Kecelakaan dan Pariwisata
Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata, meraih target 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019 patut didukung semua pihak.
Pada 2015 tercatat jumlah perjalanan wisata Nusantara yang 255 juta orang berkontribusi Rp 461,36 triliun atau sekitar 4,23 persen terhadap produk domestik bruto. Pada 2017 jumlah perjalanan wisata Nusantara 270,82 juta orang dan sektor ini meraih devisa 13,3 miliar dollar AS, urutan kedua setelah komoditas kelapa sawit yang 16 miliar dollar AS. Devisa diperoleh dari pariwisata sudah mengalahkan pemasukan dari migas (13,1 miliar dollar AS) dan batubara (12 miliar dollar AS).
Hampir 90 persen dari wisatawan Nusantara dan wisatawan mancanegara menggunakan jasa penerbangan industri vital, yang memainkan peran mengangkut ratusan juta penumpang dari Sabang hingga Merauke dan dari ratusan bandara di lima benua ke Indonesia.
Musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 pada 29 Oktober 2018 sangat memukul kinerja bagus pariwisata ini. Jaringan Keselamatan Penerbangan (ASN) mencatat dalam rentang 1945-2018 terjadi 99 kali kecelakaan fatal pesawat komersial di Indonesia dengan jumlah korban 2,224 jiwa. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan kerja keras semua pihak untuk meningkatkan standar keselamatan penerbangan (Kompas, 2/11/2018).
Kiranya musibah JT 610 tidak mengganggu target pencapaian 20 juta wisatawan mancanegara pada tahun 2019.
Arifin Pasaribu
Kompleks PTHII Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara
Aparatur Negara Sedang Dimanja
Dua berita Kompas edisi 8 November 2018 mengundang saya mengkritik pemerintah. Berita utama halaman 1, "Reformasi Birokrasi Belum Optimal", dan "Rumah untuk Aparatur Negara Disiapkan" di halaman 13 mengesankan betapa para aparatur sipil negara, tentara, dan polisi kita sedang dimanja. Bagaimana mungkin dengan kinerja birokrasi yang diakui belum optimal, pemerintah masih memberi penghargaan dengan menyiapkan program penyediaan rumah.
Kita tak ingin menghalangi rencana penyediaan rumah bagi lebih dari 1,5 juta aparatur negara. Namun, dari segi kepantasan—saat sebagian besar rakyat tak mampu dan sulit memperoleh akses pendanaan untuk kredit rumah—rasanya program ini tak terlalu mendesak.
Kita mafhum birokrasi di sebagian instansi diduga mudah menarik pungutan liar dengan mempersulit pelayanan kepada pihak yang berkepentingan. Terungkap dalam The International Public Service Forum 2018 yang diselenggarakan di Jakarta (7/11/2018) bahwa pelayanan perizinan salah satu sumber korupsi di birokrasi.
Pidato Wapres Jusuf Kalla dalam forum itu yang menyatakan guna mengatasi soal perizinan dibutuhkan pembenahan kultural dan struktural, terutama di dalam birokrasi. Bisa jadi pernyataan itu lagu lama yang selalu diputar ulang. Di sisi lain saat kinerja birokrasi masih jauh dari memuaskan, aparatur negara akan dapat penghargaan rumah. Sebagai rakyat, kami mempertanyakan negara ini didirikan untuk siapa?
Sejauh ini, diduga karena praktik korupsi, diperlihatkan gaya hidup sebagian aparatur kita tak sebanding gaji yang pemerintah tentukan. Bahwa sering terucap gaji rutin aparatur tak cukup untuk biaya hidup sebulan kenyataannya tak selamanya benar.
Di pihak lain, untuk mendapatkan pelayanan rutin dalam pengurusan atau perpanjangan surat-surat terkait administrasi kependudukan, misalnya, tak terlalu mudah. Mutu pelayanan birokrasi kepada warga yang berkepentingan sering kurang memuaskan. Kesan aparatur yang pernah disebut abdi masyarakat pada praktiknya langka. Bahkan, untuk berurusan dengan birokrasi muncul anggapan, aparatur kita terkesan sosok "penguasa". Hasil apa yang pemerintah capai dari pelaksanaan reformasi birokrasi? Tak seharusnya aparatur negara kita dapat hadiah rumah!
A RISTANTO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar