Ketiga persoalan ini berkaitan. Tidak ada yang lebih penting, atau bisa ditunda sehingga penyelesaiannya harus dilakukan secara menyeluruh. Soal kuantitas guru, misalnya, di atas kertas jumlah guru yang mencapai 3,1 juta orang sudah memadai dan memenuhi standar internasional menyangkut rasio guru dan murid. Namun, persebaran yang tidak merata menjadi persoalan tersendiri.
Kekurangan guru paling banyak terjadi pada jenjang sekolah dasar di lebih dari 300 kabupaten/kota di Tanah Air, terutama di daerah-daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Di jenjang SMA, ada sekitar 177 kabupaten/kota kekurangan guru, tetapi sebaliknya lebih dari 300 kabupaten/kota kelebihan guru.
Persoalannya, mengapa kekurangan guru masih terjadi? Salah satu penyebabnya, pemerintah sebelumnya tidak pernah menghitung jumlah guru untuk setiap jenjang pendidikan. Tidak pernah pula dihitung kualifikasi guru seperti apa yang dibutuhkan untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Penerapan desentralisasi pendidikan juga turut memberikan andil terjadinya kesenjangan jumlah guru di daerah. Guru tak bisa dimutasi antarkabupaten/kota dengan dalih otonomi daerah.
Selain soal kuantitas, guru juga menghadapi persoalan kualitas dari yang seharusnya. Masih banyak guru yang belum berpendidikan sarjana sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kalaupun sudah berpendidikan sarjana, sebagian besar guru tersebut juga tidak pernah mengikuti pelatihan rutin untuk meningkatkan kemampuannya.
Berdasarkan hasil uji kompetensi guru tahun 2015, nilai rata-rata yang dicapai hanya 56,69. Kluster guru SD mendapat nilai rata-rata terendah, yaitu 54,33, sedangkan nilai rata-rata tertinggi diraih kluster guru SMA, yaitu 61,74. Pada uji kompetensi guru tahun-tahun berikutnya, nilai yang diraih tak jauh beranjak dari itu.
Untuk meningkatkan kualitas guru mestinya pemerintah melakukan seleksi ketat calon guru sejak awal. Hanya mereka yang berkualitas tinggi yang bisa menjadi guru. Namun, kenyataannya, pemerintah justru tutup mata ketika lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) tumbuh subur tanpa adanya standar kualitas.
Jika tahun 2014 hanya ada 90 LPTK, tahun 2013 melonjak menjadi 381 LPTK dan tahun 2016 menjadi 429 LPTK dengan total mahasiswa 1,2 juta orang. Ironisnya, hanya 19 LPTK yang terakreditasi A dan 81 LPTK terakreditasi B.
Pemberian tunjangan profesi guru yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu guru dan kesejahteraan guru belum membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan, di banyak daerah, pencairan uang tunjangan profesi guru sering terlambat dan tidak diterima utuh oleh para guru.
Setelah bertahun-tahun ketiga persoalan itu tak kunjung tuntas, kini saatnya pemerintah melakukan langkah nyata dengan membenahi tiga persoalan guru itu.
Kompas, 28 November 2018
#tajukrencanakompas
#kompascetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar