Dengan asumsi setiap pasangan capres-cawapres telah memiliki pendukung loyal, pemilihan presiden tahun 2019 akan ditentukan oleh keberhasilan merebut simpati pemilih "galau".

Pemilih loyal pada kedua kubu belum memadai untuk memenangkan pilpres, sementara pemilih yang belum menentukan pilihan proporsinya signifikan.
Menurut survei Kompas, September-Oktober 2018, pemilih yang belum yakin benar dengan pilihan politiknya proporsinya 30 persen.  Ditambah  jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan politik 14,7 persen, maka total proporsi pemilih "galau" sekitar 44,7 persen. Angka yang akan sangat menentukan.

Homodigitalis

Siapakah sang pemilih "galau"? Generasi muda, kelas menengah, kaum urban, atau kalangan  berpendidikan? Lebih kurang demikian jika disarikan dari berbagai penelitian.

Dari sisi perilaku bermedia,  mereka dapat dirangkum dengan satu kategori: homodigitalis. Sebuah segmen masyarakat yang cara hidup, mode interaksi, kecenderungan perilaku, dan keputusannya serba dideterminasi oleh teknologi informasi digital.

Bagian terbesar dari segmen ini adalah generasi milenial yang sangat lekat dengan media sosial, mesin pencari, dan produk-produk kecerdasan buatan. Mereka umumnya pemilih pemula.

Bagaimana karakter mereka? Survei CSIS tahun 2017 menunjukkan, hanya 2,3 persen dari generasi milenial yang tertarik pada politik. Mereka mengakses internet bukan untuk membangun referensi politik, melainkan untuk kebutuhan rekreatif, inovatif, dan ekonomi kreatif.

Sementara kelompok homodigitalis yang berusia lebih dewasa dan  berpendidikan tinggi  menunjukkan ciri pemilih kritis. Mereka memiliki banyak pertimbangan dalam menilai calon pemimpin. Mereka menggunakan beragam sumber informasi dan menjadi golput jika tidak ada pilihan yang sesuai harapan.

Di luar dua kelompok itu, ada kelompok kelas menengah urban yang sangat konsumtif terhadap informasi. Bagi mereka, mengakses informasi terbaru dan terus-menerus melalui media baru bagian dari gaya hidup.

Dalam konteks ini, cukup mengherankan jika kampanye pilpres yang berbasis pada visi, misi, dan program belum mendapatkan prioritas lebih. Polling Kompas 10-11 Oktober 2018 menunjukkan, masyarakat belum mengetahui visi, misi, dan program calon pemimpinnya.

Pemilih "galau"  besar kemungkinan akan mempertimbangkan visi, misi, dan program pasangan capres-cawapres. Tentu saja sejauh visi dan misi itu masuk akal, tidak sloganistik, dan menyentuh persoalan mereka sebagai generasi milenial.

Hal yang tidak kalah penting adalah penyampaian visi, misi, dan program mesti menarik dan simpatik. Kreativitas dan kebaruan mengemas pesan-pesan kampanye sangat menentukan. Kemasan yang menarik, menghibur, dan berbeda tetap menjadi daya tarik bagi homodigitalis.

Lalu, bagaimana dengan kampanye hitam, hoaks, dan ujaran kebencian?  Kampanye ini kurang efektif untuk menarik simpati para pemilih homodigitalis, bahkan bisa membuat mereka semakin apolitis.

Pemilih kritis

Sekali lagi perlu diperhatikan, yang kita hadapi di sini adalah para pemilih—dengan jumlah signifikan—yang pada dasarnya berkomitmen rendah atau bersikap kritis terhadap politik. Mereka telanjur mengidentikkan politik dengan kebusukan.

Lalu, apa fungsi politisasi hoaks dan ujaran kebencian dalam konteks ini? Studi komunikasi menyebutnya echo chamber effect. Istilah studi media baru filter bubble effect. Kita dapat menyebutnya efek gelembung isolasi.

Diperkenalkan pakar digital  Eli Pariser tahun 2011, efek gelembung isolasi menjelaskan bagaimana algoritma perusahaan, seperti Google, Facebook Amazon, dan Twitter, bekerja berdasarkan logika reduksi dan personalisasi. Algoritma itu mengidentifikasi kecenderungan perilaku pengguna internet.

Selanjutnya, algoritma mengarahkan pengguna internet pada orang, kelompok, atau sumber informasi yang sesuai kecenderungannya. Penggemar fashion akan diisolasi untuk berinteraksi dengan sesama penggemar fashion. Penggemar otomotif akan diisolasi dengan sesamanya.

Demikian juga pada aras politik. Pilpres Amerika Serikat menunjukkan platform media sosial, seperti Facebook dan Twitter —tanpa disadari—telah mengisolasi pendukung Donald Trump bergunjing antarsesamanya dan pendukung Hillary Clinton dengan sesamanya.

Eli Pariser menggunakan konsep gelembung isolasi untuk menjelaskan fungsi atau efek dari Facebook personalized news-stream atau Google personalized search. Gelembung isolasi membawa dampak negatif terhadap prinsip ruang publik karena mereduksi peluang pertukaran pendapat dan adu gagasan lintas kelompok, argumentatif, dan mencerahkan. Dalam gelembung isolasi yang muncul pemujaan terhadap diri sendiri sekaligus sikap apriori pada pihak lain.

Pada level gelembung isolasi itulah hoaks dan ujaran kebencian beroperasi. Maka, politisasi hoaks dan ujaran kebencian yang mewarnai kampanye pilpres di Indonesia belakangan juga hanya memperteguh keyakinan politik pemilih loyalis pada masing-masing kubu capres-cawapres.

Jauhi isu primordial

Politisasi hoaks dan ujaran kebencian kurang efektif menarik perhatian pemilih bimbang kecuali menyentuh isu primordial agama, etnis, dan ras. Inilah yang mesti diantisipasi. Bangsa Amerika Serikat yang rasional dan literate saja bisa dibikin irasional dengan dikotomi imigran-antiimigran, kulit hitam-kulit putih, Muslim dan non-Muslim.

Kemenangan Trump dengan gamblang menunjukkan hal ini. Gelembung isolasi politik sedemikian cepat menyedot para pemilih bimbang yang kehilangan rasionalitas ketika sentimen primordial dipermainkan.

Psikoanalisis Sigmund Freud menyatakan,  manusia tak dikendalikan rasio, tetapi instansi ketidaksadaran: ego, subyektivitas, insting, emosi. Teori ini sungguh menggambarkan bagaimana sikap para homodigitalis terhadap isu primordialisme.

Kita begitu mudah jatuh pada sikap instan, spontan sekaligus intoleran dan sektarian, tatkala berurusan dengan isu agama, etnis, atau ras. Tenggang rasa dibenamkan, kedewasaan ditumpulkan, sikap merajuk kekanak-kanakan ditajamkan.

Celakanya, beberapa pihak secara sengaja memanfaatkan hal ini untuk tujuan politik sesaat tanpa memikirkan dampaknya untuk bangsa yang sedemikian majemuk dan mengandung potensi konflik horizontal. Semua pihak mesti sungguh-sungguh mengantisipasi ini!