetak besar-besar untuk memikat mata calon pembeli. Demikianlah lahir judul berita pada akhir abad ke-19. Judul yang dianggap paling menarik dicetak paling besar dan ditaruh paling atas. Media bernama-baik berusaha agar judul cantik sesuai dengan isi bergizi. Penyunting berpengalaman bertugas menyatukan akurasi isi dan glorifikasi judul di dalam kalimat pendek yang paling pas. Ketepatan jiwa berita di dalam kepadatan judul adalah tantangan danraison d'etre penyunting. Tapi, tiada Eden tanpa ular.
Judul koran menjadi alat propaganda paling efektif selama abad ke-20. Tidak heran langkah awal Soeharto, setelah menaklukkan—dengan destruksi atau kooptasi—lawan-lawan politiknya, adalah memberangus dan mengebiri pers. Dan semua koran dan majalah, dari Kompassampai Tempo, menempatkan dan melatih penyunting judul paling sensitif dan akomodatif terhadap kepentingan dan kehendak Orde Baru. Penulis boleh punya semangat melawan, penjudul harus punya semangat membudak.
Di zaman media sosial, semakin sering terjadi, "mengapa" mengalami inflasi dan judul kehilangan jiwanya. Kulit terluar dipajang sebagai isi, superfisialitas dijual sebagai esensi, sensasi diobral sebagai intisari. Bukan karena diktator bersenyum seram, melainkan gara-gara "klik". "Klik" telah menyaring kedalaman esensial sang "mengapa" sampai yang tertinggal hanyalah ampas kedangkalan trivial. "Klik" telah menggadaikan jiwa sang "judul" dan menggantikannya dengan umpan artifisial. Isi tinggallah embel-embel. Judul jadilah segalanya. Penyunting yang eksis bukan lagi mereka yang memilih kata terindah dan makna tertajam, melainkan mereka yang berhasil menggatalkan jari para penjelajah alam semesta elektronik. Demi "klik", penghasil kepeng kencring-kencring, penyunting menyinting.
Mengapa Real Madrid kalah melulu? Inilah jawabannya, umpan sang "judul". Jiwa seorang fan yang haus kebenaran tergugah. Hatinya yang pedih menjerit merindukan jawab. Dari "mengapa" akan datang "karena"; dari "karena", siapa tahu, mungkin akan lahir solusi menuju kemenangan akbar. Harapan terbit. Kegilangan dahulu hadir kembali di pelupuk mata. Barangkali, jawaban gamblang, bahwa Real telah menjual pencetak golnya yang terbanyak tanpa membeli pemain penggantinya, akan dibahas dan dijelaskan. Mungkin taktik dan strategi akan dirumuskan dan diusulkan. Dengan mata fokus, kening berkerut, keringat merintik di ujung hidung, si fan mengulurkan telunjuknya yang bergetar, hati harap-harap cemas, menekan kuping kiri si tikus: klik!
"Mengapa Real Madrid kalah melulu? Karena pada awal bulan Real dikalahkan CSKA 1-0, kemudian ditaklukkan Alaves 1-0, lalu disikat Levante 2-1, dan terakhir digulung, dipenyet, dan disate Barcelona 5-1." WTF? Tidak ada logika. Tidak ada kebaruan. Tidak ada kejernihan. Tidak ada substansi. Hanya barisan fakta malas tautologis. Mengapa Real kalah melulu? Karena Real kalah melulu. Ini buktinya: klik!
Dari sesepuh mahabijak yang disegani, yang remah-remah hikmatnya menjadi rebutan para pewarta ingusan, penjudul telah menjadi penjual kosmetik, pernak-pernik sintetik, dan bling-bling kilau silau; penjaja semua yang abal-abal dan asal-asal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar